Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga Bintang Menguak Layar Jiran

Perfilman Malaysia tampak mencoba berbenah. Film Puteri Gunung Ledang memperlihatkan keseriusan mereka.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUTERI GUNUNG LEDANG Sutradara: Siaw Teong Hin Skenario: Mamat Khalid, Siaw Teong Hin Pemain: Tiara Jacquelina, M. Natsir, Adlin Aman Ramlee, Sofia Jane, Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, Alex Komang.

"Suaramu membuka hatiku yang merindu/Kini kurasa derauan angin menusuk dada."

Itulah kata-kata Hang Tuah kepada Gusti Putri. Film Malaysia berjudul Puteri Gunung Ledang (Princess of Mount Ledang) garapan Siaw Teong Hin ini memang membawa kita pada indahnya sastra Melayu. Simak saja lontaran-lontarannya semacam "Jangan berangan meniti laut, takut air menjadi api", atau "…supaya rambut yang ditarik, tepung tidak berselerak…".

Namun, tidak hanya bahasa yang indah, tetapi juga sinematografi, permainan gambar, warna, pencahayaan dari director of photography Jason Kwan Chi Yiu, berhasil mengangkat legenda besar Malaysia. Film ini membawa kenangan kita pada dunia Nusantara pada saat Majapahit (Hindu) sedang dalam masa keruntuhan, dan Melaka serta Demak (Islam) sedang dalam masa perkembangannya.

Ini juga memperlihatkan perfilman Malaysia yang tengah berbenah. Kini kita tak hanya mengenal Michele Yeoh dalam film James Bond atau Cinta Kolesterol dan Spinning Gasing yang masuk ke Jakarta. Garin Nugroho pernah menyatakan kekagumannya pada film-film Malaysia saat menghadiri pertemuan San Francisco Film Society tahun ini. Malaysia mengirimkan empat film, antara lain Puteri Gunung Ledang dan The Gravel Road (Deepak Kumaran Menon, 2005), sementara Indonesia hanya diwakili oleh Rindu Kami PadaMu karya Garin Nugroho.

Film Puteri Gunung Ledang—film termahal dalam sejarah perfilman Malaysia—ini mengisahkan hubungan Gusti Putri Raden Ajeng Retno Dumilah (Tiara Jacquelina, merangkap sebagai produser), seorang putri Majapahit, dengan Hang Tuah (M. Natsir, merangkap penata musik), seorang laksamana dari Kerajaan Melaka. Demak mendesak Majapahit dan memaksa Gusti Adipati Handaya Ningrat (Alex Komang) untuk menikahkan sang adik dengan Sultan Demak—sebuah perkawinan politik-ekonomi yang lazim dipraktekkan saat itu. Tentu saja sang Gusti Putri, yang mendambakan hidup bersama kekasihnya di Gunung Ledang, tidak setuju dan lebih suka kabur ke Melaka menyusul Hang Tuah untuk "datang membawa harapan yang menggunung". Sang Raja Majapahit pun menyusul ke negeri Islam itu, dan ternyata dia punya usulan menarik: mengapa adiknya tidak dijodohkannya sekalian dengan Raja Melaka, Sultan Mahmud Syah (Adlin Aman Ramlee)? Dengan begitu, urusan dengan Demak akan selesai—karena sama-sama dua negara Islam yang besar—dan persoalan Hang Tuah juga tuntas karena tak mungkin laksamana itu menentang rajanya sendiri. "Apa daya, tangan terikat di langit, kaki terpasak di bumi, jasad tidak setanding mimpi…," keluh Tuah.

Film ini jelas menyampaikan dilema: apakah Hang Tuah memilih cinta pribadinya, ataukah setia kepada rajanya—bahkan mengantarkan sendiri bawaan lamaran rajanya kepada kekasihnya. "…Taat yang tak berkesudahan, tiada penghujung…," demikian sang putri mengkritik taklid kekasihnya. Demikian pula dengan Gusti Putri, apakah lebih memilih soal kesetiaan dan cinta antara negara atau cinta pribadi? "Saya tidak berharap ditakdirkan lahir sebagai putri. Saya ingin mengikuti apa kata hati," keluh Gusti Putri. Banyak orang beranggapan bahwa ini film feminis, tetapi terlalu sempit rasanya kalau hanya dinisbatkan sebagai film feminis.

Film ini juga menghadirkan tiga bintang film besar Indonesia—Alex Komang, Christine Hakim, dan Slamet Rahardjo Djarot—yang tampil bersinar dan menolong penampilan para aktor Malaysia. Hanya dengan embusan napas atau perubahan air muka, mereka bertiga mampu membangkitkan pesona.

Sementara itu, penampilan singkat Dian Sastrowardoyo yang menjadi anak pedagang di tepi pantai juga mencuri perhatian penonton. Bukan apa-apa, aktor di film ini, kecuali Tiara dan Sofia Jane, kurang memiliki karisma bintang, khususnya dalam hal penampilan fisik. Dian menjadi "pembeda" yang meskipun didandani jelek dan kumal tetap saja cantik.

Film yang memakai Dr G. Bambang Sumudra dan Prof Khoo Khay Kham sebagai penasihat sejarah ini berhasil menciptakan dunia fantasinya, sebuah Nusantara abad ke-15. Sebuah contoh baik bagi Indonesia yang kaya akan legenda semacam Malin Kundang atau Tangkuban Perahu.

Beberapa adegan, seperti pertemuan antara Tuah dan Gusti Putri dengan tari dan diam, begitu mempesona yang digambarkan "…laksana insan haus dahaga, bertemu air satu telaga". Bahkan ada dialog dalam diam, bertarung dalam diam seperti dalam film Hero garapan Zhang Yimou, pada menit ke-47. Adegan paling dahsyat adalah pertarungan dalam senja antara Raja Majapahit dan Hang Tuah.

Ekky Imanjaya, penulis film

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus