Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tentang Gerakan yang Gagal

Buku terbaru John Roosa yang mengupas aneka masalah di balik G-30-S pada 1965. Termasuk rencana dan koordinasi yang berantakan, dalih untuk melakukan kudeta, dan Nyoto yang terlalu Soekarnois.

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia membandingkan Sjam Kamaruzaman, tokoh misterius, penghubung D.N. Aidit dengan militer, orang sipil yang punya akses besar dalam tubuh militer, dengan Scheherezade. Ya, dengan putri dalam Cerita 1.001 Malam yang berhasil menghindari hukuman pancung dengan mengulur-ulur cerita, mengulur-ulur waktu eksekusi. Sjam, demikian menurut John Roosa dalam Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement & Suharto's coup d'etat in Indonesia, bisa menghindar dari peluru kematian dengan memberikan pengakuan-pengakuan baru. Termasuk, antara lain, dengan pengakuan yang menyebabkan ditangkapnya seorang anggota mahkamah militer. Sjam bertahan selama 18 tahun. Dia dijatuhi hukuman mati pada 1968 dan baru menghadapi regu tembak pada 1986.

John Roosa menyodorkan sesuatu yang baru: dokumen yang ditulis oleh protagonis G-30-S, Brigadir Jenderal Supardjo, salah seorang dari empat deputi di bawah Letnan Kolonel Untung, komandan gerakan. Dokumen yang secara tak sengaja dijumpainya pada awal 2000 dan dengan tegas menunjukkan bahwa Sjam biang keladi kekacau-balauan koordinasi di antara unsur-unsur yang terlibat. Dia juga mengecam kecongkakan Sjam, yang tak mau menerima kritik. Katanya, permufakatan tersebut tidak dirancang semata-mata sebagai gebrakan militer untuk mendahului rencana kudeta oleh Dewan Jenderal, dengan dilibatkannya anggota organisasi massa yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Melalui analisis Supardjo, kita mendapatkan gambaran tentang Jakarta yang dibagi dalam tiga sektor (utara, pusat, dan selatan) dengan masing-masing komandan sektor bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pasukan di tiap sektor. Rencana tak berjalan karena pada hari H para komandan sektor tidak ketahuan di mana batang hidungnya. Suplai makanan macet sehingga pasukan yang berada di depan Istana kelaparan. Dalam bingung dan lapar, pasukan itu bukannya menyerbu, malah melenggang masuk ke Kostrad untuk minta makan.

Tujuan strategis militer terbatas dari gerakan itu, dengan menculik para jenderal, juga berantakan karena rencana yang mentah. Tim-tim yang bertugas melakukan penculikan disusun secara sembrono, dicampuradukkan antara tentara dan pemuda. Penugasan tidak jelas. Yang semula ditugaskan menculik Jenderal Nasution adalah kelompok pemuda yang baru saja belajar memegang senja-ta. Tugas itu kemudian diserahkan kepada pasukan yang belum dilatih untuk tujuan itu. Para jenderal yang jadi sasaran tidak semuanya tertangkap hidup-hidup. Jenderal Nasution lolos, sementara Jenderal Yani dan dua jenderal lagi luka parah atau tewas. Bagaimana mungkin menyeret para jenderal itu ke hadapan Presiden Soekarno (untuk meminta penyelesaian politik) dalam keadaan bersimbah darah seperti itu?

Dari dokumen Supardjo, John, seperti seorang reserse sejarah (historical detective), bergerak dengan sabar menelusuri jalannya peristiwa. Dia mewawancarai begitu banyak sumber, termasuk dua orang tokoh Partai Komunis Indonesia yang tak mau disebutkan namanya. Seorang di antaranya menyusun memoar setebal 60 halaman, yang sekarang berada di tangan John. Nama sebenarnya dari sumber itu, katanya, akan dipublikasikan apabila orang tersebut telah meninggal dunia.

Pretext for Mass Murder menguraikan bahwa orang-orang Komunis terlibat dalam gerakan itu sebagai pribadi, tidak mewakili partai. Bahwa Aidit berada di belakang Sjam terlihat jelas dalam uraian bagaimana Sjam bolak-balik menemui Aidit di salah satu rumah persembunyian di Halim untuk memperoleh petunjuk. Ulasan yang menjadi kunci bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat adalah bagaimana Nyoto, Wakil Ketua II CC PKI, sama sekali dijauhkan. Malah informasi mengenai rencana permufakatan itu pun tak disampaikan kepadanya. "Nyoto terlalu Soekarnois daripada seorang Komunis," kata Aidit. Sementara anggota politbiro PKI, Sakirman, juga disingkirkan, karena yang jadi sasaran ada-lah adiknya sendiri, Jenderal Parman.

Pretext for Mass Murder juga menyoroti peran Amerika Serikat. Negeri itu sudah lama menginginkan terjadinya perubahan politik mendasar di Indonesia, antara lain terlihat dari keterlibatan negara itu dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk menjatuhkan Presiden Soekarno yang anti-imperialisme dan neo-kolonialisme kelihatannya memang mustahil, karena tingkat popularitasnya yang amat tinggi. Sedangkan kudeta hanya bisa berhasil kalau menggunakan selubung "untuk menyelamatkan Soekarno". Amerika Serikat dan para perwira tinggi Angkatan Darat yang anti-Komunis menganggap kudeta terselubung semacam itu memerlukan sebuah dalih.

Dalam sebuah analisis pada 1959, Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat beranggapan PKI sebagai ke-kuatan pendukung terpenting Soekarno harus didorong "ke dalam posisi menjadi kekuatan oposisi terbuka terhadap pemerintah Indonesia". Sehingga muncullah sebuah dalih bagi para perwira Angkatan Darat yang anti-komunis untuk melancarkan penumpasan terhadap PKI, dan secara "merangkak" merebut kekuasaan dari tangan Soekarno.

Buku ini mengutip Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones yang mengatakan dalam rapat tertutup Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Maret 1965, bahwa " satu upaya kudeta yang gagal barangkali merupakan perkembangan yang paling efektif untuk melaksanakan perubahan kecenderungan politik di Indonesia". Dia mengharapkan PKI akan memberikan semacam "tantangan yang keras" terhadap Angkatan Darat "yang akan bisa menimbulkan reaksi yang efektif".

Persoalannya, apakah PKI akan memberikan dalih kepada Angkatan Darat untuk memukul? Walau John menganggap "satu upaya kudeta yang gagal oleh PKI" akan merupakan peristiwa yang sangat ideal, dia mengatakan bahwa mungkin PKI tidak akan melakukan sesuatu untuk menentang Soekarno. "PKI berhasil begitu baiknya dengan menggunakan taktik kerja samanya dengan Soekarno sekarang ini. Terkecuali pimpinan PKI lebih terburu-buru daripada apa yang saya kira, sehingga mereka memberikan semacam tantangan yang keras terhadap Angkatan Darat yang akan bisa menimbulkan reaksi yang efektif." Dan itu memberi peluang kepada Jenderal Soeharto sebuah dalih untuk melancarkan serangan balik secara besar-besaran terhadap orang-orang Komunis serta para pendukung dan simpatisannya.

John menyusun buku ini dengan gaya film Rashomon (berdasarkan cerita pendek Ryunosuke Akutagawa) yang masyhur pada 1950-an. Menyaksikan satu peristiwa melalui seribu pasang mata. Dia mengakui, masih banyak yang belum terurai dari gerakan yang menyebabkan malapetaka dahsyat itu. Tapi, bagaimanapun, John telah membawa kita ke dalam sebuah labirin, menunjukkan beberapa jalan buntu di dalamnya, dan memberikan petunjuk kepada para pengamat sejarah jalan yang sangat menjanjikan yang harus dirambah lebih lanjut.

Martin Aleida, Sastrawan, tinggal di Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus