Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mengukur kawasan suci sebuah pura

Masalah pura tanah lot, yang dianggap bisa tercemar karena dibangunnya fasilitas pariwisata di sekitarnya, mengingatkan umat hindu, seberapa boleh lingkungan pura diganggu.

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH pertentangan antara dunia bisnis dan keyakinan. Itu terjadi di pantai Tanah Lot, Tabanan, Bali, akhir Januari lalu. Ketika itu sekitar seratus mahasiswa dan pemuda melakukan protes terhadap pembangunan Bali Nirwana Resort (BNR), sebuah megaproyek di bidang pariwisata yang akan dibangun dekat Pura Tanah Lot. Mereka takut proyek tersebut akan menodai kesucian Pura Tanah Lot. Beberapa hari kemudian, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, secara khusus, membahas soal ini. Dari pertemuan sehari tersebut, lahirlah bhisama, semacam fatwa, dari PHDI terhadap kesucian pura. Isi bhisama, tentang radius pura yang dianggap sakral. Untuk pura Sad Kahyangan (enam pura besar di Bali), jarak permukiman penduduk atau bangunan lainnya dari pura sedikitnya harus apeneleng agung (sepemandangan jauh). Itu diperkirakan sekitar 5 km. Sedangkan untuk Dang Kahyangan (pura yang lebih kecil), apeneleng alit (sepemandangan dekat) diperkirakan sekitar 2 km. Bhisama ini lahir, kata Ketut Wiana, Wakil Sekjen PHDI, untuk menjaga kelestarian pura sebagai kawasan suci. Pura Tanah Lot termasuk Dang Kahyangan. Memang, menurut kitab Reg Weda, pura tak didirikan begitu saja. Ada filosofinya, ada aturannya. Misalnya, filosofi segara ukir (laut dan gunung) mesti diikuti. Artinya, tempat suci selayaknya didirikan di tepi laut, muara sungai, dan di kaki gunung -- dan itulah yang terjadi di Bali selama ini. Dan untuk menentukan di mana letak sebuah pura yang akan dibangun persisnya, para sulinggih (pendeta) harus melakukan meditasi. Setelah ditemukan, tanah tersebut diupacarai agar menjadi kawasan suci. Konon, itulah yang dilakukan oleh Resi Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-15, ketika menemukan lokasi Pura Tanah Lot. Sang Resi, seusai melakukan Dharma Yatra di Rambut Siwi, melihat seberkas sinar suci ke arah tenggara. Ternyata, sumber cahaya itu keluar dari sebuah pusaran air. Dan tak jauh dari lokasi itu ditemukan kawasan indah, yakni sebuah batu karang yang berbentuk burung. Di sinilah Sang Resi melakukan yoga semadi minta keselamatan kepada Dewa Laut. Proses mendirikan pura ada aturannya, demikian pun setelah pura berdiri diperlukan aturan untuk menjaga kesuciannya. Pada umumnya, bangunan pura Hindu dibagi menjadi tiga bagian: jeroan (ruang paling dalam tempat memuja Tuhan), jaba tengah (tempat pergelaran kesenian sakral), dan jaba sisi (tempat segala macam bentuk kegiatan umum). Itu bukan sekadar nama, karena masing- masing tidak boleh digunakan secara sembarangan. Di samping itu, tidak semua orang boleh masuk pura. Wanita sedang haid, misalnya, dilarang masuk pura. Di dalam pura kadang ada bangunan yang disebut bale pegat. Makna kata itu, ruang putus. Tampaknya itu dimaksudkan, mereka yang sudah melewati bangunan tersebut artinya sudah putus hubungan dengan dunia luar. Jadi, hatinya sudah suci. Hal-hal di atas setidaknya menggambarkan, begitu ketatnya umat Hindu menjaga kesucian sebuah pura, termasuk lingkungan sekitarnya. Menurut Jro Mangku Ketut Subandi, seorang sulinggih Hindu, persoalannya hal-hal itu agak terlambat disadari oleh umat Hindu. Akibatnya, ada lingkungan sekitar pura yang telanjur tidak menghormati lagi keberadaan pura itu. Misalnya, berapa pekan lalu, Ketut Wiana menemukan pura yang terjepit hotel. Pura Tengkulung di Desa Bualu, misalnya. Di sebelah kiri dan kanan pura ini, dalam jarak yang mepet, berdiri hotel-hotel. Bahkan, di bagian barat pura, ada tempat pembuangan sampah. Kalau sudah begitu, apa yang bisa diperbuat oleh seorang sulinggih? "Kami hanya bisa membuatkan bhisama, soal kewenangan menindak itu urusan pihak lain," kata Wiana. Tapi soal lingkungan yang mempengaruhi kesucian sebuah pura, di kalangan umat Hindu sendiri tak ada kesepakatan bulat. Kelompok yang tergabung dalam Forum Cendekiawan Hindu Indonesia, misalnya, tak begitu mempersoalkan jarak yang apeneleng agung dan apeneleng alit itu. Yang penting, yang ada di sekitar pura, meski dalam jarak lima atau dua kilometer, bukan tempat maksiat atau tempat pembuangan sampah. "Dan sepanjang yang ada di lingkungan pura itu menghormati tempat ibadah itu, tidak ada masalah," kata Putu Setia, Ketua Forum Cendekiawan Hindu itu. Persoalannya memang kemudian relatif. Yakni "menghormati tempat ibadah" itu bagaimana. Jro Mangku Ketut Subandi, yang tidak keberatan jika di kawasan dekat pura dibangun fasilitas pariwisata, tiba-tiba bisa sangat keberatan setelah tahu salah satu fasilitas turis itu adalah kolam renang. "Secara etika itu sudah menyinggung perasaan," kata Subandi. Menyadari kerelatifan itu, Ketut Wiana tak menolak kemungkinan soal kepantasan jarak "bebas gangguan" dari sebuah pura diubah. Sulinggih satu ini memang tetap yakin, bhisama PHDI harus ditaati. Cuma, mengingat perubahan zaman, ukuran apeneleng agung dan apeneleng alit boleh berubah lebih dekat. Dan, itu tadi, kalau toh harus ada hal di luar pura berdiri di sekitar pura, bukan tempat yang dilarang oleh agama. Julizar Kasiri (Jakarta), Putu Fajar Arcana (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus