ADA lagi poster yang dilarang ditempel. Bukan di kampus, tapi
di gereja. Bukan oleh penguasa, seperti kejadian di Flores tahun
lalu, melainkan, oleh pimpinan gereja sendiri khhsusnya beberapa
pastor paroki. Ini kejadian di Semarang dan Bandung.
Poster yang dilarang ditempel di pintu gereja itu bukan poster
"liar". Juga bukan misalnya dari dewan mahasiswa yang sedang
dibekukan. Melainkan poster kampanye 'Aksi Puasa Pembangunan
1978' - diterbitkan oleh PWI (Panitia Waligereja Indonesia)
Pengembangan Sosial-konomi, bekerja sama dengan PWI Komunikasi
Sosial. Dua-duanya organ resmi MAWI, dan diketuai oleh seorang
uskup.
Karena pelaksanaan bulan puasa Katolik (mulai Rabu Abu, 8
Pebruari) bertema 'Tegakkan Keadilan' seri poster yang
dlsebarkan ke gereja Katolik seluruh Indonesia tentunya juga
mendukung tema itu. Lengkap dengan karikatur, seperti kebiasaan
tiap tahun. Kampanye poster itu sendiri, yang diproduksi di
Semarang, dimaksud guna merangsang pengumpulan dana bagi
pembangunan lembaga-lembaga Katolik.
Mengritik Biarawati
Maka Wakil Ketua PWI Kom-sos, Dr Jan Riberu yang baru pulang
dari luar negeri, menyatakan keheranan ketika mendapat laporan
bahwa beberapa pastor paroki di Semarang kemudian menyusul
Bandung - melarang penempelan poster itu. Yang lebih
mengherankan: bukan seluruh seri poster yang ditentang. Tapi
terutama poster-poster yang mengimbau lembaga-lembaga gereja ini
sendiri agar lebih menegakkan keadilan dalam menjalankan fungsi
sosial. Dengan kata lain: poster yang merupakan sindiran kepada
diri sendiri (lihat gambar).
"Kita kan biasa mengritik Pemerintah. Mengapa kita tak boleh
mengritik lembaga gereja sendiri, biarawan dan biarawati?" tanya
Dr Riberu, bekas pastor Ordo SVD di Flores yang pernah jadi
Rektor Seminari Tinggi Ledalero. Diakuinya, gambar-gambar itu
mungkin agak berlebihan namanya saja karikatur. Tapi esensinya
mengandung kebenaran juga.
Katanya kepada TEMPO: "Sering kita menampung orang miskin untuk
bekerja jadi pesuruh di pastoran atau di susteran, dengan
bavaran rendah sekali. Tapi kita tak merasa berbuat tidak adil.
Malah kadang-kadang kita bangga, sebab kalau orang itu tak kita
tampung dia kita masih menganggur." Itu sebabnya, ketika PWI
Sos-ek yang diketuai Uskup Manado dan PWI Kom-sos yang diketuai
Uskup Palembang berapat memeriksa rencana poster itu sebelum
dicetak, Riberu termasuk pendukungnya yang gigih. Tapi rupanya
apa yang sudah diputuskan di tingkat pusat tak setelah dapat
diterima di tingkat bawah.
Topeng Belaka
Adapun ajakan mawas-diri sebenarnya juga dikemukakan Uskup Agung
Jakarta Dr Leo Soekoto SY, dalam Surat Gembalanya yang dibacakan
di gereja seluruh Jakarta, Sabtu dan Minggu 4-5 Pebruari. Begitu
pula dalam surat gembala uskup-uskup lainnya di seluruh
Indonesia. Keprihatinan sosial para pimpinan umat itu memang
tidak melempem --setelah pernyataan sosial MAWI yang dinilai
cukup keras akhir tahun lalu. aik Mgr. Leo Soekoto, maupun
Uskup Agung Semarang dan Uskup Agung Ende--keduanya Ketua dan
Wakil Ketua MAWI dalam Surat Gembala mereka secara tandas
mengaitkan himbauan keadilan itu dengan 'hak asasi', 'hak
warganegara' dan 'hak perorangan'.
Mgr. Leo Soekoto membandingkan hak-hak warganegara dengan
kehidupan dalam keluarga. "Seorang anak yang bicaranya sering
kurang hati-hati. kurang benar dan terlalu berani, lantas
dilarang berbicara sama sekali, jiwanya akan tetap kerdil," kata
Uskup Agung Jakarta yang juga Sekjen MAWI. Begitu pula dalam
negara: kalau para warganegara sampai takut mengeluarkan
pendapat atau isi hati, mereka akan merasa tertindas dan sulit
berkembang menjadi manusia yang cerdas. Sehigga akhirnya
negara sendiri pun akan mengalami kerugian."
Di Ende, Uskup Agung Mgr. Donatus Djagom SVD berbicara tentang
praktek 'musyawarah' dan 'gotong royong'. Katanya: "Tak adil
kalau perhitungan pribadi yang egois dihadirkan dalam
musyawarah. Atau dengan kedudukan tertentu melaksanakan
keinginannya untuk diterima begitu saja oleh orang lain."
Musyawarah yang begitu. menurut Mgr. Djagom, "hanyalah topeng
belaka." Gotong-royong pun, menurut Uskup, "hanya dipakai
sebagai kedok, kalau anggaran upah untuk pekerjaan yang
digotong-royongkan didiamkan saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini