Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Soeharto,The Never Ending Story

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wimar Witoelar

  • Pengelola www.perspektif.net

    ANAK-anak saya dulu senang sekali menonton film The Never Ending Story. Jalan cerita film itu tak ba­nyak sangkut-pautnya dengan tulisan ini, tapi judulnya senada. Soeharto, koruptor kelas dunia, kok lolos terus dari jangkauan hukum sejak mundur terpaksa? Mundurnya mendadak, tapi pertanggungjawaban kejahatannya terhalang oleh seribu alasan.

    Hambatan terakhir menyangkut hilangnya berkas perkara. Tapi hambatan sesungguhnya bukanlah kendala teknis semacam itu. Berkas hilang bukan penyebab, melainkan akibat dari keengganan menghukum Soeharto.

    Contohnya keterangan Muladi bahwa kasus Soeharto sudah selesai. Menurut berita Tempo Interaktif, 23 Mei 2007, Muladi meminta semua pihak tidak menghabiskan energi untuk mengurusi atau memperdebatkan masalah-masalah di masa lalu, seperti pengadilan bagi mantan presiden Soeharto.

    Muladi melihat bangsa Indonesia kurang berfokus terhadap masa kini dan masa depan. Padahal masalah yang akan dihadapi ke depan sangat banyak. Kalaupun ada hal di masa lalu yang perlu ditindaklanjuti, katanya, haruslah masalah yang besar dan strategis saja, sedangkan masalah kecil tidak perlu dipersoalkan lagi.

    Lho kok masalah kecil? Bukankah jumlah uang yang diambil Soeharto itu besar sekali, sampai tidak terbayangkan? Apalagi kejahatan yang merampas nyawa manusia, pelanggaran hak asasi manusia, yang membuat kita takut menyebutnya sampai sekarang karena para pelaksananya masih berkeliaran bebas.

    Memang, Pak Muladi, yang sekarang Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, di zaman Soeharto adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, jadi sudah jelas kedudukannya. Sama dengan menanyakan Donald Rumsfeld apakah serangan atas Irak itu benar atau salah. Kalau Muladi menyalahkan Soeharto, ia akan ”menguap” seperti Harmoko.

    Kita ambil kutipan orang yang seharusnya lebih kredibel, Jusuf Kalla, wakil presiden dalam pemerintahan yang lahir dari reformasi melawan Soeharto. Seharusnya JK menghargai sejarah singkat yang membuat seorang pedagang semacam dia bisa menduduki jabatan nomor dua di negara ini.

    Dia mengatakan, untuk pemimpin yang melihat masa lalu, tujuannya bukan masa depan, melainkan kejayaan di masa lalu. ”Jangan kita menyalahkan masa lalu, tapi mari bergerak dalam kondisi kekinian,” ujar Kalla. So far so good. Bagus, Pak. Tapi dia teruskan, menurut posting Tempo Interaktif yang sama, perdebatan tentang hal-hal yang kurang penting harus dikurangi. Berdebat boleh saja, tapi tidak boleh sampai menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa.

    Apakah pengusutan Soeharto ”menghabiskan waktu­ dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bang­sa”? Bukankah justru permasalahan bangsa adalah me­­negakkan keadilan? Sungguh fantastis rasionalisasi ber­bagai orang untuk tidak mengusut kejahatan Soeharto.

    Kelihatan sekali bahwa ketidaklengkapan berkas, atau hilangnya berkas, hanya merupakan alasan teknis menghindari tanggung jawab. Ingat Jeffrey Winters, ahli politik ekonomi Indonesia dari Northwestern University? Katanya, sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang melakukan pelanggaran lebih aman kalau pelanggaran itu demikian besar skalanya sehingga sulit dipercayai.

    Orang yang hanya mencuri remeh-temeh ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, kalau yang dicuri miliaran dolar, berarti puluhan triliun rupiah, tidak bisa dibayangkan orang bisa mencuri sebanyak itu. Apalagi kalau orangnya bersikap sederhana dan tersenyum terus, sakit, dan tua. Orang tidak melihat bahwa pengacaranya kaya-raya dan anaknya melempar uang puluhan juta dolar ke sana-kemari serta tinggal di rumah bernilai puluh­an juta dolar di perumahan termahal California.

    Dibantu oleh bankir dan funds manager top di dunia, dan perangkat hukum yang tahan banting, makin susah lagi menangkap Soeharto. Atau dibalik: makin mudah lagi menghindari penangkapan Soeharto. Sekalinya seorang Jaksa Agung seperti Abdul Rahman Saleh mulai mempersiapkan perkara Soeharto dengan serius, dia kena reshuffle. Kebetulan? Tanyakanlah kepada rumput yang bergoyang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus