NAMA aslinya Tukiyem. Dilahirkan di Yosomulyo, 50 tahun lalu
- desa Temurejo. Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Suaminya
bernama Saji, usia 65 tahun asal Malang. Tapi keduanya kini sal
sama dipanggil Pak dan Mbok Ribut -- nama anak tertua mereka.
Sepasang orang Jawa yang tua ini sebelum masuk penjara ---
pernah jadi pujaan para pencandu tempe gembos (orang Yogya
bilang tempe gembus). Pokoknya bangsa tempe yang dibuat dari
ampas tahu. Warnanya putih berair dan lembut macam pudeng.
Langganannya adalah rakyat kecil kaum tani, bangsanya wlijo
alias para penjaja.
Hercules
Setiap hari Mbok Ribut menjadi bagian dari kesibukan rutin
desa. Ia akan melintas di jalan pakai Hercules tua sepeda
anaknya sambil menjunjung dagangan tempe gembosnya. Sekitar Rp
300, akan berada di dalam koceknya. Kalau ia berhasil melego
semua untungnya setiap hari sekitar Rp 120 untuk makan kami
sekeluarga," kata Mbok Ribut kepada Imam Soebagio dari TEMPO.
Yang disebut keluarga hanya tiga nyawa. Dia sendiri suaminya,
dan ibu Mbok Ribut yang sudah pikun. Si Ribut anaknya, sudah
transmigrasi ke Lampung. Sedang Djamari, anaknya yang satu lagi,
tinggal di tempat yang lain.
Dengan modal Rp 180 setiap hari, keluarga Ribut telah berhasil
hidup melata selama 30 tahun. Jangka waktu yang bukan main. Itu
pun sudah termasuk acara membeli sedikit jajan untuk cucu,
minyak lampu, dan tembakau buat suami. Kepintaran bikin tempe
gembos telah dimilikinya sejak kecil. Diturunkan oleh ibunya. Ia
tidak punya kebolehan lain, ia seorang spesialis yang
benar-benar mewarisi nilai-nilai tempe.
Sebagaimana umumnya pekerja kecil, Mbok Ribut mulai hidup
dinihari bersama-sama pukulan bedug. Pak Ribut lebih dahulu
menyulut api merebus air dan menyedu kopi buat isten, mertua dan
dia sendiri. Sementara Mbok Ribut mulai mengirisi tempe
setangkep-setangkep. Setangkep sekitar satu telapak tangan,
terdiri dari dua bagian yang disatukan. Ini harganya Rp 5. Murah
ya.
Pukul lima dinihari, langit masih merah. Udara sedang
segar-segarnya. Itulah saat Mbok Ribut berangkat ke pasar,
sementara suaminya tetap di rumah: mengoper tugas yang biasanya
dilakukan kaum hawa. Ia menanak nasi. Kemudian berangkat ke
kebun. Melakukan apa saja di sana. Isterinya sekitar pukul
setengah sepuluh sudah akan berada di rumah kembali. Pulang
membawa belanjaan, langsung masak.
Menjelang tengah hari, Abdulbari tetangga yang punya perusahaan
tahu kecil-kecilan muncul. Ia pasti membawa sekitar lima
glondong ampas tahu. Satu gelondong sebesar kelapa yang belum
dikupas, harganya Rp 20. Inilah bahan tempe gembos yang
kemudian harus dicampur dengan ampas kelapa. Ampas ini empat
hari sekali datang dari Sarinem, tetangga yang lain yang
mengusahakan minyak goreng.
Mungkin ada juga orang bikin tempe gembos tanpa campuran. Mbok
Ribut melakukan campuran karena tempe gembos yang dicampur ampas
kelapa jadinya lebih keras dan gurih. Sedang yang tidak, agak
jeme, atawa becek.
Lepas bedug lohor, Pak Ribut dapat tugas memeras ampas:
menjepitnya dengan kain saringan tahu, sesudah dicuci bersih.
Setelah itu baru dikukus. Kemudian didinginkan, diratakan di
balai-balai. diberi ragi. Ragi tempe ini dibuat dari tempe
kedelai. Mbok Ribut membuatnya seminggu sekali, dikeringkan,
dan dibiarkan sampai bubukan.
Laboratorium Kriminil
Balai-balai yang tadi disebut sama sekali bukan tempat tidur.
Tapi balai-balai khusus berukuran satu kali satu setengah meter,
hasil tangan Pak Ribut sendiri. Ampas diratakan di balai-balai
itu sambil dikeraskan. Setelah cukup diragi, kemudian ditutup
dengan tikar-selama dua malam. Pekerjaan semacam ini baru
selesai menjelang bedug isya. Baru lepas masa itu, kedua orang
tua ini membiarkan tubuh mereka beristirahat. Menurut Mbok
Ribut, tempe gembos paling enak bila dibuat sambal goreng
dengan cabai hijau. Atau digoreng setelah dilapisi tepung beras
atau tepung terigu. "Kalau tak enak mengapa Pak Carik Jatirejo
tiap hari beli sampai Rp 75 untuk makan?", tanya orang tua itu.
Tentunya enak.
Mbok Ribut tidak memonopoli penjualan tempe di desanya. Selain
dia, masih ada Mbok Karsi, Mbok Mijan dan Lasinem. Tetapi
sepasang orang tua inilah yang kemudian ditarik yang berwajib
memasuki rumah tutupan: dianggap melanggar pasal 359 jo. pasal
360 KUHP, yang mereka sendiri tentunya tak pernah dengar.
Awal Januari 1977 akibat tempe gembos mereka - setidak-tidaknya
demikianlah kesimpulannya warga desa terperanjat. 40 orang
menderita sakit perut gawat, sehingga perlu dirawat di rumah
sakit. Tidak hanya itu. 76 orang anggota masyarakat Temurejo
tersebut sudah langsung tewas. Menurut penyelidikan pihak
Laboratorium Kriminil Komdak X Jawa limur, racun yang mematikan
banyak orang itu berasal dari ampas kelapa.
Mbok Ribut, yang mendengar laporan ilmiah itu, hanya bengong. Ia
menatap ke kejauhan, bersama suaminya dengan mata kosong,
sambil berkata: "Tetapi sudah puluhan tahun saya membuat tempe
gembos dengan campuran. Belum pernah dengar ada yang mati.
Campuran itu saya lakukan kalau ada. Kalau tidak ada juga tidak
apa-apa .... "
Pengadilan Negeri Banyuwangi bertindak bijaksana. Penyelidikan
dilakukan. Lalu akhirnya mereka yakin, kedua suami isteri tua
itu memang bersalah, apa boleh buat. Maka pelanggaran terhadap
pasal-pasal itu dinyatakan sudah terbukti. Pasangan pembuat
tempe gembos itu dibukai pintu pnjara secara resmi - dua hari
sebelum peringatan kemerdekaan negeri mereka, tahun 1977. Hakim
ketua, Wahyudi SH, menjatuhkan hukuman masing-masing 3 tahun
penjara.
Menjijikkan
Kedua Ribut tua menerima saja hukuman tersebut. Ya mau apa lagi.
"Mau apa lagi," kata Mbok Ribut dalam bahasa Osing Banyuwangi.
"Saya sudah tua, sedang suami saya sudah terlalu tua dan tidak
bisa apa-apa." Jauh dalam lubuk hati, keduanya tetap tidak
yakin melakukan kesalahan. Membunuh? Membunuh orang sebanyak
itu, orang-orang sedesa mereka? Buat apa'? Tapi orang-orang
memang pada mati, entah bagaimana. Dan Pak Ribut sendiri hanya
mengiakan saja apa yang diperlakukan atas dirinya: "Saya sudah
pasrah, saya sudan terlalu tua." Ia hanya cemas terhadap
mertuanya yang kini sendirian di desa.
Kini sepasang suami-isteri itu terpaksa merubah kebiasaan di
penjara. Tidak ada lagi kebun. Tidak ada sepeda Hercules.
Masing-masing mencari kesibukan sendiri dalam ruang terpisah.
Pertemuan jarang sekali karena peraturan Lemhaga. Mbok Ribut
sebenarnya khawatir terhadap keadaan suaminya, berhubung
usianya. Sering ia mengirimkan kelebihan nasinya untuk lelaki
tua itu. Suaminya sudan berhenti merokok, sebab tak ada jatah.
Apalagi rekan sekamarnya menasehatkannya jangan merokok.
Saji, suaminya itu, mendapat kesibukan baru: membersihkan gembok
di penjara. Mulai dali gembok kecil di selnya sendiri sampai
gembok besar di pintu penjara. Pekerjaan yang sia-sia, tapi
barangkali cukup berguna untuk mendapat perasaan bahwa betapapun
masih ada yang bisa dikerjakan.
Sementara Mbok Ribut tak punya kerja apa-apa. Kadang ia mengasuh
anak-anak pegawai lembaga pemasyarakatan itu. Kalau tak ada
kerja ia jadi teringat suami, ibunya, serta keheranannya yang
tak habis-habis. Dalam saat-saat seperti itu, ia mulai
memperhatikan sekelilingnya. Kalau dulu seluruh hidupnya hanya
dari tempe gembos ke tempe gembos, sekarang ia mulai mengamati
perangai manusia-manusia lain yang barangkali semula amat asing.
Ia tercengang memperhatikan tingkah laku para narapidana wanita
lainnya. Barangkali ia sudah terlalu tua untuk menerima semua
itu. "Heran, mereka tampaknya tidak susah," katanya kepada
TMPO. "Sehari-harian kerja mereka menyanyi, berteriak-teriak
dan bertingkah yang menjijikkan."
Apakah Mbok Ribut berniat menjadi penjual tempe tembos lagi,
kalau keluar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini