Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teater tidak resmi

Putu wijaya membacakan 8 cerpen pendek di tim, ia memilih bentuk tontonan yang atos, tegang dan dalam tempo tinggi. teater tidak resmi ini dipelopori oleh rendra, kemudian sutarji cb.

6 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKAN makin tampak munculnya beberapa jenis 'teater tak resmi'. Baik dari pembacaan cerpen maupun puisi. Model yang dibawakan Putu Wijaya, pembawaan cerpen di TIM 28-29 Agustus, termasuk yang secara sadar memanfaatkan akal-akalan (trick) untuk tetap memikat. Dan ini khas akal-akalan panggung. Putu membawakan delapan cerpen pendek -- tujuh buah diambilnya dari buku kumpulannya berjudul Es, 17 cerpen singkat, yang diterbitkannya sendiri khusus untuk keperluan acara. Ia berdiri -- dan bergerak -- di depan mikrofon telanjang, sementara di sebelah kanan-belakang dua orang berdiri di belakang mimbar dan sebelah kirinya tiga orang duduk bersila -- menghadapi gendang plus lonceng pukul. Kedua kelompok pengiring itu, para anggota Teater Mandiri, membantu Putu dengan mengambil oper beberapa dialog tertentu dari cerita yang sedang dikumandangkan -- dan membangun suasana dengan pukulan gendang maupun bunyi ting ting ting. Tidak hanya satu model memang, akal-akalan untuk mengantarkan cerpen atau puisi tertulis ke tengah forum. Leon Agusta, yang pertengahan Agustus juga muncul di tempat yang sama, mengakrol sajak-sajaknya dengan menghadirkan beberapa pengiring yang menyanyikan kalimat-kalimat tertentu. Betapa pun kedua-duanya, denga warna berbeda, telah memunculkan satu jenis lain dari teater tak resmi tersebul -- yang selama ini terutama populer pada Rendra dan kemudian Sutardji Calzoum Bachri. Baik Rendra maupun Sutardji, pada pembawaan sajak, adalah pemain tunggal. Rendralah memang yang, barangkali tak disadari banyak orang, pertama kali merubah sebuah pembacaan menjadi pertunjukan. Tapi hanya "dengan sendirinya". Sebagai pemain jempolan ia membawakan sajak-sajaknya yang dramatis -- dan secara tak terasa orang masuk dalam daerah imaji. Bila toh puisi yang dilontarkannya bukan dari jenis bertutur yang penuh adegan (Khotbah, Nyanyian Angsa, Ricky dari Corona, misalnya), yang menyebarkan ilusi seperti yang dilakukan panggung, setidaknya orang menikmati suara dan tubuh-aktornya untuk sajak-sajaknya yang liris. Adapun Sutardji pertama kali memang mengundang kecurigaan orang, acara sajaknya menjadi teater lantaran ia minum bir -- lalu bergaya. Tapi kesadaran untuk bikin tontonan secara sengaja memang dimulai dari dia. Mantra-mantranya yang "tanpa ujung-pangkal", tiba-tiba memang menarik dilantunkan dalam udara setengah mabuk, dengan tubuh sempoyongan dan tawa penonton yang menyambut sebuah pribadi yang konyol. Kesengajaannya untuk menjadi orang teater ditingkatkan lagi dengan digantungnya sebuah kapak yang diayun-ayun -- pada pembacaan terakhir -- meski sebenarnya hanya punya hubungan dengan salah-satu sajaknya yang memang berjudul Kapak. Ia mendapat keplok luar biasa. Kimono Biru Lalu puisi, dan kemudian cerpen, akhirnya memberi suguhan visual. Itu tentu tak cocok dengan "pembaca murni" yang bagus seperti Taufiq Ismail. Penyair ini merupakan contoh terbaik untuk seorang "wakil sastra" --bukan teater -- yang hanya masuk ke daerah teater pada seginya yang paling umum penyuaraan teks yang menarik. Seperti bila Bung Karno berpidato, dahulu meski warna keduanya tentu berkebalikan. Jelas ada penguasaan ritme, di samping syarat vokal dan bekal penguasaan khalayak. Tapi untuk kelompok cerpen, adalah Khairul Umam yang pertama kali mengetengahkannya di TIM untuk satu acara khusus -- akhir Januari 1978, dengan sebuah cerpen panjang Umar Kayam Kimono Biru Buat Istri yang makan waktu lebih satu jam. Sutradara film yang juga bekas anggota teater Rendra dan teater Arifin C. Noer ini memang dikaruniai suara bariton yang empuk dan santai. Dengan teknik vokal yang sempurna, peragaan tubuh sangat efisien untuk beberapa bagian tertentu, ia memenuhi ruangan dengan udara segar yang penuh tawa dan celetuk penonton, di samping klimaks dan keheningan. Masih tercatat sebagai pembaca cerpen terbagus, Mamang (panggilannya) memang ditolong oleh pemilihannya pada karya Umar Kayam yang memungkinkannya menyusun ritme dan mengembangkan berbagai warna. Tak demikian dengan pembacaan cerpen Putu Wijaya terakhir ini. Cerpen Putu mutakhir merupakan bagian dari karya-karyanya yang menggebrak. Dengan plot sederhana yang lebih memunculkan aksi daripada perenungan, masing-masing karya itu sebuah letupan hanya beberapa alinea yang tidak berpijak pada logika sehari-hari -- dan rata-rata memberi satu kejutan di bagian akhir. Yang bergerak adalah semangat (dan bahasa) yang cergas. Dan meski barangkali juga semuanya bisa dicoba dibawakan dengan santai, Putu telah memilih bentuk tontonan yang atos, tegang dan dalam tempo tinggi. Ia menghentak-hentakkan kaki, atau berjalan ke belakang untuk memberi aksentuasi maupun membuka kesempatan bagi para pembantunya. Ia memang bukan orang yang ingin berkomunikasi langsung dan terbuka dengan penonton. Ia ingin mewujudkan salah-satu bentuk teater dalam tingkat pertama -- yang diubah dalam sebuah acuan yang kempal, yang akhirnya toh hanya sebuah jembatan ke arah satu dunia di seberang. Penonton yang tidak begitu penuh, tidak tertawa dan hanya sedikit bertepuk. Mereka juga tetap diam di tempat. Sebab yang khas memang terasa. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus