Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kritik diri, kritik sosial

Beberapa pastor paroki di semarang & bandung melarang penempelan poster kampanye aksi puasa pembangunan 1978 panitia waligereja indonesia, dianggap mengkritik lembaga gereja, biarawan dan biarawati. (ag)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA lagi poster yang dilarang ditempel. Bukan di kampus, tapi di gereja. Bukan oleh penguasa, seperti kejadian di Flores tahun lalu, melainkan, oleh pimpinan gereja sendiri khhsusnya beberapa pastor paroki. Ini kejadian di Semarang dan Bandung. Poster yang dilarang ditempel di pintu gereja itu bukan poster "liar". Juga bukan misalnya dari dewan mahasiswa yang sedang dibekukan. Melainkan poster kampanye 'Aksi Puasa Pembangunan 1978' - diterbitkan oleh PWI (Panitia Waligereja Indonesia) Pengembangan Sosial-konomi, bekerja sama dengan PWI Komunikasi Sosial. Dua-duanya organ resmi MAWI, dan diketuai oleh seorang uskup. Karena pelaksanaan bulan puasa Katolik (mulai Rabu Abu, 8 Pebruari) bertema 'Tegakkan Keadilan' seri poster yang dlsebarkan ke gereja Katolik seluruh Indonesia tentunya juga mendukung tema itu. Lengkap dengan karikatur, seperti kebiasaan tiap tahun. Kampanye poster itu sendiri, yang diproduksi di Semarang, dimaksud guna merangsang pengumpulan dana bagi pembangunan lembaga-lembaga Katolik. Mengritik Biarawati Maka Wakil Ketua PWI Kom-sos, Dr Jan Riberu yang baru pulang dari luar negeri, menyatakan keheranan ketika mendapat laporan bahwa beberapa pastor paroki di Semarang kemudian menyusul Bandung - melarang penempelan poster itu. Yang lebih mengherankan: bukan seluruh seri poster yang ditentang. Tapi terutama poster-poster yang mengimbau lembaga-lembaga gereja ini sendiri agar lebih menegakkan keadilan dalam menjalankan fungsi sosial. Dengan kata lain: poster yang merupakan sindiran kepada diri sendiri (lihat gambar). "Kita kan biasa mengritik Pemerintah. Mengapa kita tak boleh mengritik lembaga gereja sendiri, biarawan dan biarawati?" tanya Dr Riberu, bekas pastor Ordo SVD di Flores yang pernah jadi Rektor Seminari Tinggi Ledalero. Diakuinya, gambar-gambar itu mungkin agak berlebihan namanya saja karikatur. Tapi esensinya mengandung kebenaran juga. Katanya kepada TEMPO: "Sering kita menampung orang miskin untuk bekerja jadi pesuruh di pastoran atau di susteran, dengan bavaran rendah sekali. Tapi kita tak merasa berbuat tidak adil. Malah kadang-kadang kita bangga, sebab kalau orang itu tak kita tampung dia kita masih menganggur." Itu sebabnya, ketika PWI Sos-ek yang diketuai Uskup Manado dan PWI Kom-sos yang diketuai Uskup Palembang berapat memeriksa rencana poster itu sebelum dicetak, Riberu termasuk pendukungnya yang gigih. Tapi rupanya apa yang sudah diputuskan di tingkat pusat tak setelah dapat diterima di tingkat bawah. Topeng Belaka Adapun ajakan mawas-diri sebenarnya juga dikemukakan Uskup Agung Jakarta Dr Leo Soekoto SY, dalam Surat Gembalanya yang dibacakan di gereja seluruh Jakarta, Sabtu dan Minggu 4-5 Pebruari. Begitu pula dalam surat gembala uskup-uskup lainnya di seluruh Indonesia. Keprihatinan sosial para pimpinan umat itu memang tidak melempem --setelah pernyataan sosial MAWI yang dinilai cukup keras akhir tahun lalu. aik Mgr. Leo Soekoto, maupun Uskup Agung Semarang dan Uskup Agung Ende--keduanya Ketua dan Wakil Ketua MAWI dalam Surat Gembala mereka secara tandas mengaitkan himbauan keadilan itu dengan 'hak asasi', 'hak warganegara' dan 'hak perorangan'. Mgr. Leo Soekoto membandingkan hak-hak warganegara dengan kehidupan dalam keluarga. "Seorang anak yang bicaranya sering kurang hati-hati. kurang benar dan terlalu berani, lantas dilarang berbicara sama sekali, jiwanya akan tetap kerdil," kata Uskup Agung Jakarta yang juga Sekjen MAWI. Begitu pula dalam negara: kalau para warganegara sampai takut mengeluarkan pendapat atau isi hati, mereka akan merasa tertindas dan sulit berkembang menjadi manusia yang cerdas. Sehigga akhirnya negara sendiri pun akan mengalami kerugian." Di Ende, Uskup Agung Mgr. Donatus Djagom SVD berbicara tentang praktek 'musyawarah' dan 'gotong royong'. Katanya: "Tak adil kalau perhitungan pribadi yang egois dihadirkan dalam musyawarah. Atau dengan kedudukan tertentu melaksanakan keinginannya untuk diterima begitu saja oleh orang lain." Musyawarah yang begitu. menurut Mgr. Djagom, "hanyalah topeng belaka." Gotong-royong pun, menurut Uskup, "hanya dipakai sebagai kedok, kalau anggaran upah untuk pekerjaan yang digotong-royongkan didiamkan saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus