Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senin pekan lalu, Prof Dr Raden Panji Soejono dipanggil menghadap Sang Khalik. Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Lahir di Mojokerto, Jawa Timur, pada 27 November 1926, ia menghabiskan lebih dari 50 tahun hidupnya untuk mengembangkan arkeologi Indonesia. Meskipun telah purnatugas sebagai Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1987, ia tetap setia bertandang dan bekerja di lembaga yang ia dirikan itu hingga hari-hari akhirnya.
Pak Yono, begitu ia disapa, memang sosok yang superlangka. Pilihan hidupnya sebagai ahli arkeologi prasejarah menempatkannya sebagai orang Indonesia pertama di bidang ini. Di antara ratusan prasejarawan Indonesia, hanya beliau yang berhak disebut pejuang kemerdekaan, pejuang pendidikan, dan pejuang ilmu sekaligus. Tidak mengherankan bila para arkeolog sebayanya selalu berpesan agar prasejarawan langka ini dijaga baik-baik, karena sulit menemukan orang seperti dia.
Sebagai putra Raden Panji Soeroso, bangsawan aktivis pergerakan nasional, Soejono remaja mewarisi jiwa pejuang keluarganya. Sejak di sekolah menengah pertama ia giat dalam kepanduan, Ikatan Pelajar Indonesia, dan menjadi anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar untuk menentang penjajah Belanda dan Jepang. Bergerilya dan masuk bui telah menjadi bagian hidup yang membentuk pribadinya yang disiplin, tegas, gigih, jujur, dan sederhana, dengan rasa kebangsaan tinggi.
Pak Yono memang digariskan jadi peretas jalan kemajuan prasejarah di negeri ini. Belum selesai kuliah, ia sudah menjadi kurator prasejarah di Museum Nasional. Ia beruntung dapat dibimbing dan mewarisi ilmu langsung dari pakar prasejarah ternama H.R. van Heekeren. Setelah jadi sarjana arkeologi (1959), ia langsung mendapat kesempatan penelitian intensif. Ia menerapkan ekskavasi kosmetik, teknik penggalian yang teratur rapi dan cermat. Tak urung, Heekeren sendiri harus mengakui, dunia prasejarah di Indonesia tumbuh pesat di bawah Soejono.
Sejak menjabat di Lembaga Purbakala (1960), ia ikut mengembangkan Jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia, Universita Gadjah Mada, dan Universitas Udayana. Ia pula yang menjadi pemrakarsa dan pendiri Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (1977). Setahun setelah meraih gelar doktor (1977), ia merintis berdirinya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan program yang jelas dan terarah.
Melalui lembaga ini, peran arkeologi Indonesia di kancah dunia semakin diakui. Pak Yono melanglang buana menyebarkan informasi tentang prasejarah Indonesia. Arkeologi Indonesia makin dikenal, dan identik dengan Soejono. Itu setidaknya yang dikenang oleh Jesus T. Peralta, arkeolog senior Filipina. ”Somehow, I equate Indonesian prehistory and archaeology with Soejono…,” tulisnya pada suatu kesempatan.
Pak Yono terus merajut jejaring dunia. Berbagai organisasi dunia dimasukinya, posisi penting pun dijabatnya. Misalnya Chairperson of the SPAFA Governing Board (1989-1992), President of the Indo-Pacific Prehistory Association (1992-1994), Executive Committee Members of Union Internationale des Sciences Prehistoriques et Protohistoriques (1996-2005), dan President of the Association of Southeast Asian Prehistorians (1999).
Dunia pun mengakui kiprah Pak Yono. Wali Kota Niece (Prancis) memberikan penghargaan untuk jasanya mengembangkan arkeologi lapangan (1976) dan Singer-Polinac Foundation untuk penelitian arkeologi di Asia Tenggara (1998). Menteri Kebudayaan Prancis menganugerahkan The Chevalier de l’Ordre des Arts et Lettres.
Semburat karisma Pak Yono hingga kini masih terasa. Setiap kali saya hadir di forum internasional dan memperkenalkan diri dari Indonesia, reaksi spontan yang muncul adalah ”How is Soejono?”.
Warisan Pak Yono cukup banyak. Namun yang sangat penting adalah warisan prinsip kemandirian arkeologi Indonesia. Ia wanti-wanti, dalam menggarap sumber daya arkeologi di Indonesia, jangan sampai kita diperalat oleh orang asing karena mereka banyak uang. Bekerja sama tentu saja baik, tapi peneliti Indonesia harus tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Arkeologi Indonesia harus bekerja demi menjunjung tinggi bangsa dan negara.
Pak Yono, kami akan mengingat dan menjalankan pesan itu. Menjaga warisan budaya, menjunjung harkat bangsa.
Daud Aris Tanudirjo (Pengajar Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo