Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Montase-montase dari Teater Epik

Proses produksi opera ini tergolong kilat. Goenawan Mohamad menggunakan dramaturgi teater epik.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Babak pertama baru usai dan musik mulai bergulir memasuki babak kedua. Tapi tiba-tiba Goenawan Mohamad berdiri dan menyerukan agar pertunjukan dihentikan.

”Musik di sini sebagai latar bagi na­rasi, saya minta Chino memperhatikan. Suara Ubiet juga kurang muncul, tolong sound system mengeceknya. Adi masih berdeklamasi. Ini bukan deklamasi, ini seperti orang bercerita. Yang lainnya oke, tapi adegan baris-berbaris di muka itu tolong dipersingkat, karena terlalu lama.”

Goenawan sebagai sutradara tampak memberikan pengarahan saat latih­an bersama para kru opera Tan Malaka di Teater Salihara, Jumat, 15 Oktober, dua hari menjelang pementasan.

Para pemain pun mengangguk-anggukkan kepala. Josefino Chino Toledo, konduktor dari Filipina, agak bingung. ”What?” tanyanya seraya memandang ke atas panggung, tempat Yasmina Zukarnain, manajer konser dan panggung, mengawasi latihan itu. Yasmina menjelaskan dalam bahasa Inggris bahwa masalahnya ada pada pengatur­an pengeras suara. ”So it’s not my false,” kata Chino lega.

”Oke, sekarang kita lanjutkan ke babak kedua,” kata Goenawan.

Inilah latihan lengkap pertama semua kru pendukung opera. Opera ini berangkat dari libretto karya Goenawan Mohamad, yang ditafsirkan dalam musik garapan Tony Prabowo. Musik dimainkan Orkes Kamar Kontemporer Salihara. Adapun aria di­bawakan Binu Sukaman dan Nyak Ina Raseuki, yang sering disapa Ubiet.

Para aktor adalah anggota Teater Ghanta dan Teater Ciliwung. Anak muda lain yang terlibat adalah siswa Jakarta International School dan Pa­duan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia Paragita. Ada pula dua pemain yang jadi narator, Adi Kurdi dan Whani Darmawan. ”Sebenarnya saya menginginkan Adi dan Landung Si­matupang, tapi Landung tidak bisa,” kata Goenawan.

Proses produksi opera ini termasuk kilat. Chino, misalkan, baru membaca partitur musik Tony delapan hari sebelum pementasan dan bertemu dengan para pemusik beberapa hari kemudian. Tapi dia mengaku biasa bekerja dalam tempo cepat, seperti dalam kon­ser-konsernya terdahulu. ”Saya hanya menyampaikan kepada para pemusik bahwa kita punya waktu yang sangat pendek dan komposisi ini sangat rumit, jadi saya minta mereka menikmati proses ini,” katanya.

Meski tak bisa berbahasa Indonesia, Chino tampak mampu mengkomunikasikan perintah-perintahnya kepada semua pendukung musik. ”Masalah saya cuma bahasa, bagaimana memahami petunjuk dan arahan untuk musik. Bahkan saya menghadiri rapat yang saya tak mengerti,” ujarnya seraya tertawa.

Menurut Chino, proses produksi opera ini berbeda dengan opera klasik yang dia kenal. Dalam opera klasik, kata dia, ada baris depan dan belakang, ada penyanyi solo dan penyanyi latar. Tapi, dalam opera ini, semuanya sejajar dan tampak dekat. ”Sementara opera klasik itu seperti televisi analog, Tan Malaka seperti televisi high density, semua tampak dekat dengan warna-warna yang kaya,” katanya.

Tony Prabowo menyusun komposisi musik untuk opera ini sekitar setengah tahun dan memilih sendiri para pemusik yang diinginkannya karena ingin dimainkan orang-orang terbaik. ”Ini solois semua,” ucapnya.

Goenawan memang membebaskan Tony dalam menulis ­komposisinya. ”Saya hanya minta pada Tony agar musiknya lebih sederhana,” kata Goe­nawan, yang sebelumnya telah berkolaborasi dengan Tony dalam menggarap King’s Witch dan Kali.

Goenawan mengambil model opera esainya ini dari teater epik, suatu gerakan teater di masa revolusi Jerman pada pertengahan abad ke-20 dengan para tokoh seperti Erwin Piscator, Vladimir Mayakovsky, Vsevolod Meyerhold, dan Bertolt Brecht. Teater ini menekankan diri pada montase, ketegangan, dan kontradiksi. ”Ada orang yang berpendapat bahwa kesenian itu keutuhan yang kompak. Saya berpendapat bahwa kesenian itu montase, tak ada pusat, bisa beragam, ada dialektika. Selalu ada difference, yang berbeda, muncul,” katanya.

Dialektika di sini, kata Goenawan, tak hendak dituntaskan. ”Ketegangan dan kontradiksi yang selalu muncul akhirnya dibiarkan, tidak dijadikan atau lalu dikaitkan. Dialektika kan kontradiksi yang selalu disintesiskan, tapi ini sintesis sementara,” ujarnya.

Tan Malaka membiarkan kontradiksi itu. Ada Ubiet yang bersuara rendah dan Binu yang tinggi. Ada penyanyi aria, tapi juga ada narator. Pentas ini minimalis, tapi toh ada bagian yang realis. ”Tapi, kalau dibilang realis, tidak seluruhnya, karena, misalkan, kronologi cerita tidak ada. Hanya imaji, seperti lukisan Marc Chagall,” katanya. Marc Chagall adalah pelukis surealis Belarusia yang suka menyatukan berbagai hal yang tak jelas hubungannya dalam satu kanvas, seperti gambar Yesus disalib di satu bagian, rumah terbakar di bagian lain, dan kambing di sisi yang lain.

Imaji-imaji itulah yang ingin dibangun di setiap bagian pementasan, termasuk panggung dan multimedia. Panggung berbentuk semacam pabrik dan kapal itu dirancang Danny Wicaksono, arsitek pendiri majalah jongArsitek!, dengan mengambil ilham dari gerakan arsitektur dan seni konstrukti­visme Rusia. ”Ada dua perubahan radikal dan beberapa perubahan kecil,” kata Danny tentang rancangannya.

Ign. ”Cling” Sugiarto, anggota Teater Garasi yang biasa menangani pemanggungan, mewujudkan rancangan itu menjadi panggung kayu dengan tulang besi untuk memudahkan pembongkaran dan pemasangannya.

Cecil Mariani, pengajar desain komunikasi visual di Universitas Pelita Harapan, menangani pembuatan multimedia untuk pentas ini. Dia menggali Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional untuk mendapatkan dokumentasi video dan surat kabar lama. Khusus untuk tayangan lelaki dan perahu di tepi pantai, dia dibantu Paul Kadarisman dalam pembuatan videonya. Mereka melakukan pengambilan gambar di Pelabuhan Sunda Kelapa pada September lalu. ”Tayangannya tiga menit, tapi kemudian dipotong jadi satu menit 39 detik untuk penyesuaian dengan musiknya,” kata Cecil.

Menurut Goenawan, sebagai sutradara dia tak harus setia pada naskah, tapi naskah bisa disesuaikan dengan keadaan. Dia merasa bahwa pertunjukan ini menjadi seperti ini karena anggota tim yang sangat mendukung. ”Sa­ya dibantu satu tim kelas satu,” katanya.

Kurniawan, Ismi Wahid, Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus