PENTAS Teater Kubur, akhir minggu lalu, adalah pentas yang menekan perasaan. Seluruh dinding Teater Arena Taman Ismail Marzuki dibalut kain hitam. Ketika kita masuk, disambut suara besi dipukuli, bising dan bertalu-talu. Jebolan besi beton diletakkan di sana-sini: di tepian panggung dan di tempat penonton. Kursi-kursi penonton telah dipindahkan, disusun meninggi di latar belakang, terlapis tirai hitam transparan. Ada pasir hitam bertaburan di tempat kita duduk lesehan. Di pentas yang dialasi kain putih kumal, enam pemain - lima lelaki bertelanjang dada dan bercelana pendek hitam, dan seorang perempuan bergaun panjang hitam - melakukan gerak badan dan pemanasan. Pelan-pelan, suara besi terhenti. Si perempuan berjalan mengitari panggung, dan dengan suara tinggi (dan lafal yang tak jelas) meratap, "Kita berkejaran siang malam, meski kelaminku robek, meski jeroanku ringsek." Berulang-ulang. Dan lima lelaki itu, seakan disatukan oleh nasib yang sama, mulai mengigau, mengejang-ngejang, bergulingan, dan telentang. Seorang di antara mereka, Andi Bersama, yang kemudian tampil sebagai "pemain utama", mulai juga melenguh, "Hatiku ke mana, kelaminku ke mana?" Yang disampaikan Teater Kubur bukanlah cerita. Bukan pula karakter dalam kehidupan sehari-hari. Di pentas yang ganjil itu adalah kesan tentang kemarahan, kengerian, keperihan, keputusasaan. Jika drama absurd masih menggelar tokoh-tokoh yang, sekalipun merasa kalah dan sia-sia, menunjukkan kemampuan memahami kaidah-kaidah sosial, tidak demikian halnya dalam Tombol 13 atau Topeng Monyet Bola Plastik ini. Misalnya lima pemain lelaki itu. Mereka disebut "pesakitan", "bola", dan pelbagai sebutan lain. Mereka mengejangkan tubuh, membanting diri, menggelundung, berlari kecil, menggelepar. Gerak-gerak itu kadang dilakukan sendiri- sendiri, kadang menjadi satu ensambel dipimpin oleh si "pemain utama". Bergantian mereka menyemburkan kata-kata, ya, mereka tak bercakap-cakap, mereka hanya mengigau. Namun, pelbagai gambaran yang tak menyenangkan itu bukanlah kekacauan sepenuhnya. Pentas Teater Kubur tetap menyimpan "maksud" atau "makna". Maksud itu tertangkap kalau kita menghubungkan semua elemen di pentas -- suara, warna, benda-benda, para pemain, dan kata- kata -- menjadi satu keseluruhan. Suara besi dipukuli pada bagian awal tak berbeda dengan, misalnya, suara pemasangan tiang pancang yang biasa kita dengar di jalanan. Sejak dini, kita sudah mendapat kesan bahwa keriuhan dan kebusukan kota besar dicoba-hadirkan di panggung. Dan para pemain ibarat memainkan jiwa yang, karena terimpit dan terdesak oleh benda- benda, mendedahkan kegilaan dan keperihan. Dalam igauan mereka, kerap muncul pernyataan, misalnya "Aku telah menemui janji- janji di keranjang sampah." Ada juga humor pahit, misalnya ketika lima lelaki itu bergantian nyerocos tentang "lontong gado-gado Hollywood", "manisan televisi campur bom". Teater Kubur tampaknya menyatakan suatu sikap terhadap kehidupan kota besar, sikap yang berangkat dari "kesumpekan, kebisingan, dan kemelaratan diri sendiri." Namun, siapa tahu makna yang demikian itu tak terlalu penting (karena makna adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri). Kita dapat juga menganggap pentas ini sebagai kumpulan gerak yang muskil, seru, dan mendebarkan. Lihat saja bagaimana para aktor itu mengeksploitasi tubuh mereka sendiri. Ini sebuah permainan yang mengingatkan kita pada gerak dalam film kartun. Atau seperti disarankan oleh judul pementasan, para pemain seperti terilhami topeng monyet dan gerakan bola plastik. Singkatnya, mereka mengembangkan kemungkinan gerak apa saja, dengan cara "menyiksa" tubuh. "Teknik penyiksaan" ini, dalam bentuknya yang paling ekstrem, terjadi manakala setiap aktor memainkan sebuah properti utama. Sekurang-kurangnya semenjak Sirkus Anjing (1989-1990), Teater Kubur mengolah kecenderungan ini. Properti itu dalam Sirkus Anjing adalah tong, dan kali ini kursi lipat yang dibebat kain putih. Kursi itu tak hanya diduduki, diinjak, dijinjing, tapi juga dibanting, dikalungkan dan dijepitkan pada tubuh. Bahkan, menjelang akhir pertunjukan, ketika lima lelaki itu bertekad "melawan dinding besi", kursi itu mereka mainkan sebagai senapan. Maka, pemakaian kursi itu seakan jadi paradoks: medium yang menjalarkan gerak tubuh yang serbamuskil, sekaligus penghalang jika gerak itu mau lebih ekstrem. Dan Dindon, penulis naskah dan sutradara, sebagaimana banyak seniman Indonesia, tetap percaya pada penyelesaian yang romantik. Imaji kota besar telah diolah dan digelar, tapi kehidupan di sana tetaplah sesuatu yang penuh teror, tanpa warna, dan menjijikkan. Maka, pentas ini, di bagian akhir, menawarkan semacam iman, yakni satu keadaan ketika "kita masuki jantung kita, nadi kita, batin kita." Lalu terdengarlah lagi suara besi dipukuli, seperti di awal pertunjukan, menggenapkan rasa muram dan tertekan yang menumpuk sepanjang 90 menit. Nilai lebih pentas ini, pada hemat saya, bukanlah pada "filsafat antikota besar" yang semu dan pretensius itu, tapi pada keberanian Teater Kubur mengeksploitasi gerak tubuh dan properti utama. Inilah potensi yang dapat meledak jika saja kelompok ini memandang kehidupan kota besar dengan lebih gembira dan berwarna.Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini