Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Esai Puitik dalam Opera Lirik Tan Malaka

Goenawan Mohamad dan Tony Prabowo menggarap sebuah opera esai. Opera masa kini memang tidak seharusnya bergulir verbal dan naratif.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayup-sayup terdengar mars Selamat Tinggal Slavianka dari sebuah transmisi radio. Ruang teater komunitas Salihara berselimut cahaya te maram. Masih kosong. Himne revolusi Bolsyewik itu terdengar berulang-ulang sebagai pengantar suasana pertunjukan. Penonton berdatangan memasuki gedung pertunjukan.

Dulu, di awal abad ke-20, mars itu menjadi alat ampuh propaganda politik proletariat yang menggetarkan. Kini tak lagi. Ia hanyalah sepotong baut kecil karya seni yang disisipkan sebagai pembuka ingatan sebuah pertunjukan teater musik. Persis seperti sekilas garis merah yang melintas di kanvas elektronik di sisi pentas. Sepotong kilas balik. Suatu kesan simbolis yang tak perlu penjelasan. Imaji artistik saja. Bukan agitasi propaganda politik.

Di depan penonton, terpapar seonggok rangkaian berjenjang konstruksi panggung opera. Kelok tangga kayu diagonal yang tersusun apik, cerobong pabrik, dan beberapa obyek lain seperlunya. Beberapa lampu langit-langit menjadi pendukung suasana re dup yang tak pernah benar-benar benderang. Ini pentas musik opera karakteristik. Bukan ruang disko atau teater musikal. Semua terukur dalam proporsi—lirih dan temaram.

Di sisi kiri depan altar tontonan berkerumun sekelompok pemusik berseragam hitam. Langsung di bawah ketinggian langit-langit pentas, membujur sederet penyanyi kor yang berkostum gelap juga. Di ruang temaram seukuran 4 x 10 x 8 meter, yang sarat benda-benda desain pentas teater musik, berseliweran berbagai tanda gerak flegmatis, bunyi, kata, cahaya, dan kode-kode teatrikal lainnya. Terlalu miopia untuk sebuah opera ruang yang padat pendukung. Di ruang sempit yang padat itu pula pada mulanya penonton seperti hendak disugesti dengan berbagai abstraksi akan terjadinya serangkaian diskursus tentang opera esai Tan Ma laka, menurut penulisnya, Goenawan Mohamad.

Sayup-sayup terdengar nyanyian re kam ulang dari radio sember: Bangun lah kaum yang terhina. Bangunlah kaum yang lapar.... Tembang proleta riat, Internationale, dan suara-suara gaduh yang disemukan. Lalu, ”Tan Ma laka, Tuan di mana,” seru seorang narator di sela pentas. Musik pun lantas dimainkan sebagai layar pembuka pentas pertunjukan teater musik. Sebuah awal yang apik dari suatu esai puitik dalam opera lirik yang naga-naganya seperti hendak mengarah ke kesan surealis.

Tapi musik karya Tony Prabowo sama sekali bukan karya surealis. Surealisme hanya ada dalam sastra dan seni rupa. Tony Prabowo adalah peng anut setia gaya musik dionisme abad ke-20. Gaya musik ”ekspresionisme” yang menggusur paham musik Apollinisme abad-abad sebelumnya. Schönberg, Webern, Hindemith, Bartok, dan Stravinsky—bahkan juga Bach serta Debussy yang memenangi adab musik sepanjang masa—adalah guru. Ke sanalah sumber referensi karya musik Tony Prabowo diacu. Tak sulit mene lusuri jejak-jejak teknik musik 12 nada dan serialisme dalam format polimetrik sistem atonal dan nontonal pada alur orkestrasi musik Tony Prabowo. Konstruksi paralel dalam rangkaian posisi kluster nada-nada harmoni disonannya dapat kita telusuri di sepanjang karya musik opera Tan Malaka.

Sesungguhnya lebih rawan dan sulit menyusun logika harmoni disonan daripada merangkai nada harmoni manual dalam konvensi musik lama yang melelahkan. Chord paralel dalam teknik kemajemukan choral warna bunyi (Klangfarbe) opera Tan Malaka banyak menohok konstruksi harmoni disonan yang bergerak ganti berganti dalam kontur ensambel gesek, orkestra, dan vokal.

Diperlukan kepiawaian teknik membidik nada yang cermat dan vokal yang kuat untuk memainkan karya-karya ekspresionistis Tony Prabowo. Adalah kesalahan tafsir memainkan karya Tony Prabowo dengan suara dan bu nyi lembek. Sebagai contoh, sepanjang 74 birama pertama musik Tan Malaka, Tony Prabowo jelas menoreh kan tanda-tanda partitur bunyi kuat yang konstan. Sosok bunyi (Klangsgestald) itu bahkan mengeras kuat sampai tataran fortissimo (ff), pada birama ke-62. Ia baru mengendur lembut di hitungan birama ke-75 sepanjang 4 birama terbuka—quasi ad libitum pada permainan eliminasi kuintet gesek dan tiga perkusi. Ini jelas permainan struktur bunyi (Klangstrucktur) yang harus dipatuhi. Sebab, tanpa kepatuhan pada konsep struktur bunyi, musik Tony Prabowo akan kehilangan karakteristik energinya.

Dan musik ”sumbang” tak mungkin dibikin sumbang. Ia harus tepat posisi intervalis (nada), presisi irama (ritme), proporsi energi (dinamik), pas gestur (kontur bunyi), dan pengucapan suara (artikulasi). Dengan kata lain, permainan bentuk (Formausdruck) dalam energi waktu menjadi problem utama musik abad ke-20. Banyak karya musik abad ke-20 seperti juga sebagian besar karya Tony Prabowo—yang sebenarnya hanya bisa dimainkan dengan baik oleh para seniman musik profesional. Untung saja, dirigen Josefino Chino Toledo, sopranis Binu Sukarman, dan aktor Adi Kurdi melakukan tugas mereka dengan baik. Tapi seni teater adalah proyek kerja kolektif yang ter amat rumit. Bagaimana dengan yang lain? Pemeo kuno masih valid hingga hari ini: manajer adalah CEO, sutradara punya komando. Ke sanalah penonton berharap.

l l l

Semula orang mengenalnya sebagai fafola in musica, sebelum istilah opera in musica menjadi lebih populer. Sebagai satu periode, ketika opera disebut lebih khusus sebagai drama in musica. Orang Prancis menandainya dengan sebutan tragedie miseen musique. Tapi opera bukan hanya sesosok drama atau tragedi. Kini orang menyebutnya sebagai teater musik. Musik teater yang melibatkan berbagai unsur seni pertunjukan, sastra, seni rupa, multimedia, dan yang lain. Riwayat dan hikayat orang dalam peristiwa atau dongeng—terutama tentang cinta—menjadi acuan favorit hingga kini. Kini pengertian opera tak lagi satu. Opera Batak, opera Beijing, opera Jawa, misalnya.

Sastrawan Goenawan Mohamad me nulis libretto (libro = buku) opera dengan kode opera esai yang musiknya dibuat oleh komponis Tony Prabowo. Saya tak paham benar dengan se butan opera esai. Tapi membaca naskah dan partitur musiknya yang bergaya esai puitik dalam opera lirik terkilas ke san yang sangat menarik. Pada awalnya tergores kesan implisit yang sangat puitis pada opera Tan Malaka. Orkestra dan kur melantunkan sepenggal frasa puisi biblis: Yang lapar akan hanya lapar/Yang terhina akan tak diam/Yang lemah akan bertakhta/Yang pedih akan disembuhkan. Frasa ini berulang sampai empat kali dalam dua babak pertama—selayaknya sebuah penegasan tema ide fix suatu simfoni (Berlioz) atau opera (Wagner) dalam khazanah musik abad ke-19.

Akankah Tan Malaka hanya sebuah ide fix dalam sejarah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia? Saya tak tahu. Tapi, ketika figur Tan Malaka yang misterius itu pada awalnya dianonimkan secara puitis dan liris dalam opera tiga babak Tony-Goenawan, saya sungguh sangat tersentuh. Opera masa kini memang tidak seharusnya bergulir verbal dan naratif. Kesan musik yang imajiner dan implisit sering jauh lebih menyentuh ketimbang musik yang naratif. Memang ada serambut demarkasi antara musik, puisi, dan seni pertunjukan. Dan opera dalam kenyataannya memang bukan sekadar teater musik. Richard Wagner seperti tertelan walatnya sendiri ketika ia mengikrarkan opera sebagai Die Gesamte Kunst. Banyak musik opera masa kini kembali seperti semula, ke posisi pinggirnya, sebagai penyelia dan penghibur iringan seni pertunjukan.

Semula saya berharap Tan Malaka tetap disumirkan dalam impresi surealis karya opera. Tapi, memang, tak ada opera surealis dalam musik. Rea lisme itu lantas berbunyi: Tan Malaka mesti bersendiri… seseorang pelarian politik mesti ringan bebannya… setiap detik siap sedia… meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya. Ia seekor elang—burung yang sendiri.… Ia juga menghimpun orang. Ia membangun Persatuan Pejuang, ia jadi guru para pemuda… tinggal di dekat pabrik… menulis, menulis…. Tan Malaka akan selamanya absen…. Ia tak akan pernah hadir… Tan Malaka ditembak mati di daerah Kediri. Mungkin di bulan Februari. Mungkin April 1949. Naratif, pada akhirnya.

Dalam operanya, hikayat Tan Malaka berkembang menjadi riwayat. Apakah ini sebuah kesalahan? Opera bergantung pada sang CEO dan komandannya! Dalam tradisi seni pertunjukan, tafsir opera baru akan mapan dalam tenggang ulang sekian kali premiere— pada tahapan waktu dan tempat yang berbeda. Bagaimanapun, proficiat bagi Goenawan Mohamad dan Tony Prabowo. Musik baik akan dimainkan sepanjang zaman.

Suka Hardjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus