Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Keong Bercacing Lembah Napu

Penyakit cacing schistosomiasis yang melanda daerah lembah napu, belum berhasil diatasi. Keadaan geografis yang berawa-rawa & kebiasaan penduduk dalam sanitasi lingkungan mempersulit pemberantasan. (dh)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KADOLO, alias Uma na Muti (ayahnya Muti), hampir tak dapat beranjak dari tikarnya. Perutnya gembung seperti balon raksasa, terasa lembut penuh cairan. Gejala penyakit ini terdapat di Lembah Napu, Sulawesi Tengah, sudah lama dijumpai di kalangan penduduk. Umumnya penderita penyakit Schistosomiasis atau Bilharzia itu susah ditolong antara lain karena terletak di lembah gunung dengan ketinggian 1000 meter lebih. Penduduk Napu laim menyebutnya penyakit bengke (perut besar). Belum tersedia obat untuk mereka. Orang seperti Kadolo, korban Bilharzia dari Kampung Alitupu yang berpenduduk 396 jiwa, tampak dibiarkan saja tanpa pengobatan. Cacing yang merongrong kesehatannya tergolong parasit darah. Sekali masuk ke dalam tubuh manusia, cacing itu dapat berumur sampai 20 tahun -- asal manusianya tahan menderita begitu lama, tentunya. Lebih dari separuh penduduk Napu yang 6000 jiwa itu diancam maut oleh sejenis keong ampibi yang besarnya hanya sepentol korek api. Keong ini -- Oncomelania hupensis lindoensis -- suka menempel di batang rumut dan padi yang pangkalnya terendam air. Terutama bila air mandeg, maka di tubuh keong itu bersarang ribuan cercaria, anak cacing Schisto yang baru menetas dari telurnya. Bila keong ini terinjak kaki manusia yang telanjang, ribuan cercaria tadi dengan mudah menerobos pori-pori kulit masuk ke peredaran darah. Anak cacing itu juga dapat tersebar lewat kotoran manusia dan mamalia seperti kerbau, kuda, maupun anjing dan kucing. Di Lembah Napu yang kaya dengan padang rumput, sawah, rawa-rawa, sungai dan hutan-hutan kecil, terdapat pula banyak tempat bercokol (focus) keong renik berikut penumpang gelapnya. Depkes dan US-Namru dalam survei 1973/74 menemukan lebih dari 60% penduduk Kampung Alitupu dan sekitarnya berada dalam bahaya Schisto. Begitu pula 51% penduduk Kaduwa, 46% penduduk Sedoa, dan 20% penduduk Watumaeta. Di Kampung Wuasa sendiri yang merupakan ibukota Kecamatan Lore Utara, 18% penduduknya diduga sudah ketularan Bilharzia, sementara Kampung Watutau yang paling selatan di Lembah Napu 'hanya' 12%. Tak ketinggalan pula beberapa kampung di pinggir sungai antara Lembah Napu dan Lembah Besoa di selatannya, meskipun persentase serangan Bilharzia masih di bawah 10% -- tahun 1974. Pemberantasan dan pengobatan para penderitanya belum pernah dilakukan di Napu. Ini berbeda dengan di tepi Danau Lindu, yang memang lima tahun lamanya jadi pusat penelitian terhadap Schisto (TrMPO, 29 Desember 1973 dan 2 Nopember 1974). Namun seperti diungkapkan S. Danto, Kepala Puskesmas Wuasa "faktor lingkungan ikut menentukan (merajalelanya penyakit cacing ini). Banyak sawah penduduk yang terlantar," antara lain karena sebagian sawah penduduk itu selalu kebanjiran air Sungai Tambua, nama setempat bagi S. Lairiang. Makanya Danto lewat Kepala Kampung menganjurkan agar penduduk segera mengolah kembali sawah-sawah tersebut agar tak tcrus menerus menjadi sumber perkembangan keong. Belum Berhasil Anjuran itu memang sudah dituruti oleh rakyat setempat. Di banyak tempat yang dulu focus keong, padi sudah menghijau. Tapi kemudian ada faktor lain, yakni sanitasi lingkungan. Penduduk masih terus buang hajat besar di kali, yang membuat cercaria Schisto itu dapat terus merambat. Para kepala kampung sudah mendapat pengarahan oleh Puskesmas Lore Utara, supaya setiap rumah tangga membuat satu kakus darurat, tapi belum berhasil. Pernah ada rencana untuk membangun sumur pompa di desa-desa Schisto itu. Alitupu, misalnya, bakal kebagian tiga sumur pompa. Inipun mandeg. Maklumlah, berada di bawah administrasi Kabupaten Poso, bantuan pemerintah untuk desa-desa di Napu biasanya dikirim dulu ke Kota Poso. Kalau ada pesawat Cessna MAF, barang-barang yang agak besar atau berat itu dapat diterbangkan ke Wuasa. Dari ibukota kecamatan harus dipikul manusia dan kuda ke kampung-kampung yang terpencil itu. Jalan setapak antara Wuasa dan kampung-kampung Napu lainnya umumnya tak terpelihara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus