DALAM Seminar Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (di Jakarta,
19 s/d 22 Maret lalu) kelihatan tidak ada persoalan lagi:
Mahkamah Agung diakui sebagai satu-satunya badan pengadilan
tertinggi negara. Badan terebut membawahi semua lingkungan
peradilan termasuk Peradilan Agama. Seminar tadi dihadiri
peserta dari Departemen Agama dan Kehakiman, Majlis Ulama dan
beberapa universitas.
Hubungan antara Mahkamah Agung Peradilan Agama memang ada. Ini
diakui. Tapi bahwa antara keduanya belum ada kaitan, juga banyak
yang tak menampiknya. Sebab walaupun Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman telah terbit 9 tahun silam (UU No.
14/1970), kehendaknya agar perturan perundang-undangan nasional
tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama diatur
tersendiri belum juga terlaksana.
Dengan demikian masuk akal bila tcrasa ada keengganan pejabat di
lingkungan Peradilan Agama untuk mengakui Mahkamah Agung
sebagai atasannya. Setidaknya hal itu kelihatan jelas dalam
kemacetan upaya hukum kasasi. Karena Pengadilan Agama/Mahkamah
Syariah tetap tak mau menaikkan permohonan kasasi -- walaupun
Mahkamah Agung telah membuka pintu dan memberi petunjuk
pelaksanaan. Sebab Peradilan Agama tetap tunduk kepada petunjuk
"justisiil" (menurut istilah Mahkamah Agung) dari Departemen
Agama yang melarang mengurus permohonan kasasi.
Titik!
Mahkamah Agung unjuk gigi. Ada 100 perkara kasasi yang naik
tanpa melalui panitera di Pengadilan Agama pun tetap diterimanya
(lihat kasus Cut Satariah). "Bagi Mahkamah Agung memang sulit
juga," komentar Prof. Mr. Mahadi (67 tahun), bekas Ketua
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang kini menjabat Ketua
Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Jika meladeni
permohonan kasasi padahal belum ada undang-undangnya, "bisa
disebut melanggar hukum." Atau sebaiknya menolak? "Kalau
terus-terusan menolak banyak pencari keadilan dirugikan -- serba
sulit," kata Mahadi.
Mahadi mengusulkan jalan keluar. Karena waktunya sudah mendesak,
katanya --karena prosedur menerbitkan undang-undang itu sungguh
panjang -- "sebaiknya waktu ini dibuat semacam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang." Sedangkan pendekatan antara
Departemen Kehakiman dan Departemen Agama, tentunya sudah boleh
dimulai.
Di samping soal legalitas -- yaitu belum ada undang-undang
organik yang mengatur hubungan antara Peradilan Agama dengan
Mahkamah Agung -- dan tidak tersedianya Hakim Agung Agama di
salah satu kursi badan pengadilan tertinggi itu juga dianggap
sebagai hambatan. Seminar Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
telah minta Menteri Agama agar segera mengusahakan duduknya
seorang Hakim Agung Agama di salah satu kamar di Gedung Mahkamah
Agung di Jalan Lapangan Banteng Utara Jakarta itu.
Hakim Agung Agama sudah mendesak? Ketua Mahkamah Agung, Prof.
Oemar Seno Adji SH, tak banyak komentar. "Pengangkatan seorang
Hakim Agung harus melalui prosedur, titik!" katanya. Bicara soal
prosedur, menurut kalangan di Peradilan Agama, Hakim Agung Agama
diangkat oleh Presiden atas usul DPR dan rekomendasi dari
Menteri Agama. Tapi Seno Adji berkata lain: "Prosedurnya harus
diusulkan DPR melalui Menteri Kehakiman, titik!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini