JUMLAH sperma bukan satu-satunya ukuran apakah seorang lelaki subur atau tidak. Adanya antibodi antisperma di permukaan sel sperma bisa juga menyebabkan tidak subur. Antibodi ini merusak membran sel. Demikian salah satu kesimpulan penelitian dr. Arjatmo Tjokronegoro. Arjatmo salah seorang penerima Penghargaan Penelitian Terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) pada 1990 ini. Ia terpilih bersama dua peneliti lain, yaitu Dra. Yanti Mariana dan dr. Sri Rejeki Harun. Mariana menampilkan hasil penelitian efek analgetik pada daun jambu mede. Sri Rejeki menyelesaikan hasil penelitian serologi titer demam berdarah dengue pada anak-anak sekolah di Jakarta. Acara pemberian penghargaan penelitian terbaik yang diadakan Kamis, 15 Maret lalu, di aula FK-UI itu adalah sudah untuk ke-8 kali. "Kita memberikan penghargaan kepada mereka yang memang melakukan penelitian yang baik. Sebab, sistem reward itu perlu ada," ujar Prof. Asri Rasad, Dekan FK-UI. Sebelum acara pemberian penghargaan, Arjatmo memaparkan hasil penelitiannya di depan para pengunjung acara tersebut. Materi yang dikemukakannya menarik minat pengunjung. "Pada 10-15 persen pria infertil dapat ditemukan antibodi antisperma," kata Arjatmo. Bahkan pria yang tergolong subur sekalipun bisa sulit memperoleh keturunan bila spermanya tercemar antibodi. Padahal, sperma yang aktif bergerak pada pria subur jumlahnya melebihi 80 juta per mililiter. Antibodi antisperma menyebabkan perlengketan sperma. Juga menurunkan gerak sperma. Tapi dari mana datangnya antibodi itu? "Antibodi ini muncul karena kontak sperma dengan sel darah putih," Arjatmo menjelaskan. Sebelum memasuki sperma, antibodi antisperma ini bisa ditemui pada aliran darah. Untuk membuktikan adanya antibodi di permukaan sel sperma, Arjatmo menguji sperma dengan tes MAR (Mixed Antiglobulin Reaction test). Sampel sperma diperiksa di bawah mikroskop, setelah direaksikan dengan lateks berlapis IgG dan antise rum IgG. Prosesnya, mula-mula sampel dicampur dengan lateks di atas gelas obyek. Sepuluh menit kemudian dicampur dengan antise rum. Setelah didiamkan 2 sampai 10 menit, sampel itu diperiksa. Kalau sel sperma membawa lateks di permukaannya, berarti ada antibodi pada sel sperma itu. Untuk melihat hubungan kehadiran antibodi dengan kerusakan membran sel, Arjatmo menelusuri sel-sel yang rusak. Dilakukannya dengan tes HOS (Hypoosmotic Swelling test). Caranya, sampel mani dicampur dengan larutan hiposmotik yang terdiri dari larutan fruktosa dan natrium sitrat. Setelah diinkubasikan pada suhu 37 derajat C selama 30 menit, campuran itu diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Sel sperma yang ekornya lengkung menunjukkan membrannya masih utuh. Bila ekornya lurus, membran selnya sudah bocor. Kalau dalam sperma terkandung antibodi antisperma, nilai tes HOS rendah. Nilai normal tes HOS, 60%. Artinya, angka 1-40% menandakan kerusakan membran masih alamiah. Makin rendah nilai tes HOS, makin besar kerusakan membran sel sperma terjadi. Dengan cara itu, Arjatmo sampai pada kesimpulan: ternyata antibodi antisperma dapat merusak membran sel sperma. "Tetapi tidak semua antibodi tersebut dapat merusak membran. Mungkin menyebabkan aglutinasi saja," katanya. Rusaknya membran itu mungkin juga terjadi sejak proses spermatogenesis, atau karena gangguan lain yang non-antibodi. Memang, tak semua antibodi yang menempel pada permukaan sperma bersifat antisperma. Bisa juga merupakan anti-nonspermatozoa. Misalnya mikroorganisme. Menurut Arjatmo, usaha yang biasa dilakukan untuk membersihkan sperma dari antibodi antisperma ialah mencuci sperma. Telah terbukti, pencucian air mani dengan metode swim up dapat memisahkan sperma yang geraknya kurang baik dengan sperma yang baik. Karena itu, Arjatmo mencoba metode ini untuk memisahkan sperma dengan antibodi antisperma ini. Harapannya, pencucian ini membersihkan permukaan sel sperma. Namun, pencucian dengan metode swim up ternyata juga tidak menjamin 100 persen dalam melunturkan antibodi antisperma. Dari penelitian Arjatmo, setelah pencucian, 1-6% sel sperma masih mengandung antibodi. Toh harus diakui, pencucian ini berguna untuk memperoleh sperma yang bebas antibodi sebanyak mungkin. Peneliti kedua, Yanti Mariana, mengajukan makalah mengenai efek analgetik daun jambu mede. Daun jambu mede selama ini memang telah umum digunakan untuk membuat jamu. "Tapi data ilmiahnya belum ada," kata Yanti, 49 tahun. Menurut Yanti, keengganan para dokter menggunakan obat tradisional umumnya karena data ilmiah tentang manfaat dan keamanannya masih kurang. Menjawab masalah ini, Yanti membuktikan, terhadap tikus, daun jambu mede muda memang mengandung efek analgetik. "Tapi penelitian ini masih sangat dini. Jadi, belum bisa dikatakan daun ini mempunyai efek serupa pada manusia," ujarnya. Untuk bisa diterima, memang harus melalui penelitian yang panjang. Setelah dicobakan pada mencit, terus ditingkatkan ke tikus, kelinci, anjing, dan akhirnya binatang yang mendekati sifat manusia. Setelah itu, baru masuk ke uji klinis terhadap manusia, sampai akhirnya obat itu terbukti dapat diterima. Penelitian Yanti tampaknya tidak terlalu istimewa. Sebelumnya, penelitian serupa telah dilakukan pada 1976. Tetapi dicobakan pada mencit dengan metode Hot Plate, sementara Yanti melihat efek analgetik daun jambu mede pada tikus dengan metode Rat Tail Flick yang dimodifikasi. Yang menarik pada penelitian Yanti hanya metode yang dimodifikasinya. Ia menggunakan peralatan rancangan sendiri, yang harganya jauh lebih murah dari aslinya. Aslinya bisa Rp 50-60 juta, sementara alat rancangannya kurang dari Rp 1 juta. "Sebetulnya ini memang penelitian untuk S-1," kata Yanti mengakui. "Bisa menang, mungkin karena dengan peralatan seadanya bisa menghasilkan penelitian yang hasilnya saya jamin bisa dipercaya." Pemenang ketiga, Sri Rejeki, 43 tahun, melakukan penelitiannya pada 1986. "Saya ingin tahu, sebetulnya infeksi virus dengue di Indonesia ini masuk kategori primer atau sekunder," ujar ibu tiga anak ini. Selama ini, Indonesia memakai patokan WHO untuk diagnosa demam berdarah. Patokan diagnosa klinisnya menyebutkan gejala klinis demam berdarah, antara lain, demam 2-7 hari, muncul bercak-bercak darah, dan kelainan sirkulasi darah. Untuk menunjang kebenarannya, dilakukan diagnosa serologi yang melibatkan tes darah. Apa benar demam berdarah itu jadi wabah? Berapa sebenarnya kasus demam berdarah di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong ibu berparas manis ini melakukan penelitian. Untuk menjawab pertanyaan itu, para peneliti hingga kini menilainya dengan metode HI (Haemoglutinin Inhibitor) patokan WHO. Dengan metode ini, darah yang mengandung antibodi dengue direaksikan dengan darah angsa dengan cara titrasi. Menurut patokan WHO, jika pada tingkat pengenceran HI 1:1.280, suatu uji coba disebutkan positif. Artinya, infeksi yang terjadi sudah masuk tahap sekunder. "Tetapi apa angka tersebut benar? Sebab, patokan angka itu diambil dari kasus di Bangkok," ujar Sri Rejeki. Bila salah, akibatnya bisa fatal. Angka itu penting, sebab digunakan untuk menentukan apakah infeksi virus dengue di suatu daerah sudah sampai pada tahap sekunder. Juga penting bagi para pengambil keputusan menentukan langkah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi wabah di suatu daerah. Pada awal penelitiannya, Sri mengambil sampel 5.004 anak sekolah usia 7-12 tahun di Jakarta. Pada 1983 dilaporkan, dari 13.875 kasus demam berdarah di Indonesia, 22% atau 3.100 kasus terjadi di Jakarta. Ternyata, hasil penelitian Sri menunjukkan angka titer itu lebih rendah dari patokan WHO yang 1:1.280. Tingkat pengencerannya 1:640. Akibatnya, dengan patokan WHO angka kasus demam berdarah lebih rendah dari sebenarnya. Sebab, pada penelitian Sri Rejeki, dengan pengenceran 1:640, hasil tes sudah positif. Kesimpulan penting penelitian Sri, kasus demam berdarah sebenarnya lebih besar dari angka resmi sekarang. Padahal, angka ini sangat mempengaruhi program pemberantasan virus dengue. Karena itu, Sri Rejeki menyarankan agar semua daerah di Indonesia juga diteliti kembali, sehingga angka sebenarnya diketahui. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini