POLITIK PERENCANAAN PEMBANGUNAN: TEORI, KEBIJAKSANAAN DAN PROSPEK Oleh: Hendra Esmara Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1986, 66 halaman DALAM keadaan kurang menguntungkan seperti sekarang ini, perlu dicari alternatif-alternatif yang masih mungkin dilakukan untuk mempercepat proses pembangunan. Sudah tentu setiap alternatif yang dipilih akan mempunyai konsekuensi tertentu pula. Apalagi, sebagai negara bekas jajahan, Indonesia tentunya tidak dapat melepaskan diri dari pola pembangunan ekonomi yang masih bersifat warisan kolonial. Kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri pasca kolonial ini memang akan dihadapi oleh setiap negara bekas jajahan. Karena itu, pola dan kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan tidak terlepas dari pola dan kebijaksanaan yang berlaku di negara-negara bekas penjajah tersebut. Meski disadari bahwa pola semacam itu tidak akan sepenuhnya diterapkan begitu saja pada negara-negara yang sedang membangun. Suatu hal penting yang diingatkan buku ini bahwa kondisi negara-negara berkembang tidak sama dengan negara-negara maju pada waktu permulaan tahap pembangunannya. Sehingga teori ekonom terkenal Rostow mengenai tahap-tahap pembangunan ekonomi yang berlaku untuk negara-negara industri, perlu dilihat kembali bila ingin diterapkan pada negara-negara sedang berkembang. Pengaruh teori Rostow, yang sering dihubungkan dengan keberhasilan Marshall Plan, telah mewarnai program-program pembangunan di banyak negara berkembang. Dan, pola itu pula yang melandasi pemikiran pada waktu dasawarsa pembangunan pertama PBB (1961--1970) dicanangkan. Itu pula sebabnya banyak negara mengusahakan agar investasi, yang diperlukan untuk dapat mengembangkan terus perekonomiannya, berada di atas angka 10% dari PDB. Namun, setelah dasawarsa pertama itu berakhir, ternyata banyak negara-negara yang laju pertumbuhannya mencapai 5%, bahkan ada yang sampai 10%, toh mereka belum tinggal landas juga. Yang terjadi justru sebaliknya. Ketimpangan pendapatan semakin parah, dan kemiskinan juga membengkak di negara-negara tersebut. Melihat keadaan tersebut, maka dasawarsa pembangunan kedua PBB (1971-1980) menetapkan, selain pertumbuhan ekonomi, masalah pemerataan pendapatan dan hasil pembangunan perlu mendapat penekanan. Tujuan pembangunan yang lebih menekankan pada masalah pemerataan itu mendapat sambutan baik dari Bank Dunia, yang kemudian menekankan bahwa pembangunan lebih ditujukan bagi kelompok berpenghasilan rendah dan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Organisasi buruh sedunia, ILO, juga menyambut baik gagasan tersebut dengan penekanan masalah pemerataan serta kesempatan kerja sebagai tujuan utama pembangunan pada 1970-an. Mengenai perkembangan pembangunan ekonomi di Indonesia, Hendra Esmara membicarakan kemungkinan tinggal landas dengan masalah bantuan luar negeri, yang saat ini masih kita terima dan masih diharapkan untuk menunjang pembangunan. Mengutip Ekonom Allen Sievers, Hendra menulis, "... Sievers beranggapan bahwa pengaruh mistik yang terdapat dalam kebudayaan Indonesia merupakan kendala utama di dalam proses pembangunannya. Maka, ia lalu mengambil kesimpulan bahwa tidak terdapat satu kekuatan pun yang dapat mendorong Indonesia, sehingga dapat mencapai tinggal landas di masa mendatang . . .". Sedangkan, Benyamin Higgins, menurut Hendra, menyalahkan Pemerintah Kolonial Belanda atas keterlambatan Indonesia mencapai tinggal landas dalam pembangunannya (halaman 53). Walau demikian keinginan tinggal landas itu tampak sudah bulat bagi pemerintah ini tercermin dalam GBHN 1983. Kendati pengertian yang tertuang dalam GBHN itu berbeda dengan tinggal landas a la Rostow. Rostow menekankan, ".. . The concept of take-off suggested the possibility that developing countries would eventualy move to self sustained growth when soft loans would no longer be required . . ." (halaman 56). Memang dalam konsep Rostow yang lama, faktor bantuan luar negeri merupakan the missing component, karena tidak muncul dalam pengalaman negara-negara maju sewaktu mereka tinggal landas. Dengan demikian kemampuan membiayai sendiri seluruh usaha pembangunan tanpa pinjaman lunak dari luar negeri memberi pertanda telah terjadinya suatu perubahan mendasar dalam struktur sosial ekonomi suatu negara. Hal ini yang mungkin juga terjadi dengan Indonesia di masa tinggal landas nanti. Prijono Tjiptoherijanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini