Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seorang kenalannya pun dapat menyangka sebelumnya. Johanes Hubertus Eijenboom (27 tahun) seorang yang tampan. Lagak lagunya lembut. Sedikit pun tak mencerminkan keberanian untuk berbuat sesuatu yang keras. Bahkan untuk model iklan rokok pun, menurut pimpinan biro iklan Intervista yang membayarnya untuk itu, ia tak cukup jantan. "Dia kebanci-bancian," kata orang biro iklan tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Johny Indo -- begitu namanya disebut, karena ia Indo Belanda -- hanya dipasang sebagai peran pembantu dalam iklan rokok Ardath. Yang diketahui oleh Toto dari Intervista si Johny tampak putus asa. "Ia betul-betul sedang membutuhkan uang," kata Toto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melamar pekerjaan di berbagai kantor selalu gagal. Sedangkan honorariumnya sebagai model yang belum ternama memang tak cukup memberinya penghasilan bagi isteri dan ke 4 anak perempuannya. Belum terhitung bagi 2 atau 3 pacarnya. Itu saja yang diketahui teman-temannya.
Menurut cerita polisi, Johny yang feminin itu mampu mengumpulkan banyak teman dari kalangan "hitam". Dia membeli sepucuk pistol. Sebuah senjata laras panjang lainnya disrobot dari seorang petugas keamanan yang lengah di tempat hiburan Ancol. Lalu mulai bekerja.
Tak kurang dari 7 peristiwa perampokan toko emas di Jakarta, seperti di Kebonkacang, Roxy. Sawahbesar, Pasar Jangkrik dan Kepu, diduga keras bekas tangan komplotannya antara awal tahun lalu sampai Maret kemarin.
Dari laporan para korban, komplotan Johny Indo telah menggasak sekitar 16 Kg emas. Polisi sudah lama mengincar komplotan Johny ini. Bergerak sejak dinihari, Selasa 17 April kemarin, hingga sore polisi berhasil meringkus 13 anggota komplotan Johny dari berbagai tempat setelah peristiwa perampokan toko emas di Pasar Jangkrik. Johny sendiri lolos.
Seminggu kemudian barulah ia dibekuk polisi di gua Kiansantang. Konon di tempat itulah Prabu Siliwangi dulu bertapa, 7 Km dari Sukabumi. Setelah ke 13 temannya diringkus Johny rupanya sangat gelisah. Dari mulut kawanan perampok itu polisi tentu tak sulit mengetahui kepalanya. Karena itu Johny selalu berikhtiar menghindar.
Pertama dia minta nasehat seorang pamannya di Parung, di Km 30 jalan antara Jakarta-Bogor. Di sini Johny kecewa. Pamannya hanya menyarankan sebuah 'pil tenang': menyerah saja kepada polisi. Dia menolak. Dari Parung terus ke Pandeglang. Di sana diketahuinya ada seorang pintar yang dengan jampa-jampinya dapat menghindarkan seorang dari kejaran polisi.
Segelas air putih dari orang pintar tersebut dapat sedikit menenangkan perasaannya. Johny berani kembali ke Jakarta. Namun begitu perasaan dikejar-kejar polisi, karena ia memang buron, tak mau hilang-hilang juga.
Dari seorang dukun wanita di Tanjungpriok Johny dianjurkan bertapa di gua Kiansantang di Desa Gunungguruh dekat Sukabumi. Johny menurut. Setelah lebih dulu menjual sepedamotornya di Pecenongan, 24 April Johny terus berangkat ke bekas pertapaan Prabu Siliwangi itu. Tapi tempat keramat itu rupanya tak dapat menerimanya.
Juru kunci pertapaan memang selalu mendesak setiap pegunjung untuk mengakui apa keperluan yang sebenarnya sebelum melakukan semedi di sana. Johny berharap mendapatkan perlindungan, terus terang menceritakan keperluannya. Ini sialnya. Karena tak terikat oleh 'kode etik' untuk menutupi rahasia 'kliennya' -- atau juru kunci itu tak rela tempat keramatnya dijadikan persembunyian penjahat -- kedatangan Johny dilaporkan kepada mantri polisi.
Selanjutnya cerita biasa. Laporan juru kunci oleh mantri polisi diteruskan ke pos polisi Cisaat. Kepolisidn Jakarta yang dikontak segera mengirim petugas dan membekuk Johny yang sudah siap bertapa. Namun bagi biro iklan Intervista tentu bukan cerita biasa. Tak mungkin memasang tokoh (tersangka) bandit untuk sebuah iklan, bukan?
Jadi, 20.000 lembar poster iklan Ardath, yang menampilkan tampang tampan Johny terpaksa distop peredarannya. Iklan di penerbitan dan televisi, untuk rokok dan obat batuk, juga mesti ditarik dari peredaran. Kerugian Intervista, menurut seorang pimpinannya, sekitar Rp 25 juta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perampok Bertampang Banci"