Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUNYA hotel berbintang lima kini tak perlu membeli sekujur bangunan. Boleh membeli hanya satu kamar: itulah yang kini ditawarkan para pengembang. Mau ditinggali sendiri, silakan. Mau disewakan, keuntungannya juga lumayan.
Ketika suku bunga bank terus menyusut seperti sekarang, menanamkan modal dalam bentuk kamar hotel menjadi pilihan menarik. Investasi ini bisa jadi lebih menguntungkan ketimbang deposito yang hanya meraup bunga, sementara duit pokok tidak bertambah. Bisnis hotel menjanjikan capital gain (peningkatan nilai pokok) plus uang sewa bulanan.
The Legian Nirwana, Bali, misalnya, menawarkan kesempatan memiliki kamar hotel berbintang lima di Pulau Dewata. Proyek Bakrieland Development Tbk. itu baru akan beroperasi pada akhir 2008. Tapi kelompok usaha Bakrie itu sudah menebar iming-iming.
Mereka menjanjikan bunga 6 persen dalam bentuk dolar Amerika selama tiga tahun pertama investasi. Pada tahun berikutnya, pendapatan didasarkan atas tingkat hunian hotel. ”Tingkat bunga bisa lebih dari yang dijanjikan atau minimum sama,” kata Ferry Supandji, Kepala Pemasaran PT Bakrie Swasakti Utama, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Inilah ”kondotel” alias kondominium yang dikelola sebagai hotel, yakni bisa disewa harian, bulanan, atau tahunan. Cara memilikinya seperti membeli kondominium, apartemen, rumah, ruko, atau properti lain. Pembelian tunai tentu diutamakan. Tapi, bagi yang berhasrat mencicil, tersedia fasilitas kredit perbankan.
Setelah barang di tangan, pemilik bisa mengelola sendiri bisnis penyewaannya atau menggunakan jasa agen properti. Bisa juga memanfaatkan manajemen rental terpadu. Pilihan ketiga inilah yang kini banyak ditawarkan pengembang properti.
Dalam sistem ini, pengembang akan mengurus semua hal, mulai dari memasarkan (mencari penyewa), memasang iklan, merawat ruangan dan perkakas, hingga memperbaiki kerusakan. ”Anda nggak akan pusing mengurus penyewa yang jorok atau tagihan listrik dan telepon yang tidak dibayar,” Ferry berpromosi.
Legian Nirwana bukan ”mainan” pertama kelompok Bakrie. Sejak 2005 mereka telah mengelola 200-an unit kondotel Aston Rasuna (kelas hotel berbintang tiga) di kompleks Taman Rasuna, Jakarta Selatan. Imbal hasilnya malah lebih tinggi, 12 persen untuk dua tahun pertama. Di tempat yang sama, dua tahun lagi, akan dikembangkan pula kondotel Rasuna Epicentrum.
Bisnis kondotel memang sedang populer. Lihat saja, 250 unit yang dipasarkan Oakwood Premier Cozmo di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, ludes terjual. Pembangunannya sendiri baru rampung pada awal tahun ini, oleh PT Cozmo International.
Diusung Oakwood Asia Pacific, perusahaan pengelola properti kelas dunia, kondotel ini menawarkan harga minimal Rp 2,1 miliar untuk unit terkecil yang luasnya 70-71 meter persegi. Harga paling mahal Rp 8 miliar untuk tipe 410 meter persegi.
Mereka menjanjikan pendapatan tetap 7 persen per tahun pada dua tahun pertama. Seperti proyek Bakrie, pendapatan tahun berikutnya didasarkan atas tingkat hunian hotel. ”Hasil sewa hotel akan dibayarkan kepada pemilik tiap empat bulan,” kata Dermawan, staf pemasaran Oakwood Premier Cozmo.
Dengan harga sewa mulai dari US$ 30 per meter persegi selama tiga tahun pertama, Dermawan memperkirakan, pembelian unit terkecil sudah balik modal pada tahun kedelapan. ”Bisnis properti memang bisnis jangka panjang,” ujarnya.
Legian Nirwana menawarkan harga sedikit miring. Tipe terkecil, 49,61 meter persegi, dipatok Rp 1,1 miliar. Sedangkan tipe terbesar, 150-an meter persegi, Rp 3-4 miliar.
Kelebihan bisnis kondotel dibandingkan apartemen, menurut Ferry, pemilik bisa menikmati hotel kendati unitnya sedang dikontrak orang. Manajemen memberikan gratis menginap di unit lain yang kosong. Tentu ada aturan mainnya sendiri.
Bakrie, misalnya, menggunakan model poin. Pemilik diberi 30 poin setahun. Pada hari biasa, menginap semalam setara dengan satu poin. Untuk akhir pekan dihitung dua poin, dan hari besar tiga poin semalam. ”Bila rental apartemen atau rumah, pemilik nggak akan bisa menikmati sebelum masa kontrak habis,” kata Ferry.
Pengamat investasi Roland Haas mengatakan, investasi dalam bentuk kamar hotel sudah bertebaran di luar negeri. Istilahnya time share, yakni pemilik diberi kesempatan memakai kamar hotelnya selama 2-4 minggu setahun. Sisanya dikelola manajemen hotel untuk disewakan. Tapi, menurut dia, investasi model begini biasanya diterapkan di kawasan wisata. ”Kalau dibikin di kota bisnis seperti Jakarta, saya tidak bisa memastikan prospeknya.”
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo