CELAKA, upaya pembelaan Gareng kandas di pengadilan. Dan itu karena Petruk, buruh pabrik kolor yang hendak dibelanya, tak bisa menjawab pertanyaan. Dari mulutnya hanya keluar bunyi "wek...wek." Itulah sepenggal adegan pementasan Teater Abu (Aneka Buruh), grup teater yang anggotanya terdiri dari para buruh berbagai industri. Mengambil lakon Mentok (itik), Ahad dua pekan lalu, keseharian masyarakat "awam" yang sering disebut sebagai lugas, lugu, dan sederhana itu ternyata bisa menjadi "plastis" di panggung Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Mentok merupakan gubahan dari naskah Wek Wek karya almarhum Djadug Djajakusuma, tokoh teater dan film. Mentok menyusupkan persoalan yang hampir rutin di sebuah pabrik: kecurigaan pemilik pabrik pada kecerobohan dan manipulasi pekerjanya. Dari awal, pementasan ini menyajikan simbol-simbol untuk memproduksi makna yang berlapis: penggunaan karakter tradisional punakawan, warna kostum, topeng, juga gerak atau gesture yang dimainkan. Lihat saja, tokoh Petruk berkostum putih bertopeng cemberut inilah sosok buruh pabrik. Bagong mengenakan pakaian hijau, selalu tersenyum ia mewakili tokoh pemilik pabrik. Gareng dengan pakaian merah mengesankan sinisme, watak yang diberikan pada pokrol bambu. Akhirnya Semar, berkostum kuning, berkesan dingin adalah simbol organisasi, SPSI alias Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Dengan mudah simbol-simbol itu bisa ditafsirkan. Misalnya, Petruk yang buruh itu adalah pihak terlemah. Topengnya yang cemberut dan berwarna putih dengan segera memberi asosiasi akan hidup yang senantiasa sulit walau relatif hidupnya bersih dari polusi manipulasi. Tokoh-tokoh yang simbolistis itu memang terasa mewakili secara psikis maupun fisik peran sehari-hari mereka. Namun, di panggung, mereka kurang mewakili karakter-karakter yang digambarkan dalam naskah aslinya. Untunglah, kelemahan tersebut ditolong oleh struktur cerita. Bagong (dimainkan Juli) menuduh Petruk (Seha), pegawainya, memanipulasi produk pabrik kolornya. Sedangkan Gareng (dimainkan dengan bergairah oleh Ratna, seorang satpam) mencoba membela Petruk. Gareng balik menuduh Bagong teledor dalam memenuhi ketentuan kerja. Keduanya meminta Semar, wakil SPSI, sebagai penengah. Celaka, perjuangan Gareng, seperti sudah disebut di awal tulisan, kandas di sidang pengadilan karena Petruk tiba- tiba hanya bisa omong: "Wek... wek." Simbolisme bahasa Petruk sebenarnya menarik jika dilanjutkan. Misalnya untuk mengekspresikan ketidakmampuan pekerja melakukan komunikasi, gagalnya penguasa memahami awam, dan banyak lagi. Oleh Djajakusuma, bahasa bebek digunakan untuk menyembunyikan, antara lain, persekongkolan kotor di antara para pelaku untuk "merampok" Bagong, si pengusaha. Bagian akhir ini rupanya dikerat oleh Teater Abu. Mentok, yang didukung 30 buruh pabrik dari berbagai sentra industri di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi ini, diakhiri dengan protes atas ketidakadilan putusan Semar. Protes segera menyebar, berbaur suara sirene, peluit, cahaya lampu senter, kekacauan. Akhirnya, di panggung tinggal seorang lelaki, berdiri di sudut remang, sambil meniup bendera kertas merah putih. Kemudian panggung gelap. Tak kurang dari 200 penonton, hampir separuhnya buruh yang datang bergerombol dari berbagai pelosok Jakarta, untuk kesekian kalinya memberi aplaus panjang. Pertunjukan yang disutradarai Margesti S. Otong ini memang mengesankan, juga dalam keberaniannya dalam menjejalkan sejumlah simbol yang "kompleks" di tengah "kesederhanaan" pengunjung dan pemain. Apa boleh buat bila kecanggungan dan kejanggalan kadang muncul mencolok. Gareng yang lupa dialog, dan tanpa niat membuat lelucon meluncurlah dari mulutnya kalimat macam ini: "Curah hujan 25 derajat selsius, udara 24 sentimeter." Teater Abu, dibentuk oleh Yayasan Perempuan Mardika, pertama kali mementaskan Nyanyian Pabrik, Februari tahun lalu. Grup ini dibentuk didasari keyakinan, "(kaum) buruh membutuhkan kesenian untuk mengaktualisasi diri... (dan) teater pun bisa dibangun dari pikiran-pikiran yang sederhana". Yang kemudian dirasakan oleh para pemainnya, berteater adalah kegiatan waktu luang di Sabtu malam dan hari Minggu, dengan imbalan uang transpor Rp 1.500 sampai Rp 2.000 per hari. Tapi, kesenian lebih sering membuat kenyataan tak lebih sederhana. Kesederhanaan mereka dan dunia mereka kadang harus diterjemahkan dalam simbol-simbol yang tak sederhana, yang kerap menghalangi impuls emosional, spontanitas, dan bisa jadi kejujuran mereka. Memang, bila mereka berhasil, bahasa seni atau ekspresi artistik pun tak kurang kuatnya dibandingkan dengan slogan, propaganda, atau kritik dalam poster-poster mereka untuk menyampaikan masalah buruh. Radhar Panca Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini