SERULING yang semula mengalun lirih ditimpali pukulan gendang. Semakin mengentak. Makin bersahutan. Dan, plep, lampu padam. Ketika sinar menyorot lagi ke panggung, 20 peragawati sudah ada di sana. Ini memang peragaan busana. Bukan konser musik. Namun, tetabuhan yang dirancang penata musik dan tari Bali I Wayan Diya itu pas betul dengan peragaan yang dipergelarkan. Lihatlah busana yang dikenakan para peragawati. Tubuh-tubuh langsing itu dibalut kebaya dan baju kurung beledu hitam. Sebagian dilengkapi kain songket Palembang. Sebagian batik sutera Pekalongan. Inilah rancangan Prayudi Atmodirdjo, yang Selasa dan Rabu pekan lalu dipertontonkan di Hotel Borobudur, Jakarta. Dalam acara yang diberi nama Indonesia's Rich Heritage itu, Prayudi memperkenalkan 175 rancangan dengan iringan musik tradisonal. Peragawati berseliweran. Sembari mengayun-ayunkan selendang, mereka mempertontonkan paduan yang serasi antara benang-benang emas dan kehitaman beledu. Ditambah kerlip yang muncul dari payet yang tersusun di salah satu bahu atau ujung kebaya. "Saya memanfaatkan kekayaan bahan tradisional kita," ujar Prayudi. Ia, misalnya, mempublikasikan kain tapis Lampung dan tenun ikat dari Sabu, Nusa Tenggara Timur. "Dulunya tapis Lampung ini cuma untuk hiasan dinding dan sarung bantal," kata Prayudi. Prayudi, peraih Upakarti tahun lalu, lantas mempertinggi harkat "barang rongsokan" itu sebagai gaun malam. Coba tengok, gaun two pieces yang dipakai Peragawati Soraya Haque malam itu. Blus dan rok dari beledu hitam itu dipadukan kain tapis Lampung tiga warna, merah, hijau, dan kuning emas. Tapis selebar 15 cm diletakkan di bagian dada memanjang sampai batas rok. Potongannya mengikuti garis berlekuk pada pinggang. Tenun ikat Sabu, dengan nuansa kecokelatan sampai ungu gelap, nasibnya lebih baik sedikit dibandingkan tapis Lampung. Ikat Sabu yang bermotif dekoratif abstrak ini sudah dijadikan bahan penutup tempat tidur dan gorden. Di tangan Prayudi, ikat Sabu dipadukan dengan kerajinan kulit dari perajin Bali dan terciptalah jaket yang trendi untuk pria dan wanita. Sabu juga hadir sebagai setelan jas dan rok. Gamelan tetap ditabuh, kali ini melantunkan lagu Angin Mamiri. Peragawati terus melangkah dan kini muncul busana dari bahan tenunan Sulawesi. Prayudi tetap setia pada garis rancangan city look yang apik dan elegan. Ia dikenal punya ciri khas busana formal. Yaitu setelan jas tutup tanpa kerah, dan rok lurus. Kekuatannya pada bahu yang tegak rapi. Di atas cat walk muncul empat pemain kendang reog. Iramanya gembira. Lalu didendangkan lagu Rek Ayo Rek. Kemudian muncul peragawati dengan batik pesisir Pekalongan. Suasana hidup dan penonton bertepuk riuh. "Ini pertama kalinya fashion show diiringi musik tradisional," kata Sjamsidar atau Tjamy, pemimpin Studio One yang menyutradarai peragaan ini. Sedang Wayan Diya pun gembira. "Kita bisa gotong-royong, antara musik dan mode," katanya. Tjamy menyambung, "Saya rasa untuk show di luar negeri musik tradisional begini yang pantas dibawa." Prayudi sendiri menyebutkan, mode di masa datang akan lari pada bahan jenis Radjastan -- yaitu bahan pakaian yang didominasi benang emas atau kesan mengkilat seperti pada kain songket -- Indonesia. "Tapis Lampung saya angkat karena trend itu," katanya. Cuma, masalahnya adalah harga. Satu sarung tapis Lampung berharga Rp 175.000. Jaket kulit dari perajin Bali Rp 200.000 sebuah. Tenun ikat Sabu sekitar Rp 125.000 per potong. Maka, rancangan Prayudi yang malam itu diperagakan paling murah berharga setengah juta rupiah. Prayudi memang beda dengan Ghea Sukasah. Ghea, yang meledak dengan jumputannya, lebih banyak melakukan cara print untuk menerapkan motif tradisional. "Supaya enak dikenakan dan bisa dinikmati banyak orang," begitu alasan Ghea. Lagi pula, kata Ghea, ada banyak motif yang tak mungkin dilukiskan dengan alat tenun. Prayudi dan Ghea adalah perancang yang menonjol dalam dua tahun ini. Masing-masing punya penggemar yang banyak dan mereka selalu "melihat ke depan". Bunga Surawijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini