Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

The kraton connection

Pengarang : george d. larson. holland : kitlv-foris publications, 1987. resensi oleh: sugiarta sriwibawa.

24 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRELUDE TO REVOLUTION, PALACES AND POLITICS IN SURAKARTA, 1912-1942 Oleh: George D. Larson Penerbit: KITLV-Foris Publications, Holland, 1987, 242 halaman RASANYA seperti mengada-ada kalau kita menduga-duga apakah dalam empat dasawarsa pertama abad. Ini ada suatu jabatan tangan antara raja beserta kalangan bangsawan dan kaum elite gerakan nasional di Indonesia. Memang aneh kedengarannya. Biasanya kita mudah beranggapan bahwa raja dan kaum ningrat hanya suka goyang kaki dan goyang lidah. Sedang kaum pergerakan bukan, saja memiliki kesadaran nasional, tapi juga berani ambil risiko menghadap pemerintah kolonial. Tapi di kerajaan Surakarta waktu itu memang the kraton connection antara raja, pangeran beserta para bupati, dan para pemuka gerakan nasional. Bahkan para ningrat ikut terjun dalam kancah pergerakan, dan sibuk dalam pimpinan. Nama-nama seperti Dr. Rajiman Wedyodiningrat, R.M.A. Wuryaningrat, Mr. Wongsonegoro P. Hangabei, P. Kusumoyudo, P. Hadiwijoyo, P. Suryohamijoyo, Mr. Singgih, R.M.A. Suryosuparto, dan P. Sumodiningrat tercatat punya peranan penting, bahkan sebagian besar di antara mereka tetap berada di pentas pimpinan nasional hingga awal kemerdekaan-RI. George D. Larson, sarjana ilmu sejarah lulusan University of Hawaii (M.A.) dan Northern Illinois University (Ph.D.), dalam buku Prelude to Revolution ini mengemukakan adanya pertalian antara kaum bangsawan dan kaum pergerakan itu. Ia mengungkapkan motifnya dan sejauh mana jangkauannya. Sebelum ini Larson pernah membuat tesis, PETA: The Early Origin of the Indonesian Army. Larson mengemukakan bahwa kondisi sosial dan ekonomi waktu itu merupakan salah satu faktor yang membangkitkan kesadaran nasional di Surakarta. Ibu kota kerajaan itu menjadi tempat kelahiran Sarekat Islam di tahun 1912, partai politik massa yang pertama di Indonesia. Dalam hubungan dengan kondisi sosial dan ekonomi ini perlu dicatat, maksud pemerintah kolonial mengubah kondisi yang bertujuan memperbaiki dan memodernkan tatanan ekonomi, sekolah, dan tradisi itu terkadang tidak selaras dengan adat dan budaya Jawa, bahkan sering bertentangan. Sementara itu, tak dapat disangkal bahwa peranan Paku Buwono (PB) X cukup besar. Ia bahkan "nyrempet" bahaya, kalau diingat bahwa sebelum naik takhta ia harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintahan kolonial. Padahal, sebelum diangkat ke singgasana, ia dinilai berwatak lemah, mewah, sehingga diduga tidak bakal rewel. Tapi lama-lama gubernur kolonial melihat PB X sering ingkar janji, tak pernah mau datang ke kantor gubernur, sebaliknya gubernur Belandalah yang harus menghadap ke keraton, itu pun dengan mengajukan permintaan lebih dulu. Sejauh mana hubungan antara keraton dan SI? Larson menyinggung pendapat Petrus Blumberger dalam Sarekat Islam bahwa nasionalisme Jawa pada dasarnya merupakan reaksi terhadap dominasi orang asing dan meningkatnya campur tangan pemerintah kolonial terhadap kehidupan orang Jawa. Masuk akal jika SI Solo cenderung meminta bantuan PB X dan pejabat-pejabat tinggi keraton. Catatan menunjukkan, dari 11 anggota pengurus pusat SI tahun 1912, 4 di antaranya adalah pejabat tinggi keraton. Menjelang kongres SI 1913, P. Hangabei (putra sulung PB X) diangkat menjadi pelindung SI, tapi segera diminta mundur oleh gubernur. Bagaimana dengan Budi Utomo? Pindahnya kedudukan pengurus pusat BU ke Solo juga menarik banyak bangsawan yang aktif dan memegang pimpinan. Dr. Rajiman menJadi ketua penode 1908-11, Suryosuparto (kemudian menjadi Mangkunagoro VII) ketua 1915-16, Wuryaningrat ketua 1916-21, 192325, dan 1934-35. Baik Larson maupun sarjana-sarjana Barat yang meneliti soal ini kebanyakan menulis bahwa pemerintah kolonial pun menyadari adanya kelompok anti-Belanda di dalam keraton. Bahkan Wuryaningrat dicap sebagai "setan keraton". Maka, usul PB X agar Wuryaningrat diangkat menjadi patih tentu saja diretur. Dalam kongres BU 1928 di Surakarta, 5 dari 9 pengurus pusat adalah kaum politisi keraton: Wuryaningrat, Mr. Singgih, Martodiharjo, Dr. Rajiman, dan Sutejo. Program kerja BU makin tegas, dan dalam konperensi BU 1932 di Solo juga, anggaran dasarnya diubah. Tujuan yang semula hendak mengusahakan kemajuan yang selaras antara negeri dan penduduk Jawa dan Madura diganti menjadi "Indonesia Merdeka". Keikutsertaan keraton yang terakhir dalam gerakan kebangsaan terjadi saat kongres fusi antara BU dan Persatuan Bangsa Indonesia tahun 1935. Parindra terbentuk dengan Dr. Sutomo sebagai ketua dan Wuryaningrat sebagai wakil ketua. Larson teliti dan cakap menyusun bahan dokumentasi, wawancara pribadi, serta mengompilasi berbagai pendapat. Semua itu disuntingnya dengan anyaman yang serasi antara fakta dan pandangan. Hanya bagi pribadi-pribadi yang kebetulan waktu itu berdiri lebih dekat dengan tempat kejadian, terasa masih kurang terdapat the stories behind the news. Politik memecah-belah dengan memanfaatkan persaingan antara kerajaan dan ambisi bangsawan agar masing-masing lebih bergantung pada penguasa kolonial, kurang dipaparkan. Namun, tentu saja kekurangan ini tidak dapat ditanyakan pada Larson, karena hta tahu sumbere-sumber Jawa umumnya sungkan dan pakewuh membuka riwayat dari zaman yang sudah tutup buku itu. Sugiarta Sriwibawa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus