T. Mulya Lubis dalam kolomnya ( TEMPO, 18 Juli 1992) mengemukakan bahwa sejak pembuatan UUD 1945 sudah terjadi prokontra tentang hak uji UU antara Muhammad Yamin dan Soepomo. Menurut Soepomo, tak pantas di negara kekeluargaan, salah satu organ pemerintah menguji organ pemerintah lain, karena mereka sederajat. Hak uji hanya bisa hidup di negara liberal yang menganut teori separation of power. Saya termasuk orang yang tak setuju dengan adanya hak uji materiil UU oleh Mahkamah Agung, tapi sangat setuju dengan hak uji materiil terhadap semua peraturan di bawah UU tanpa melalui perkara kasasi. Alasannya? Menurut Prof. Padmo Wahyono, S.H. (almarhum), Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI, UUD 1945 menganut sistem supremasi MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Sistem pemerintahan kita bukanlah sistem presidentil seperti di Amerika, atau sistem parlementer seperti di Inggris. Di negara liberal tersebut tidak ada lagi lembaga ketatanegaraan yang lebih tinggi dari presiden, DPR, dan MA, yang mempunyai wewenang konstitusional sangat kuat terhadap pemerintah seperti yang dimiliki MPR kita (bila kenyataan lain, bukan salah UUD 1945). Persoalannya, bila ada UU yang isinya bertentangan dengan UUD atau merugikan rakyat, bagaimana menyelesaikannya? Kita kembali kepada sistem konstitusi negara kita. Menurut UUD 1945, presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Artinya, wewenang utama membuat UU ada pada presiden, sedangkan proses legislasi UU tersebut harus dengan persetujuan DPR. Bila ada kesalahan dalam pembuatan UU, atau isinya merugikan rakyat dan bertentangan dengan UUD, maka tanggung jawab utama ada di pundak presiden dan DPR yang dulu memberikan persetujuannya. MPR, sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang kedaulatan rakyat menurut UUD 1945, seharusnya mengoreksi kesalahan presiden dan DPR, agar UU tersebut ditinjau, diperbaiki, atau dicabut. Bahkan bila fatal kesalahannya, presiden sebagai mandataris MPR dapat diminta pertanggung jawabannya melalui sidang MPR, dan dapat berakibat presiden diberhentikan. Sidang MPR melalui ketetapannya bisa memerintahkan presiden dan DPR untuk memperbaiki atau mencabut kembali UU yang salah tersebut. Sebenarnya, secara prefentif, MPR sudah mengeluarkan ketetapan untuk mencegah kesalahan tersebut. TAP MPR No. III/MPR/1978 sudah memberi hak kepada Mahkamah Agung untuk memberikan pendapat hukum (legal opinion) kepada lembaga tinggi lainnya, baik diminta maupun tidak. Menurut saya, semestinya MA berkewajiban menjalankan hak tersebut pada saat proses pembahasan RUU. Bila ilegal opinionr MA tak digubris presiden dan DPR, itu berarti "melawan" TAP MPR. Jika keadaan sedemikian parah, MPR dapat mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggung jawaban presiden. Bagaimana dengan DPR yang ikut andil menyetujui kesalahan? Dalam hal ini, UUD 1945 memang tidak memberikan jalan keluar. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi MPR mendatang untuk menciptakan ketetapan-ketetapan yang mendukung keandalan sistem ketatanegaraan agar bisa memecahkan persoalan-persoalan ketatanegaraan yang tetap bertolak pada kewenangan MPR yang ada pada UUD 1945. Untuk menjamin hak-hak rakyat dan mencegah penyimpangan-penyimpangan terhadap UU yang telah disetujui DPR, maka MPR mendatang perlu menghilangkan syarat melalui perkara kasasi, yang selama ini mengebiri hak uji materiil MA terhadap peraturan pemerintah atau peraturan lainnya di bawah UU. Dengan hilangnya hak tersebut, maka MA dapat berfungsi sebagai "tangan" MPR, yang untuk setiap saat dapat mengontrol pemerintah dalam mengeluarkan peraturan pemerintah, Keppres, SK Menteri, dan sebagainya. Bila MA menilai peraturan-peraturan tersebut di atas bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka MA berhak mencabutnya. TITUS RIMO, S.H. Alumni FH UI Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini