Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tatkala Politik Menembus Cannes

Fahrenheit 9/11 mendapat penghargaan Palem Emas.

31 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FESTIVAL Film Cannes, surga bagi filmmaker dan pencinta film (cinephiles) dunia, tampaknya tak bisa menghindar dari politik tahun ini. Festival film yang berlangsung dari tanggal 12 Mei sampai 23 Mei ini diawali dengan ancaman demonstran yang tergabung dalam Pekerja Hiburan Prancis yang menuntut kenaikan gaji dan tunjangan kesejahteraan. Demonstrasi berlangsung lancar, tanpa bentrokan dengan aparat.

Demo di jalanan, pesan-pesan anti-pembajakan di antara seminar-seminar film. Dan memang yang terakhir itulah yang paling banyak dipublikasikan dan paling banyak menghadirkan pembicara, para bos besar studio Hollywood: Paramount, MGM, Sony International, dan kawan-kawan. Pamflet anti-pembajakan tersebar di seluruh penjuru Kota Cannes. Dan pihak tertuduh di sini adalah Rusia dan Asia.

Dewan juri tahun ini diketuai oleh maestro cult film Quentin Tarantino, dengan anggota antara lain Tilda Swinton, Kathleen Turner, dan Emmanuelle Beart. Dan mereka ternyata mengakui keunggulan film dokumenter karya Michael Moore yang sarat dengan muatan politiknya, Fahrenheit 9/11. Dan inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah Cannes, film dokumenter memperoleh Palm d'Or, penghargaan tertinggi Palem Emas.

Memang tak dapat dimungkiri, termasuk oleh saya pribadi, kekuatan Michael Moore dalam film dokumenternya. Karya perdananya, Bowling for Columbine, sangat blakblakan mengemukakan paranoia masyarakat Amerika yang begitu getol mengandalkan senjata api dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan Fahrenheit 9/11 terang-terangan sangat anti-George Bush.

Moore mengawali filmnya dengan mengambil adegan pemilu terakhir di Amerika Serikat. Waktu itu, tingkat perolehan suara buat kandidat presiden Al Gore lebih tinggi ketimbang George Bush—sampai pada hari terakhir tiba-tiba Fox News menyiarkan penghitungan suara yang memenangkan Bush. Kejadian ini lalu diikuti oleh network televisi lainnya. "Was it a dream?" kata Michael Moore. Lalu mulailah ia mengungkapkan kebohongan demi kebohongan yang mencengangkan penonton: dari pemilik Fox News yang sepupu langsung Bush, kedekatan Bush dengan keluarga Usamah bin Ladin, hingga dokumen penting yang mendasari keputusan George Bush menyerang Irak.

Moore reflektif, dan tak berhenti di situ. Ia kemudian membuat relevansi kepicikan Bush dengan rakyat Amerika dan masyarakat dunia. Ia mengambil beberapa karakter "ibu" yang anak-anaknya dikirim sebagai tentara dan meninggal di Irak. Moore juga mendatangi banyak anggota Kongres yang lewat di depan kantor Kongres. Ia tentu saja tak mendapat izin masuk. Tapi bukan itu yang utama. Ia menanyakan ke setiap anggota kongres: maukah mereka mengirimkan anak-anaknya ke Irak sebagai tentara demi membela kepentingan Amerika. Wajah para anggota Kongres pun merah padam. Terbata-bata mereka menjawab pertanyaan tersebut seraya mengayun langkah cepat-cepat masuk mobil. Ada beberapa yang langsung kabur begitu melihat Moore dan kameranya.

Fahrenheit juga menggambarkan perjalanan Moore ke Irak. Di sana ia memfilmkan kenyataan hidup tentara yang amat-sangat menyedihkan. Ia membuat air mata ibu-ibu mana pun menetes melalui adegan dan pengakuan tentara-tentara muda Amerika yang masih hidup dan terdampar di Irak. Maka tak mengherankan, di akhir film, semua penonton di Grand Lumiere, yang berkapasitas kira-kira 3.000 orang, memberikan tepukan sambil berdiri selama lebih dari 15 menit—standing ovation yang terlama di antara film kompetisi yang lain.

Jadi, entah Cannes mau berpolitik entah tidak, Fahrenheit 9/11 memang memiliki daya tarik yang kuat sebagai film. Michael Moore memang gemar berpolitik, tapi ia berkepribadian hangat dan sangat rendah hati. Ini terpancar dari cara bertutur film-filmnya, yang blakblakan tapi tidak menggurui (patronizing). Bahkan, di tengah dokumenter yang serius, subteks humornyalah yang sesungguhnya sangat kuat. Apa pun, yang pasti Moore sangat mencintai ibu dan istrinya. Di kedua film dokumenternya, walaupun sarat pesan politik, ia selalu mengembalikan akibat kelicikan politik pada sisi elementer masyarakat: keluarga, dengan anak-anak sebagai korban. Dan betapa hancurnya hati seorang ibu melihat anak-anak menjadi korban apa pun, di dunia mana pun.

Menonton karya Moore membuat kita ingin mengirimkan DVD kedua filmnya ke para anggota parlemen, terutama para ibu yang duduk di parlemen kita. Memang, Moore telah menggerakkan kamera sekaligus hati penontonnya.

Nia Di Nata (Cannes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus