Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Modernisme gaya bandung

Pameran karya staf pengajar seni rupa dan desain ITB di bandung menunjukkan adanya kecenderungan meninggalkan modernisme menuju ke arah kontemporer.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ingin menjenguk modernisme di Indonesia, datanglah ke Bandung. Di sana jejak-jejaknya masih tampak, terutama pada karya staf pengajar generasi awal seni rupa ITB. Namun, pada staf pengajar generasi baru terlihat perkembangan ke arah seni rupa kontemporer. Gejala pergeseran seni rupa modern di lingkungan lembaga pendidikan di Bandung ini setidaknya tebersit dalam pameran staf pengajar ITB, selama empat hari, sejak 20 April pekan lalu. Pameran ini juga menandai diresmikannya galeri baru Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Segera terlihat pada pameran ini prinsip-prinsip modernisme yang ditangkap oleh sejumlah perupa Bandung, seperti Angkama, Ahmad Sadali, Edi Kartasubarna, But Mochtar, Mochtar Apin (kelimanya sudah almarhum), Srihadi Soedarsono, G. Sidharta, Rita Widagdo, A.D. Pirous, Kabul Soeadi, Sunaryo, serta Umi Dahlan. Di situ terlihat idiom rupa mendapat peran penting dalam karya untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, dan tema. Tapi tidak seluruhnya dari prinsip modernisme ini diterapkan dalam karya mereka. Kebanyakan karya dari generasi tua ini cenderung didasari oleh muatan falsafah lokal ataupun keagamaan, sehingga modernisme mengalami penyesuaian dan mendapat pemahaman baru. Dengan pembidangan-pembidangan pada kanvas dan pewarnaan yang rata, serta aksentuasi di sana-sini, karya-karya mereka terasa tidak mengumbar emosi. Dengan komposisi yang tertib, karya- karya mereka cenderung apik serta enak dipandang. Tengok saja karya Ahmad Sadali yang menampilkan bongkahan- bongkahan emasnya. Pada lukisan berlatar cokelat itu, di bagian bawahnya tertera kaligrafi Arab. Pandangan kita pun tertambat pada bidang-bidang emas itu, serta merenungi amanah huruf-huruf Arab yang tertera di sana. Lukisan itu menyiratkan semangat religius yang sangat kuat. Juga karya Srihadi Soedarsono, misalnya, yang menampilkan lukisan Borobudur berukuran 9 x 2 meter persegi: lukisan yang menggambarkan siluet Candi Borobudur pada satu garis horizon dengan sapuan-sapuan hijau, biru tua, dan hitam sebagai latarnya. Bagi Srihadi, horizon adalah gambaran suatu keseimbangan -- sering dia menyebutnya Yin dan Yang. "Keseimbangan adalah sesuatu yang harus dicapai manusia dalam hidupnya," kata Srihadi. Karena itu pula, pada karyanya sangat terasa falsafah hidup orang Jawa. Karya A.D. Pirous, Umi Dahlan, Sunaryo, dan Kaboel mempunyai semangat yang sama, cenderung tertib dan menenteramkan. Sementara itu, Rita Widagdo menampilkan karya trimatra yang lugas, jernih -- dan ini berbeda dengan karya G. Sidharta dengan medium kayu yang dicat warna-warni, riuh, dan mengingatkan kita pada ondel-ondel Betawi. Yang menarik dari pameran ini, tampilnya Tisna Sanjaya, Hendrawan Riyanto, Pius, serta Innes dari staf pengajar generasi baru. Ada kecenderungan mereka malah meninggalkan prinsip modernisme. Karya Tisna, 36 tahun, tampak paling kuat memperlihatkan corak seni kontemporer. Perupa muda yang baru menyelesaikan studi pascasarjana di Jerman ini menampilkan karya berjudul Dzikir, berukuran 3,20 x 3,50 meter persegi. Karya dari bahan campuran ini merupakan gabungan tiga buah bingkai. Dan di bingkai itu dibuat kotak- kotak seukuran 20 cm, kemudian ditempeli sketsa dari bahan kertas kuarto. Beberapa bagian dari bingkai itu ditempeli lukisan grafis teknik etsa. Sketsa Tisna secara dominan menggambarkan kepala manusia, garis-garis yang bertumpukan, berseliweran melintasi satu kertas dan lainnya. Pada setiap kertas sketsa itu ada catatan-catatan, misalnya, "Kepala bodoh", "Ide tumpul", "Lukisan jelek", dan "Isteriku sedih, lukisanku tak laku dijual". Pada catatan Tisna - dalam sketsa itu - tertulis pula "Monumen estetika bau bangkai". Juga catatan beberapa rencananya untuk melengkapi karyanya. Misalnya, "Akan dibangun monumen kilat di depan karya yang sedang dipamerkan itu". Karya Tisna itu merupakan karya proses, yang akan terus berubah-ubah. Hendrawan Riyanto menampilkan karya seni instalasi dari bahan campuran kain, kabel, lampu, dan besi. Bingkai besi yang dilapisi kain itu dibuat menyerupai layang-layang. Lalu, ada kabel-kabel yang dibiarkan terjuntai dari bingkai besi hingga ke lantai. Lampu yang berkedip-kedip di tengah layang-layang itu menggambarkan suatu pengendalian terhadap suatu kekuatan. Eksperimen ini disadari Hendrawan sebagai suatu kemungkinan. Dilihat dari perkembangan pada pameran, seperti disitir Jim Supangkat, tampak bahwa para perupa itu -- baik generasi awal maupun generasi baru -- begitu memahami prinsip seni rupa modern. Kritikus seni rupa ini juga melihat adanya kecenderungan perupa Bandung meninggalkan modernisme dan menuju ke arah seni rupa kontemporer. Sepintas, pameran ini terkesan kurang dipersiapkan secara matang. Yang ingin mengenal sejarah seni rupa Bandung boleh kecewa sebab pameran ini tidak memberikan informasi melalui tulisan, termasuk katalog pameran. Asikin dan S. Malela Mahargasarie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus