SWEENEY TODD: HELP! SEORANG TUKANG CUKUR Pengarang: Christoper Bond (alih bahasa Chandra Johan) Pemain: Zainal Abidin Domba, Titi Margesti, Isman Bontet dll. Sutradara: Richard Williams dan Boedi S. Otong Produksi: Teater Sae INI jarang terjadi. Kelompok Teater Sae muncul di Gedung Kesenian Jakarta disutradarai oleh seorang sutradara asal Inggris: Richard Williams. "Setelah beberapa tahun British Council memperkenalkan beragam bentuk kesenian kepada penonton Indonesia, kami sadar betapa pentingnya tukar-menukar pengalaman dan gagasan-gagasan kesenian antara Indonesia dan Inggris", kata J.H. Thompson, Direktur British Council. Teater Sae, lulusan Festival Teater Remaja, terbilang getol, gigih, dan potensial. Pemilihan naskah Sweeney Todd: Help! Seorang Tukang Cukur! -- dari 10 naskah yang disodorkan oleh Williams -- memberikan tantangan pada Sae. Di bawah sutradara Boedi S. Otong, Sae biasanya tampil keras, intens, visual, dan puitis. Berhadapan dengan cerita pembunuhan karya Christoper Godfrey Bond (1945) yang strukturnya dibikin mirip lakon lenong ini, mereka terpaksa mengubah gaya. Menjadi lunak dan ornamentik seperti Teater Koma. Disaksikan oleh penonton yang lumayan jumlahnya -- hari pertama -- Sae muncul amat sopan. Penata panggung Sonny Sumarsono membuat sebuah panggung di atas panggung. Di sekelilingnya ada jajaran level tempat pemusik dan para pemain yang sedang tak bertugas. Para pemain menyanyi dan bergoyang membuka cerita. Salah seorang di antaranya kemudian mengumumkan dengan corong apa yang akan terjadi pada setiap pergantian adegan. Sweeney (Zainal Abidin Domba) adalah tukang cukur yang baru pulang dari penjara. Ia dijebloskan tanpa alasan. Istrinya kemudian diperkosa. Anaknya Yohana (Meiske B. Labang) hendak diperistri oleh hakim (Isman Bontet). Sweeney kemudian bersekongkol dengan Nyonya Lovett (Titi Margesti), pemilik restoran. Ia membalas dendam dengan menyembelih mereka yang sudah merusakkan hidupnya, lalu dagingnya dijadikan burger. Tapi celakanya ia juga telanjur membunuh seorang pengemis (Illa Faith) yang kemudian ketahuan ternyata istrinya sendiri. Tidak ada teka-teki yang perlu dipecahkan. Watak tokoh-tokoh tak berkembang, sudah jelas sejak awal. Penonton hanya diminta membuka mata dan sekali-sekali membuka mulut untuk ketawa. Dan Sae memilih suasana -- dengan istilah mereka sendiri -- Melayu untuk mengangkat semua itu. Ada dendang, lenggang, suara akordeon, dan busana tempo dulu. Buat para pemain Teater Sae, pementasan ini adalah pengalaman baru. Mereka harus mengendurkan otot, meregang suara, dan merancang gerak untuk menampilkan tokoh-tokoh yang dipotret dengan hitam putih. Tak ada puisi, tak ada permainan gambar di panggung. Yang ada lika-liku cerita dan kadang-kadang banyolan kasar. Praktis potensi Sae terkubur. Panggung tidak lagi menjadi peristiwa, tetapi sebuah tontonan ringan. Sasaran yang hendak diserbu bukan pengalaman spiritual tetapi hiburan. Kita melihat sandiwara musikal dan usaha memompa realisme dalam akting. Pemain-pemain yang andal seperti Zainal Abidin ikut menyanyi dan menari. Harus dicatat bahwa semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Benar-benar menerobos tradisi Sae yang biasanya muncul aneh, pekat, dan gelap. Hasilnya tak terlalu mengecewakan. Hanya saja buat saya baru Isman Bontet yang berhasil tampil dengan luwes dalam pola realisme. Kemudian juga Titi Margesti meskipun masih terasa terlalu "berotot". Diikuti oleh Illa Faith. Zainal sendiri tak berhasil muncul gemilang seperti biasanya. Ia bahkan nampak seperti orang bego yang baru belajar bermain. Yang mengherankan, kendati disutradarai oleh Richard Williams (dan Boedi S. Otong), pementasan itu lebih menyerupai penyutradaraan seorang sutradara Indonesia. Bukannya seorang Inggris dengan naskah Inggris yang memakai aktor Indonesia. Dalam diskusi terbatas di Dewan Kesenian Jakarta, esoknya, Boedi Otong berterus terang. Pertunjukan itu praktis sudah selesai disutradarainya sebelum Richard datang. Sutradara Inggris itu kemudian diberi ruang untuk memberikan finishing touch. "Andilnya yang terbesar adalah dalam membukakan pikiran para aktor Teater Sae yang sebelumnya macat," kata Boedi. Sebagai contoh, tokoh Nyonya Lovett yang semula diungkapkan agak kasar, muncul dengan lebih realistis. Richard sendiri menyampaikan kekagetannya ketika melihat bagaimana perilaku aktor dan sutradara Indonesia. "Di sini aktor tenyata lebih banyak menjalankan perintah sutradara dan sutradara begitu bebas memperlakukan naskah. Di Inggris naskah demikian dihormati, sehingga sutradara harus benar-benar rembukan kalau hendak melakukan pemotongan atau perubahan. Sedangkan aktor selalu aktif dalam mengembangkan ide-idenya." Kebesaran Shakespeare, agaknya, telah melahirkan tradisi "naskah angker" di Inggris. Ini berbeda dengan tradisi di dalam teater kita yang dijiwai semangat "mbeling" -- yang sudah melahirkan "lakon carangan" di dalam wayang. Pertemuan Sae dengan Richard adalah pertemuan dua tradisi berbeda yang mestinya bisa ramai. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini