Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teater saudara kandung

Dalam rangka peringatan 25 th pengajian melayu, universiti malayu, malaysia mengadakan pesta teater. ditampilkan 8 naskah yang mewakili perkembangan teater sejak zaman lampau. (ter)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA di Kuala Lumpur diselenggarakan pesta teater selama 10 hari (berakhir 15 April kemarin), kelihatan apa yang telah dicapai saudara-saudara di sana, dalam jenis yang "modern" itu. Keramaian ini diadakan dalam peringatan 25 tahun Pengajian Melayu, Universiti Malaya, dan diongkosi sebanyak 50.000 ringgit -- sekitar Rp 15 juta. Dengan delapan hari pementasan dan dua hari seminar, diketengahkan delapan naskah yang dipandang mewakili perkembangan yang dimaksud. Dan perkembangan itu memang menempuh garis yang sama dengan yang berlangsung di Indonesia -- dari yang "teater lisan" sampai drama "realis" yang "absurd" dan seterusnya. Bedanya di sana orang mulai agak lebih lambat. Terutama bukan karena negeri itu lebih muda (Malaya merdeka 1957, Malaysia dibentuk 1963). Tapi lebih penting, di samping yang lain-lain, agaknya sastra Malaysia yang antara lain tetap mempertahankan huruf Arab itu, lebih sedikit ditimpa perbenturan dengan pengaruh dan segala pemikiran Barat. Betapapun, teater "modern" di Malaysia dianggap baru muncul dengan meyakinkan di tahun 50-an -- periode yang disebut 'zaman sandiwara'. Bedanya dengan di sini: 'sandiwara' oleh para teaterawan Malaysia itu disebut untuk menamai tontonan dengan naskah tertulis, dan dengan demikian dibedakan dengan Komedi Bangsawan. Memang, kapan pertama kali dijumpai naskah tertulis sendiri masih belum lagi dikaji -- seperti kata Krishcn Jit dalam Dewan Sastera (Kuala Lumpur), menyambut pesta teater itu. Shaharom Husain misalnya, di zaman Jepang diketahui sudah menulis Lawyer Dahlan. Sedang di Indonesia, naskah tertulis pertama sudah dijumpai tahun 1926: Bebasari, Rustam Effendi. Hanya kelebihan karya En-cik Shaharom itu: ia ditulis untuk dimainkan, bukan hanya bagian kesusastraan seperti di zaman lampau kita. Lalu pada 1963, Awang Had Salleh dan Mustapha Kamil Yassin menghasilkan masing-masing Buat Menyapu Si Air Mata dan Atap Genting Atap Rembia. Di sekitar tahun-tahun inilah dikatakan bermulanya 'zaman realisme'. Drama di sini dibebaskan dari tema-tema kerajaan, tak lagi menggunakan puisi, bahkan mendapat pengaruh berat dari Chekov, Ibsen dan Bernard Shaw. Disejajarkan dengan di Indonesia, ini tampaknya satu lompatan: bukan lagi realisme yang sudah bermula di zaman Jepang (Usmar Ismail, El Hakim, Anjar Asmara), yang idealistis dan betapapun romantis, melainkan realisme model ATNI. Dan di Universiti Malaya itu dipertunjukkan wakil dari realisme mereka ini. Yakni Atap Genting Atap Rembia karya Mustapha Kamil tadi dan Tamu di Bukit Kenny karya Usman Awang. Sementara itu malam pertama, untuk 'zaman sandiwara', diketengahkan karya Saharom Si Bongkok Tanjung Puteri, yang mengeduk khazanah lama Melayu dan sangat mengingatkan pada Shakespeare. Malam berikutnya dibawakan karya yang dianggap menandai peralihan ke periode selanjutnya Umbut Padi Tidak Berisi karya Bidin Subari, sebuah karya yang habis-habisan mengeksploitir lelucon seks. Empat drama berikutnya kelihatan dipilih untuk mempertunjukkan beberapa kecenderungan teater mutakhir di sana. Pertama Bukan Lalng Ditiup Angin (Noordin Hassan) yang didukung lebih 100 orang, terasa seperti arak-arakan besar dengan tarian dan nyanyian, dan tidak mengandung plot. Kedua Tok Perak Seyd Alwi yang menggabungkan tari, wayang kulit, wayang gambar, syair dan slide. Kemudian Anna karya Dinsman, drama pendek yang mengemukakan 'tragedi bahasa' seperti bisa dijumpai pada Ionesco -- dan di Indonesia diperbuat dulu oleh Iwan Simatupang dengan lakonnya Taman. Dan terakhir Angin Kering karya Johan Jaafar. Tradisi Dalam garis besar apa yang terjadi di Malaysia sekarang memang sama dengan di sini yang jadi soal paling pokok di sana tidak tampak kehidupan grup. Berbagai lakon "modern" (di samping yang tradisionil seperti makyong, atau wayang), memang dibeli orang, tapi kehidupan grup tidak terdukung antara lain oleh tiadanya pusat seperti Taman Ismail Marzuki. Tetapi penonton berjubel -- untuk pertunjukan uang tahun yang memang diselenggarakan gratis. Ini memberikan sedikit harapan -- karena sebelumnya kalangan teater sendiri pada mengeluh oleh surutnva jumlah penonton. Tentang ini, pada sebuah nomor Dewan Sastera ada dimuat tulisan lain dari Krishen Jit: Ke Mana Perginya Penonton. Dan tajuk majalah itu sendiri mengajukan pertanyaan antara lain: apakah teater kita terlalu jauh dari tradisi? Menarik, pertanyaan itu berada di tengah segala petunjuk yang menjelaskan bahwa orang di sana tidak mau kehilangan diri-sendiri. Masalah mereka tentu tidak beda dengan di sini -- bila dihadapkan dengan "Barat", baik sebagai pengaruh maupun sekedar sentakan. Terutama bila kemajuan memang tak usah diukur dengan "garis kronologis" model Barat, siapa tahu pengendapan yang tuntas dalam khazanah budaya sendiri memang menyediakan banyak kekayaan bagi teater dengan keterampilan modern. Tapi khusus tentang perbendaharaan Malaysia, sudah tentu seorang peninjau tidak lebih arif dari mereka yang lebih langsung mewarisinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus