Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Wajah batman yang hitam

Sutradara: tim burton skenario: daniel waters pemain: michael keaton, danny devito, michelle pfeiffer resensi oleh : leila s. chudori

8 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH puluhan tahun nama Batman menjadi legenda. Ia tokoh rekaan Bob Kane yang lantas menjadi pahlawan anak-anak, pujaan orang dewasa, dan impian wanita. Batman pada tahun 1930-an adalah super hero yang siap memberantas ulah penjahat licik macam The Jocker, The Penguin, atau Catwoman. Namun, melalui film Batman dan Batman Returns, Tim Burton, 34 tahun, segera meruntuhkan mitos ini. "Setiap orang memiliki monster dalam dirinya," ujar sutradara muda yang mengejutkan dunia melalui karyanya yang unik seperti Pee-wee's Big Adventure dan Edward Scissorshand. Itulah sebabnya, kali ini film Batman, yang dibuatnya tiga tahun silam, dan Batman Returns, mampu mempesona masyarakat dunia. Pertama, Burton sengaja menentang tradisi visualisasi Batman yang telanjur mengungkapkan cerita ini menjadi kisah si baik lawan si jahat. Stereotip sineas pada tahun 1960-an, yang memperlihatkan Batman dengan kostum ketat dan stocking senam plus jubah yang melambai ini, selalu menggambarkan kisah Batman dan lawannya dengan hitam-putih. "Revolusi" Burton bukan hanya mengganti kostum Batman dengan baju kulit eksotis dan mobil Batman yang lebih canggih. Ia memperlihatkan sosok Bruce Wayne yang siang hari menjadi "manusia biasa" dan malam hari menjadi Batman sebagai tokoh yang hanya berani memukul orang ketika ia mengenakan topeng. "Sebenarnya kita sama-sama monster," ejek Penguin (Danny Devito) pada Batman (Michael Keaton). "Bedanya, kau berani karena mengenakan topeng." Dan Batman tak bisa menjawab karena ucapan Penguin memang benar. Penggalian Burton terhadap karakter tokoh-tokohnya membuat film Batman Returns ini bukan sekadar penerjemahan yang dangkal. Baginya, tokoh Batman, Penguin, dan Catwoman adalah orang yang mempunyai problem psikologis tentang identitas diri. Catwoman pun bukan sekadar penjahat perempuan. Meski ia membantu perempuan yang hampir diperkosa -- dengan menendang lelaki jahanam itu -- Catwoman bukan seorang Wonder Woman yang membela keadilan. Ia seorang perempuan yang marah terhadap penghinaan lelaki terhadap perempuan. Dan ia melampiaskannya dengan mengeluarkan sisinya yang hitam. Kelebihan Burton yang lain adalah karena ia menciptakan sejarah latar belakang The Penguin dan Catwoman. Penguin sebetulnya adalah seorang anak manusia biasa berwajah penguin yang dibuang orang tuanya ke selokan. Ia tumbuh menjadi manusia cacat penuh dendam yang membutuhkan pengakuan. Sedangkan Catwoman (dimainkan dengan baik oleh Michele Pfeiffer) awalnya bernama Selina Kyle. Ia bekerja sebagai sekretaris konglomerat Max Shreck. Kehidupan Selina sebagai sekretaris yang selalu direndahkan dan dilecehkan membuat ia dendam dan garang. Maka, tokoh Penguin dan Catwoman di dunia Tim Burton bukan lagi penjahat yang menjengkelkan. Mereka adalah orang yang merasa tersingkir dan terpaksa memiliki dua dunia. Penguin, yang nama aslinya adalah Oswald Cobblepot, hidup di selokan dan membutuhkan pengakuan di Kota Gotham, sedangkan Selina Kyle menjadi Kucing Wanita yang galak, seksi, dan aduhai ketika malam tiba. Dualisme kehidupan Batman dan Catwoman menjadi menarik karena pada siang hari Bruce Wayne dan Selina Kyle menjadi manusia "beradab" yang saling mencintai dan pada malam hari menjadi dua binatang yang saling membenci. Daya tarik kedua "binatang" ini adalah karena mereka memiliki dua kepribadian dan keduanya mempunyai musuh yang sama, yakni konglomerat Max Schreck. Keduanya ingin mencegah ambisi Schreck membangun pusat listrik tenaga nuklir. Adalah keberhasilan Burton membawa persoalan kontemporer ke dalam dongeng yang usianya sudah puluhan tahun ini. Walken, yang memerankan tokoh Schreck yang rakus harta itu, berhasil melengkapi pameran akting yang cemerlang bersama Michelle Pfeiffer, Danny DeVito, dan Michael Keaton. Selain merombak stereotip karakter serial Batman, Burton juga memutarbalikkan stereotip visualisasi film. Dalam Batman Returns, warna putih menjadi lambang kejahatan dan warna hitam adalah lambang kebaikan. Batman yang berjubah kulit hitam melambangkan kebaikan, meski ia bukan seorang malaikat. Dan Max Schreck yang berambut putih atau Penguin adalah lambang keganasan dan kebuasan. "Saya benci dengan penilaian yang hanya dari permukaan. Saya ingin mengajak penonton menggali semua persoalan hingga ke dasar," kata Burton. Ke mana Robin, si anak ajaib yang biasa berteriak-teriak ketika Batman ditonjok lawan? "Saya tak pernah mengagumi tokoh itu," kata Burton. Itulah sebabnya penonton tak akan menjumpai Robin dalam kedua film Batman versi Burton. Batman berjuang hanya dengan bantuan teknis pembantu setianya, Alfred (Michael Gough). Penataan artistik Kota Gotham yang kelam dan mengerikan, serta make-up Danny DeVito yang menjadi Penguin yang gemar mengunyah ikan mentah dan darah itu, luar biasa. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus