Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH, tengkorak, dan tulang berserakan. Ini bukan rumah sakit, bukan pula laboratorium biologi. Ini sebuah ruang pamer, yang diisi karya tiga perupa lulusan Institut Teknologi Bandung berbeda angkatan. Mereka, Deden Hendan Durahman, Jabbar Muhammad, dan Septian Hariyoga, disatukan dalam pameran bertajuk Critical Junction di Koong Gallery, di City Plaza, Jakarta.
Kurator Rikrik Kusmara mengaku sengaja menampilkan mereka bertiga. Namun ide hasil cipta mereka tak sengaja dirancang, melainkan merupakan kebetulan. ”Ide-ide yang sama dalam konteks teknologi sekarang. Tentang dampak kemanusiaan dan lingkungan. Lebih reflektif,” katanya ketika dihubungi Tempo, Rabu sore pekan lalu. Pameran berlangsung dari 26 Desember 2009 sampai 16 Januari 2010.
Jabbar, seniman termuda, memajang cetak digital hitam-putih pada kanvas dengan judul Immortavitue. Sebuah imaji tentang kematian. Ia memilih potret diri setengah badan tampak samping. Model rambutnya mohawk (tapi tidak terlalu menjulang), wajahnya diganti dengan tengkorak burung elang. Bagian mata, pipi, dan hidung berongga.
Pria kelahiran Bandung, 11 Oktober, ini kemudian menampilkan paruh pada obyek perempuan muda, teman sekelasnya. Kali ini dengan memainkan warna: oranye, hijau, dan merah. ”Tidak ada pertimbangan makna, hanya untuk mendapatkan kesan atraktif dan dinamis,” kata Jabbar, yang tertarik pada dunia forensik. Pada 2002, ia sudah mengolah tubuh, yakni bagian gigi, dan karyanya ditampilkan di Soemardja Gallery, Bandung.
”Perkembangan cloning, transplantasi tubuh, menjadi wilayah yang menarik buat saya,” katanya. Ia mengerjakan proyek ini sekitar dua bulan. Menurut dia, isu-isu tentang tubuh, seperti pencapaian medis, ilmu rekayasa, dan mitos tentang tubuh adalah hal yang terus menjadi pertanyaan dalam dirinya. Itulah yang lalu ia tuangkan dalam gambar yang pencapaian artistiknya maksimal dengan cetak digital (digital printing).
Bersanding dengan Jabbar adalah bekas dosennya, Deden. Ia menyuguhkan cetak digital pada kanvas sebagai versi terbaru seri lamanya. Yang dulu berupa alugrafi (cetak datar) berukuran 40 x 40 sentimeter. Antara lain Corpus; 3 Series sebagai penggambaran badan: tangan dan bahu. ”Dari realis ke unrealistic. Dari real ke unreal,” katanya. Menurut kurator Rikrik Kusmara, memori tentang bentuk organ tubuh pada Corpus dan Constructio dimanipulasi menjadi satu wujud visual baru.
Adapun Construct I-01, Construct I-06 mirip foto roentgen. Deden terinspirasi hasil roentgen tulang punggungnya ketika ia mengalami kecelakaan terhantam jendela aluminium saat studi di Jerman, 2004. ”Daripada merenung tidak pasti,” kata master fine art dari Jerman ini mengenang.
Tapi ia menyesalkan perkembangan digital print di Indonesia yang tak bisa tahan lama. Hasil cetaknya sudah pudar dalam dua tahun. Sebab, memang belum ada standarnya, seperti di Jerman, yang bisa tahan 50 tahun. ”Di Indonesia, tintanya refill,” katanya. Karena itu, ia memilih proses pencetakan di studio khusus di Bandung, termasuk untuk karya Jabbar.
Berbeda dengan mereka, pematung Septian menampilkan, misalnya, Hanging Mind. Karya dari batu andesit berurat sedikit dan aluminium ini dipasang berhadapan jarak dua meter dengan Corpus. Terlihat padan, seperti ada pertautan di antara keduanya. ”Semula saya skeptis dengan karya Septian, tapi dalam pameran ini ia lebih banyak menampilkan alam dibanding teknologi yang tinggi,” kata Rikrik. Logam, bagi Septian, adalah pencapaian teknologi yang memperkuat pemaknaan pada batu sebagai representasi alam.
Karya lainnya, Hammock, ayunan tidur gantung yang terbuat dari aluminium. Di tengahnya diletakkan sebuah batu. Adapun Mind: pajangan terbuat dari aluminium dan dural yang dipahat membentuk bongkahan lonjong mirip batu kali, tapi pada satu tepinya terlihat ada lelehan. ”Saya ingin merusak persepsi orang, barang keras tidak selalu keras,” kata Septian.
Septian memilih aluminium karena bahannya tidak korosif, tahan lama, mengkilat, dan perawatannya minim. Pembuatannya tidak terlalu susah kalau dicor dengan suhu tak terlalu tinggi. Adapun batu adalah ciri khas perupa ini. Ia mencari kontras batu andesit dan aluminium. ”Batu susah diajak mengkilat kecuali granit,” katanya.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo