Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga siswa kelas II SMA Negeri 1 Wringinanom, Gresik, Jawa Timur, bergegas meninggalkan sekolah. Selasa pagi pekan lalu itu, Yogi Salam, Sujud Adiputra, dan Heru Kristanto harus menjalankan ritual barunya: menyambangi Kali Surabaya. Sudah tiga kali ini mereka menyeberang ke Desa Perning, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, 15 kilometer dari sekolah mereka.
Begitu sampai, mereka langsung melepas seragam putih abu-abu dan berganti dengan celana pendek serta kaus santai. Tanpa ragu, mereka nyemplung ke Kali Surabaya—bagian dari Kali Brantas. Tangan Yogi dan Sujud memegang erat jaring kecil seukuran gayung mandi. Mainan baru yang mereka jalani sejak akhir Maret itu sungguh asyik.
Oops..., jangan terburu berburuk sangka. Mereka bukan bolos sekolah untuk mencari ikan di sungai. Ketiganya sedang mengidentifikasi biota Kali Surabaya. Seminggu sekali, tiga sekawan itu mengambil sampel dari titik berbeda. Kemudian dibuatlah daftar hewan yang masih hidup di Kali Surabaya di kawasan Perning.
Daftar biota temuan mereka itu nantinya akan mereka pakai sebagai rujukan pelajaran biologi di sekolah. Selama ini contoh-contoh biota sungai diambil dari sungai di Amerika Serikat dan Inggris. Tidak ada contoh lokal. Untuk kegiatan ini, mereka dibantu Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Ecoton.
Tak semua siswa SMA Negeri 1 Wri-nginanom punya kesempatan melakukan kegiatan seperti Yogi, Sujud, dan Heru. Trio ini memang bukan sembarang siswa. Selain aktif dalam kelompok ilmiah remaja, mereka ditunjuk sekolahnya untuk bergabung dalam jaringan siswa, guru, dan sekolah pemantau daerah aliran Sungai Brantas.
Jaringan tersebut dicetuskan dalam ”Lokakarya Metode Pendidikan Lingkungan dan Pelatihan Motivator Lingkungan” bagi pelajar dan guru sepanjang Kali Brantas pada akhir Maret lalu di Pusat Pendidikan Lingkungan Hi-dup, Trawas, Mojokerto. Pemrakarsanya adalah Ecoton dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), yang didirikan bekas Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim.
Lokakarya itu diikuti 10 guru dan 30 siswa dari 10 sekolah yang terdiri atas SMA dan SMP dari beberapa kota yang dilewati Sungai Brantas. Masing-masing sekolah bertanggung jawab meneliti aliran Brantas yang ada di kawasan mereka. Misalnya, sekolah peserta jaringan di Batu meneliti hulu kali Brantas, sementara yang di Surabaya kebagian mencermati hilir yang penuh pencemaran.
Kegiatan ini didorong oleh kenyataan bahwa Jawa Timur tengah mengalami krisis air. Mereka kemudian memulainya dari Sungai Brantas, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur, yang melintasi banyak kota, dari Batu ke arah selatan menuju Blitar, Tulungagung, dan kemudian berbalik ke utara melewati Mojokerto, Sidoarjo, dan Surabaya. Selama ini, Ecoton memang sudah secara rutin meneliti sungai itu.
Selain soal krisis air, kata Direktur Ecoton, Prigi Arisandi, ide itu bermula dari masih banyaknya salah kaprah dalam pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah. Mereka mengartikannya sebatas pada kegiatan menanam pohon atau bahkan mengecat hijau tembok sekolah. ”Pendidikan lingkungan hidup juga ha-rus bisa menumbuhkan kesadaran kritis soal sumber daya alam yang ada,” kata Prigi, yang di masa kecilnya masih punya ”kemewahan” mandi di Kali Brantas karena belum tercemar seperti sekarang.
Prigi mencontohkan bencana alam yang menimpa banyak daerah di Indonesia. Menurut dia, semua itu akibat keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya hutan atau air dan mengubah bentang alam mengikuti keinginan sendiri. Untuk itu, pendidikan lingkungan juga harus menekankan metode belajar dengan prinsip belajar dari alam. ”Kami ingin para siswa menggunakan indra mereka mengeksplorasi fakta-fakta lingkungan hidup di sekitar mereka,” kata Prigi.
Itu sebabnya, pembentukan jaringan itu hendak menjangkau dua tujuan sekaligus. Selain bermanfaat bagi kehidupan nyata—dengan ikut menjaga kualitas sungai—jaringan pemantau ini bisa mendukung pembelajaran anak tentang lingkungan hidup pada mata pelajaran biologi. Wakil Kepala Seko-lah SMAN 1 Wringinanom, yang juga guru biologi, Syamsuddin, bersama-sama dengan murid-muridnya suatu saat ingin menyusun daftar binatang di Kali Surabaya versi lokal.
Keinginan itu bukannya tidak mungkin terjadi. Lihatlah cara kerja tiga sekawan tadi. Mereka bersorak gembira ketika masih bisa menemukan berbagai makhluk super-imut, seperti kepik pinggan bermoncong panjang, larva ulat kantung air, atau ”nimfa lalat sehari pipih”, binatang yang sangat sensitif terhadap pencemaran.
Semakin asyik ketika mereka mendapatkan udang air tawar dalam jumlah banyak, meskipun di dasar sungai sudah mulai ada lumpur hitam—tanda-tanda terjadinya pencemaran. Sedangkan Yogi pernah menemukan kunang-kunang di malam hari. Semua penemuan tersebut menunjukkan aliran sungai di kawasan Wringinanom, Mojokerto, belum terlalu tercemar.
Murid sekolah di kawasan lain menghasilkan kesimpulan berbeda. Pada aliran sungai yang sudah masuk Surabaya, di kawasan Gunungsari dan Karangpilang, misalnya, biota kali yang ada di sana adalah cacing larva atau cacing darah yang biasa dicari orang untuk pakan ikan. Keduanya makhluk hidup yang tahan di air yang sangat tercemar sekalipun.
Berbeda lagi hasil penelitian siswa-siswa SMA Muhammadiyah 3, Batu. Menurut mereka, sumber air di desanya terancam karena banyak perusahaan air minum yang mengeksploitasi air bawah tanah secara berlebihan. Mata air sumber Brantas juga terancam oleh banyaknya perkebunan dan pertanian yang menggunakan pestisida.
Siti Munawaroh, siswa SMAN 1 Driyorejo, Gresik, pun punya ”temuan”. Air yang dia ambil dari Kali Tengah, tempat pembuangan limbah 40 perusahaan yang kemudian masuk Kali Surabaya, berwarna hitam dan berbau busuk menusuk hidung. Sedangkan Ninis Wulandari dari SMAN 1 Wringinanom mengidentifikasi keruhnya air karena dasar sungai yang telah berubah akibat aktivitas penambangan pasir. Air juga makin keruh akibat makin banyaknya industri yang mengepung Mojokerto.
”Jaringan Kali Brantas” yang dibentuk dari lokakarya akhir Maret lalu memang telah menunjukkan hasil nyata. Murid-murid SMP dan SMA yang tergabung dalam jaringan tersebut menjadi sangat peduli terhadap sungai yang dimanfaatkan oleh 12 kota dan kabupaten di Jawa Timur.
Simak cerita Yoga. Pemuda 16 tahun ini tinggal di Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo, tapi bersekolah di Wringinanom, Gresik. Untuk mempersingkat waktu tempuh ke sekolah, Yoga, yang sehari-hari bersepeda motor, harus menggunakan jasa perahu penyeberangan Kali Brantas.
Nah, sebelum ikut lokakarya, Yoga tak pernah peduli terhadap sungai itu. ”Saya bahkan tak jarang buang sampah di sungai tersebut,” katanya. Namun sikapnya kini berubah 180 derajat. Yoga sekarang nekat malam-malam ke sungai untuk ”sekadar” membuktikan masih ada kunang-kunang hidup di sana.
Bina Bektiati, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo