Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Tuhan Ada, Tuhan Tidak Hadir

Goenawan menolak pemahaman tentang Tuhan yang dipasung dalam rasionalitas: Tuhan-nya filsafat, atau Tuhan yang serba terjelaskan.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEBU, DUKA, DSB dan teks dan iman
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: PT Grafiti Pers
Tahun: 2011

Kalau mau, boleh saja Anda sebut dua buku paling anyar Goenawan Mohamad (GM) ini sebagai Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai jilid II dan jilid III. Kenyataannya, keduanya masih sepenuhnya bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan keimanan. Inilah kumpulan perenungan yang menolak tawaran untuk tenteram dalam pemahaman akan Tuhan sebagaimana Ia dipahami kaum filsuf. Persisnya, inilah penolakan terhadap pemahaman yang berupaya meringkus Tuhan dalam definisi-definisi logis. Akibatnya, sepasang buku ini bisa saja diterima sebagai sumber pencerahan, tapi bisa juga sebagai kesiapan untuk menerima kenyataan bahwa subject-matter-nya memang akan tak pernah benar-benar terpahamkan oleh akal dan filsafat.

Bagi pembaca yang kurang teliti, kedua buku ini bisa terasa sebagai penolakan sama sekali terhadap Tuhan, khususnya jika orang berhenti pada sekadar menyisir cepat-cepat Debu, Duka, dsb. Kesalahpahaman bisa bersumber pada keberpihakan penulisnya terhadap antiteodise, terhadap penolak­an kepada upaya untuk membela keadilan dan kebaikan Tuhan di tengah kenyataan bahwa malapetaka dan musibah besar menyeruak di mana-mana, di segenap waktu, di bumi ciptaan-Nya ini. Padahal teodise adalah pembelaan atas iman dari kritik paling kuat ateisme atasnya. Jika pembelaan itu ditolak, dan kita biarkan hujah kaum tak bertuhan bahwa Tuhan tak adil dan tak baik, bagaimana kita meyakinkan orang bahwa Ia masih layak disembah? Atau, jika kita percayai bahwa Ia adil dan baik tapi hanya tak sanggup mencegah mala dan musibah, masihkah Ia layak dituhankan?

Sebenarnya yang hendak disampaikan sang penulis tidaklah ambigu. Dia menolak teodise semata-mata karena teodise bersandar pada suatu pemahaman tentang Tuhan yang dipasung dalam rasionalitas: Tuhan-nya filsafat, Tuhan yang serba terjelaskan. Sebaliknya, penulis seolah-olah hampir-hampir bersetuju dengan Al-Ghazali, yang pemikirannya dia tuliskan panjang-lebar dalam Teks dan Iman, "Ada misteri dalam kenyataan rohaniah yang selalu akan tak terjelajahi."

Memang, kedua buku ini masih setia pada tradisi GM untuk lebih mengandalkan "lompatan keimanan" dalam soal-soal religiositas seperti ini ketimbang perbincangan logis yang membangun argumentasi secara analitis "bata demi bata". Meski sadar bahwa tatanan berpikir logis tak mungkin benar-benar dicampakkan, pada akhirnya hampir-hampir hanya ada dua pilihan: beriman secara nyaris "pasrah bongkokan" atau kafir sama sekali. Maka tak aneh jika kata absurd, anomali, paradoks, ironi, di satu sisi dan ketiadaan hasrat, sumarah, sabar, dan tawakal—bahkan dalam penderitaan—menumbuk mata kita di mana-mana, di dalamnya.

Memang segera terasa bahwa Debu lebih "gelap" ketimbang Teks dan Iman. Tak pelak ia seperti meruapkan pesimisme dan kemuraman. Ini karena Debu adalah sepenuhnya tentang teodise. Saya malah menduga tajuk khas ini mau tak mau membentuk mood si penulis. Apalagi Debu melihat hidup lebih dari kacamata para filsuf eksistensialis, semisal Camus dan Nietzsche. Betapa pun secara heroik mencoba menerima, bahkan menaklukkan nasib dengan menyatakan "semuanya beres" (tout est bien) dan memujikan "cinta pada nasib" (amor fati), para pemikir ini tetap saja melihat hidup sebagai tragedi, suatu absurditas, sebuah ketiadaan "desain yang mengandung makna". Sedemikian sehingga hampir-hampir tak ada lagi tempat bagi optimisme. Seperti dibilang Voltaire lewat Candide, di sini optimisme adalah "mania untuk mengatakan bahwa semua beres ketika sebenarnya (kita) ada di neraka".

Bagi penulis kedua buku ini, "ketiadaan desain yang mengandung makna" tak lantas berarti ketiadaan Tuhan. Itu hanya menunjukkan bahwa segala sesuatu tentang Tuhan dan maknanya berada di luar bahasa manusia. "Menyebut-Nya secara lengkap hanya mungkin dilakukan dalam 'bahasa murni' (Adam) di surga. ... Hanya dengan negasi terhadap nama itu, Ia jadi Ia." "Bahasa Adam di Surga," dijelaskan penulis sebelumnya, "adalah bahasa ketika jarak 'aku-engkau' tak ada, ketika tak perlu ada pesan yang disambungkan dari satu subyek ke subyek lain. Barangkali inilah bahasa dalam mistisisme Jawa: suwung (nanging) sakjatining isi (kekosongan yang sebenarnya penuh." Prinsip ini, jika diterapkan atas Tuhan, mengharuskan kita untuk menyatakan Tuhan tiada/ada. Maknanya: Tuhan tidak ada, tapi mengatasi ada.

Penulis hanya menolak gejala yang oleh Heidegger disebut gestell (tindakan membentuk, membuat, menguasai)—saya (HB) menyebutnya menggagahi—dan sebaliknya memujikan gelassenheit (kepasrahan dan keintiman saling memberi dan saling menerima yang terjadi dengan sukarela dan begitu saja), yakni dengan semua unsur semesta, termasuk dengan Tuhan. Bukannya berfilsafat, manusia harus "berpikir", sebuah sikap: menemui yang lain seraya "mengatasi setiap jenis kemauan". Dengan demikian, jika pengetahuan itu datang, ia datang dalam arti yang lain: kawedar, sebuah mukasyafah (keterungkapan) begitu saja. Ia lebih merupakan pengalaman atau pe-rasa-an mistik (spiritual atau dhawqi) yang bisa dibandingkan dengan pengalaman intuitif seorang penyair.

Seolah-olah membungkus kompleksitas argumentasinya yang amat mempesona dari puluhan pemikir dan literati lintas zaman dan budaya, penulis menutup kedua bukunya dengan sesuatu yang tak kurang dari seruan kembali kepada iman. Merujuk pada Levinas, GM menulis dalam Debu: "Tuhan ... bukanlah ditandai dengan kehadiran, melainkan justru ketakhadiran semua penanda. Ia tak bisa disebut, Ia tak bisa dijebak dalam nama. ... Ia adalah ketakterhinggaan yang membentuk 'hubungan tanpa hubungan'."

Inilah suatu cara untuk melihat agama sebagai "yang tak akan membenarkan mala yang terjadi sebagai desain (bukan anomali) Tuhan, seakan-akan desain itu bisa kelihatan dan disimpulkan. ... Sebuah agama yang tanpa janji, tanpa penghiburan. 'Iman tanpa teodise', katanya". Karena itu, melalui paragraf terakhir Teks dan Iman, GM seolah-olah menuntaskan, " ... kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka seperti kaum theis yang terkena waham, tertipu berhala."

Haidar Bagir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus