Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tan Malaka, Tuan di Mana?

Sebuah opera Tan Malaka, tanpa peran tokoh Tan Malaka.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tan Malaka, Tuan di mana?”

Suara ini terdengar di antara keriuhan orang-orang yang lalu-lalang, di tengah kumandang lagu Internationale, lagu ”wajib” Komintern.

Pertanyaan itu mengawali sebuah opera tiga babak, yang selama satu jam mencoba menjawab pertanyaan itu. Tapi itu memang pertanyaan tak berjawab. Naskah opera ini memang tak menjelaskan apa dan siapa Ibrahim atau Tan Malaka atau Ilyas Hussein atau Tan Ho Seng atau....

Yang tersaji adalah adegan-adegan di arena, tak saling berkait membentuk cerita. Hanya sugesti-sugesti dan suasana lewat sejumlah unsur pentas opera: musik, libreto, cahaya, properti.

”Tan Malaka, Tuan ternyata masih hidup.”

Tapi apa artinya ”hidup” bila si Tuan dari ketika bendera merah bergambar palu dan sabit dikibarkan seorang pemuda dari sudut atas properti yang membentuk jembatan di awal adegan hingga pemuda itu balik lagi dan mengibarkan bendera yang sama namun telah camping di adegan akhir—bukan ”zat” tapi ”roh”?

Suara rendah, menyusur keluar lewat jeruji-jeruji kurungan besi, menyebar ke seluruh ruangan. Ya, Tan Ma laka masih hidup, tapi dalam ”fantasi”, dalam ”tafsir”.

Dan opera ini salah satu tafsir itu. ”Itu sebabnya Tan Malaka akan selamanya absen.... Dan itu penting sekali.” Penting, sebab, dari awal ke akhir, dari ujung ke ujung, dari sunyi ke nyanyi, ketiadaan Tan Malaka adalah keha dirannya.

Lagi, suara dari kurungan besi itu: ”... matahari telah membunuh mistik. Kau tak punya lagi hal ihwal yang gelap...”

Gaung ini berlanjut, ketika narator tampil dan panjang berucap: ”... Aku tak akan pulang ke sebuah Hindia yang ditegakkan dari dongeng Sri Rama.... Penjajahan... adalah kekalahan kepada teropong 10 inci yang bisa melihat ke semua penjuru alam pada jarak 500 juta tahun cahaya.”

Musik Tony Prabowo yang ditafsirkan oleh dirigen Filipina, Josefino Chino Toledo, dalam gemuruh berbagai ins trumen kadang terlentingkan melodi yang terkesan seperti dentingan dari Cina.

Bergaung suara Binu sang soprano: ”Dulu ada seorang ibu yang mendengar anak itu berkata, ’aku datang untuk durhaka’.”

Seberapa durhaka Tan Malaka? Ubiet, soprano kedua: ”… setelah rantau panjang, setelah tak ada pulang, kutemukan lagi negeriku.”

Rantau itu adalah dari satu negara ke negara lain, hampir separuh dunia. Dalam rantauan itulah, antara ada dan tiada, antara hadir dan entah di mana, adalah praksis merenung, menulis, juga menyamar dan bersembunyi mengisi dari kejaran Belanda dan siapa saja yang menganggap komunis harus dibasmi.

Sebab, ia bukan hanya pejuang untuk sebuah republik yang sedang dibentuk. Ia punya jabatan dalam Komintern, konon sebagai pengawas wilayah selatan Asia. Ia juga mendirikan partai, Pari dan Murba.

Sang soprano pertama kembali berkisah: ”Pada hutan dan pada gurun, Pa da sarang dan semak ranum, Pada gema masa kanakku, Aku tulis namamu: ’Kemerdekaan’.”

Kemerdekaan dari yang tumbuh di masa kanak adalah kemerdekaan dari segala, kemerdekaan untuk menulis ”di buku putih yang terbuka”.

Di ruang teater itu, dari tentara berbaris, dari pengungsi yang terhuyung, dari bendera merah yang dikibarkan, sampai seorang penari yang mundur merangkak sembari menulis di lantai kayu jembatan, mengalir roh kemerdekaan yang diperjuangkan.

Sampai suara yang tak asing lagi, Bung Karno membacakan teks pro klamasi. ”Kami Bangsa Indonesia... dan se terusnya.” Dan ia tetap tiada dan ada.

Ia tiada, ”... tak tampak bahkan bebe rapa meter saja dari Jalan Pegangsaan….”

Tapi ia ada. Dua puluh tahun sebelum tanggal itu, di Tiongkok, sebuah buku lahir, Naar de Republiek Indonesia, menuju Republik Indonesia oleh Tan Malaka. Sebelum Mencapai Indonesia Merdeka ditulis oleh Hatta, sebelum Ke Arah Indonesia Merdeka ditulis oleh Sukarno.

Sesungguhnya, pada pertengahan Oktober ini, dari ruang teater itu di ingatkan kembali, ”sejarah membutuhkan nama...” yang ”hatinya tak boleh diikat oleh anak istri, keluarga serta handai taulan.” Tidakkah Tan Malaka hampir hanya memberi tanpa meminta, apalagi menjarah? Dan tengoklah ke sekeliling Anda....

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus