Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Saya sudah tua, saya pasrah

Tukiyem, 50, dan suaminya saji, 65, alias mbok dan pak ribut, membuat tempe gembos dari ampas tahu dan kelapa. mereka dipenjara karena puluhan orang mati setelah makan tempe gembos yang beracun. (sd)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA aslinya Tukiyem. Dilahirkan di Yosomulyo, 50 tahun lalu - desa Temurejo. Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Suaminya bernama Saji, usia 65 tahun asal Malang. Tapi keduanya kini sal sama dipanggil Pak dan Mbok Ribut -- nama anak tertua mereka. Sepasang orang Jawa yang tua ini sebelum masuk penjara --- pernah jadi pujaan para pencandu tempe gembos (orang Yogya bilang tempe gembus). Pokoknya bangsa tempe yang dibuat dari ampas tahu. Warnanya putih berair dan lembut macam pudeng. Langganannya adalah rakyat kecil kaum tani, bangsanya wlijo alias para penjaja. Hercules Setiap hari Mbok Ribut menjadi bagian dari kesibukan rutin desa. Ia akan melintas di jalan pakai Hercules tua sepeda anaknya sambil menjunjung dagangan tempe gembosnya. Sekitar Rp 300, akan berada di dalam koceknya. Kalau ia berhasil melego semua untungnya setiap hari sekitar Rp 120 untuk makan kami sekeluarga," kata Mbok Ribut kepada Imam Soebagio dari TEMPO. Yang disebut keluarga hanya tiga nyawa. Dia sendiri suaminya, dan ibu Mbok Ribut yang sudah pikun. Si Ribut anaknya, sudah transmigrasi ke Lampung. Sedang Djamari, anaknya yang satu lagi, tinggal di tempat yang lain. Dengan modal Rp 180 setiap hari, keluarga Ribut telah berhasil hidup melata selama 30 tahun. Jangka waktu yang bukan main. Itu pun sudah termasuk acara membeli sedikit jajan untuk cucu, minyak lampu, dan tembakau buat suami. Kepintaran bikin tempe gembos telah dimilikinya sejak kecil. Diturunkan oleh ibunya. Ia tidak punya kebolehan lain, ia seorang spesialis yang benar-benar mewarisi nilai-nilai tempe. Sebagaimana umumnya pekerja kecil, Mbok Ribut mulai hidup dinihari bersama-sama pukulan bedug. Pak Ribut lebih dahulu menyulut api merebus air dan menyedu kopi buat isten, mertua dan dia sendiri. Sementara Mbok Ribut mulai mengirisi tempe setangkep-setangkep. Setangkep sekitar satu telapak tangan, terdiri dari dua bagian yang disatukan. Ini harganya Rp 5. Murah ya. Pukul lima dinihari, langit masih merah. Udara sedang segar-segarnya. Itulah saat Mbok Ribut berangkat ke pasar, sementara suaminya tetap di rumah: mengoper tugas yang biasanya dilakukan kaum hawa. Ia menanak nasi. Kemudian berangkat ke kebun. Melakukan apa saja di sana. Isterinya sekitar pukul setengah sepuluh sudah akan berada di rumah kembali. Pulang membawa belanjaan, langsung masak. Menjelang tengah hari, Abdulbari tetangga yang punya perusahaan tahu kecil-kecilan muncul. Ia pasti membawa sekitar lima glondong ampas tahu. Satu gelondong sebesar kelapa yang belum dikupas, harganya Rp 20. Inilah bahan tempe gembos yang kemudian harus dicampur dengan ampas kelapa. Ampas ini empat hari sekali datang dari Sarinem, tetangga yang lain yang mengusahakan minyak goreng. Mungkin ada juga orang bikin tempe gembos tanpa campuran. Mbok Ribut melakukan campuran karena tempe gembos yang dicampur ampas kelapa jadinya lebih keras dan gurih. Sedang yang tidak, agak jeme, atawa becek. Lepas bedug lohor, Pak Ribut dapat tugas memeras ampas: menjepitnya dengan kain saringan tahu, sesudah dicuci bersih. Setelah itu baru dikukus. Kemudian didinginkan, diratakan di balai-balai. diberi ragi. Ragi tempe ini dibuat dari tempe kedelai. Mbok Ribut membuatnya seminggu sekali, dikeringkan, dan dibiarkan sampai bubukan. Laboratorium Kriminil Balai-balai yang tadi disebut sama sekali bukan tempat tidur. Tapi balai-balai khusus berukuran satu kali satu setengah meter, hasil tangan Pak Ribut sendiri. Ampas diratakan di balai-balai itu sambil dikeraskan. Setelah cukup diragi, kemudian ditutup dengan tikar-selama dua malam. Pekerjaan semacam ini baru selesai menjelang bedug isya. Baru lepas masa itu, kedua orang tua ini membiarkan tubuh mereka beristirahat. Menurut Mbok Ribut, tempe gembos paling enak bila dibuat sambal goreng dengan cabai hijau. Atau digoreng setelah dilapisi tepung beras atau tepung terigu. "Kalau tak enak mengapa Pak Carik Jatirejo tiap hari beli sampai Rp 75 untuk makan?", tanya orang tua itu. Tentunya enak. Mbok Ribut tidak memonopoli penjualan tempe di desanya. Selain dia, masih ada Mbok Karsi, Mbok Mijan dan Lasinem. Tetapi sepasang orang tua inilah yang kemudian ditarik yang berwajib memasuki rumah tutupan: dianggap melanggar pasal 359 jo. pasal 360 KUHP, yang mereka sendiri tentunya tak pernah dengar. Awal Januari 1977 akibat tempe gembos mereka - setidak-tidaknya demikianlah kesimpulannya warga desa terperanjat. 40 orang menderita sakit perut gawat, sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Tidak hanya itu. 76 orang anggota masyarakat Temurejo tersebut sudah langsung tewas. Menurut penyelidikan pihak Laboratorium Kriminil Komdak X Jawa limur, racun yang mematikan banyak orang itu berasal dari ampas kelapa. Mbok Ribut, yang mendengar laporan ilmiah itu, hanya bengong. Ia menatap ke kejauhan, bersama suaminya dengan mata kosong, sambil berkata: "Tetapi sudah puluhan tahun saya membuat tempe gembos dengan campuran. Belum pernah dengar ada yang mati. Campuran itu saya lakukan kalau ada. Kalau tidak ada juga tidak apa-apa .... " Pengadilan Negeri Banyuwangi bertindak bijaksana. Penyelidikan dilakukan. Lalu akhirnya mereka yakin, kedua suami isteri tua itu memang bersalah, apa boleh buat. Maka pelanggaran terhadap pasal-pasal itu dinyatakan sudah terbukti. Pasangan pembuat tempe gembos itu dibukai pintu pnjara secara resmi - dua hari sebelum peringatan kemerdekaan negeri mereka, tahun 1977. Hakim ketua, Wahyudi SH, menjatuhkan hukuman masing-masing 3 tahun penjara. Menjijikkan Kedua Ribut tua menerima saja hukuman tersebut. Ya mau apa lagi. "Mau apa lagi," kata Mbok Ribut dalam bahasa Osing Banyuwangi. "Saya sudah tua, sedang suami saya sudah terlalu tua dan tidak bisa apa-apa." Jauh dalam lubuk hati, keduanya tetap tidak yakin melakukan kesalahan. Membunuh? Membunuh orang sebanyak itu, orang-orang sedesa mereka? Buat apa'? Tapi orang-orang memang pada mati, entah bagaimana. Dan Pak Ribut sendiri hanya mengiakan saja apa yang diperlakukan atas dirinya: "Saya sudah pasrah, saya sudan terlalu tua." Ia hanya cemas terhadap mertuanya yang kini sendirian di desa. Kini sepasang suami-isteri itu terpaksa merubah kebiasaan di penjara. Tidak ada lagi kebun. Tidak ada sepeda Hercules. Masing-masing mencari kesibukan sendiri dalam ruang terpisah. Pertemuan jarang sekali karena peraturan Lemhaga. Mbok Ribut sebenarnya khawatir terhadap keadaan suaminya, berhubung usianya. Sering ia mengirimkan kelebihan nasinya untuk lelaki tua itu. Suaminya sudan berhenti merokok, sebab tak ada jatah. Apalagi rekan sekamarnya menasehatkannya jangan merokok. Saji, suaminya itu, mendapat kesibukan baru: membersihkan gembok di penjara. Mulai dali gembok kecil di selnya sendiri sampai gembok besar di pintu penjara. Pekerjaan yang sia-sia, tapi barangkali cukup berguna untuk mendapat perasaan bahwa betapapun masih ada yang bisa dikerjakan. Sementara Mbok Ribut tak punya kerja apa-apa. Kadang ia mengasuh anak-anak pegawai lembaga pemasyarakatan itu. Kalau tak ada kerja ia jadi teringat suami, ibunya, serta keheranannya yang tak habis-habis. Dalam saat-saat seperti itu, ia mulai memperhatikan sekelilingnya. Kalau dulu seluruh hidupnya hanya dari tempe gembos ke tempe gembos, sekarang ia mulai mengamati perangai manusia-manusia lain yang barangkali semula amat asing. Ia tercengang memperhatikan tingkah laku para narapidana wanita lainnya. Barangkali ia sudah terlalu tua untuk menerima semua itu. "Heran, mereka tampaknya tidak susah," katanya kepada TMPO. "Sehari-harian kerja mereka menyanyi, berteriak-teriak dan bertingkah yang menjijikkan." Apakah Mbok Ribut berniat menjadi penjual tempe tembos lagi, kalau keluar?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus