KETIKA di Kuala Lumpur diselenggarakan pesta teater selama 10
hari (berakhir 15 April kemarin), kelihatan apa yang telah
dicapai saudara-saudara di sana, dalam jenis yang "modern" itu.
Keramaian ini diadakan dalam peringatan 25 tahun Pengajian
Melayu, Universiti Malaya, dan diongkosi sebanyak 50.000
ringgit -- sekitar Rp 15 juta. Dengan delapan hari pementasan
dan dua hari seminar, diketengahkan delapan naskah yang
dipandang mewakili perkembangan yang dimaksud.
Dan perkembangan itu memang menempuh garis yang sama dengan yang
berlangsung di Indonesia -- dari yang "teater lisan" sampai
drama "realis" yang "absurd" dan seterusnya. Bedanya di sana
orang mulai agak lebih lambat.
Terutama bukan karena negeri itu lebih muda (Malaya merdeka
1957, Malaysia dibentuk 1963). Tapi lebih penting, di samping
yang lain-lain, agaknya sastra Malaysia yang antara lain tetap
mempertahankan huruf Arab itu, lebih sedikit ditimpa perbenturan
dengan pengaruh dan segala pemikiran Barat.
Betapapun, teater "modern" di Malaysia dianggap baru muncul
dengan meyakinkan di tahun 50-an -- periode yang disebut 'zaman
sandiwara'. Bedanya dengan di sini: 'sandiwara' oleh para
teaterawan Malaysia itu disebut untuk menamai tontonan dengan
naskah tertulis, dan dengan demikian dibedakan dengan Komedi
Bangsawan.
Memang, kapan pertama kali dijumpai naskah tertulis sendiri
masih belum lagi dikaji -- seperti kata Krishcn Jit dalam Dewan
Sastera (Kuala Lumpur), menyambut pesta teater itu. Shaharom
Husain misalnya, di zaman Jepang diketahui sudah menulis Lawyer
Dahlan. Sedang di Indonesia, naskah tertulis pertama sudah
dijumpai tahun 1926: Bebasari, Rustam Effendi. Hanya kelebihan
karya En-cik Shaharom itu: ia ditulis untuk dimainkan, bukan
hanya bagian kesusastraan seperti di zaman lampau kita.
Lalu pada 1963, Awang Had Salleh dan Mustapha Kamil Yassin
menghasilkan masing-masing Buat Menyapu Si Air Mata dan Atap
Genting Atap Rembia. Di sekitar tahun-tahun inilah dikatakan
bermulanya 'zaman realisme'. Drama di sini dibebaskan dari
tema-tema kerajaan, tak lagi menggunakan puisi, bahkan mendapat
pengaruh berat dari Chekov, Ibsen dan Bernard Shaw. Disejajarkan
dengan di Indonesia, ini tampaknya satu lompatan: bukan lagi
realisme yang sudah bermula di zaman Jepang (Usmar Ismail, El
Hakim, Anjar Asmara), yang idealistis dan betapapun romantis,
melainkan realisme model ATNI.
Dan di Universiti Malaya itu dipertunjukkan wakil dari realisme
mereka ini. Yakni Atap Genting Atap Rembia karya Mustapha Kamil
tadi dan Tamu di Bukit Kenny karya Usman Awang. Sementara itu
malam pertama, untuk 'zaman sandiwara', diketengahkan karya
Saharom Si Bongkok Tanjung Puteri, yang mengeduk khazanah lama
Melayu dan sangat mengingatkan pada Shakespeare. Malam
berikutnya dibawakan karya yang dianggap menandai peralihan ke
periode selanjutnya Umbut Padi Tidak Berisi karya Bidin Subari,
sebuah karya yang habis-habisan mengeksploitir lelucon seks.
Empat drama berikutnya kelihatan dipilih untuk mempertunjukkan
beberapa kecenderungan teater mutakhir di sana. Pertama Bukan
Lalng Ditiup Angin (Noordin Hassan) yang didukung lebih 100
orang, terasa seperti arak-arakan besar dengan tarian dan
nyanyian, dan tidak mengandung plot. Kedua Tok Perak Seyd Alwi
yang menggabungkan tari, wayang kulit, wayang gambar, syair dan
slide.
Kemudian Anna karya Dinsman, drama pendek yang mengemukakan
'tragedi bahasa' seperti bisa dijumpai pada Ionesco -- dan di
Indonesia diperbuat dulu oleh Iwan Simatupang dengan lakonnya
Taman. Dan terakhir Angin Kering karya Johan Jaafar.
Tradisi
Dalam garis besar apa yang terjadi di Malaysia sekarang memang
sama dengan di sini yang jadi soal paling pokok di sana tidak
tampak kehidupan grup. Berbagai lakon "modern" (di samping yang
tradisionil seperti makyong, atau wayang), memang dibeli orang,
tapi kehidupan grup tidak terdukung antara lain oleh tiadanya
pusat seperti Taman Ismail Marzuki.
Tetapi penonton berjubel -- untuk pertunjukan uang tahun yang
memang diselenggarakan gratis. Ini memberikan sedikit harapan --
karena sebelumnya kalangan teater sendiri pada mengeluh oleh
surutnva jumlah penonton. Tentang ini, pada sebuah nomor Dewan
Sastera ada dimuat tulisan lain dari Krishen Jit: Ke Mana
Perginya Penonton. Dan tajuk majalah itu sendiri mengajukan
pertanyaan antara lain: apakah teater kita terlalu jauh dari
tradisi?
Menarik, pertanyaan itu berada di tengah segala petunjuk yang
menjelaskan bahwa orang di sana tidak mau kehilangan
diri-sendiri. Masalah mereka tentu tidak beda dengan di sini --
bila dihadapkan dengan "Barat", baik sebagai pengaruh maupun
sekedar sentakan. Terutama bila kemajuan memang tak usah diukur
dengan "garis kronologis" model Barat, siapa tahu pengendapan
yang tuntas dalam khazanah budaya sendiri memang menyediakan
banyak kekayaan bagi teater dengan keterampilan modern. Tapi
khusus tentang perbendaharaan Malaysia, sudah tentu seorang
peninjau tidak lebih arif dari mereka yang lebih langsung
mewarisinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini