DI Pasar Seni Ancol Jakarta 13 Juli -- H. Budiardjo (yang
barusan mengakhiri jabatannya sebagai Dubes RI di Spanyol)
memberi ceramah tentang wayang. Dalam tanyajawab ditandaskan
bahwa wayang akan dapat bertahan. Dengan catatan identitasnya
mungkin tidak lagi seperti yang sudah-sudah. Penterjemahan ke
bahasa Indonesia, misalnya, merupakan salahsatu bentuk perobahan
identitas itu.
Bisakah wayang (baik Jawa, Sunda, Bali, Lombok, Kalimantan,
misalnya) tetap hidup menghadapi perkembangan sosial Ketakutan
orang akan kehilangan, seperti juga tercetus malam itu,
sebenarnya terutama menyangkut pertunjukan wayangnya sendiri --
akibat berkembangnya rekaman kaset wayang plus "ketidakacuhan"
generasi muda terhadap wayang. Munculnya dalang-dalang muda
misalnya praktis tak terdengar.
Tapi keyakinan Budiardjo ada dasarnya juga. Awal 70-an, ketika
ia masih menjabat Menpen, departemennya pernah mengadakan
"sensus" dalang. Hasilnya: diseluruh Indonesia ada 40 ribu
dalang. Cuma yang memang profesional hanya berjumlah 50 orang.
Menurut pengamatannya pula, pertunjukan wayang di Jakarta
sebenarnya dihadiri anak-anak muda juga. Dia sebut pertunjukan
di TIM, di Museum Wayang, di RRI Jakarta, juga di Senayan kalau
kebetulan ada. Juga ditunjuknya komik-komik wayang -- komik
Mahabbarata dan Ramayana oleh RA Kosasih misalnya, yang
akhir-akhir ini diterbitkan kembali -- yang secara langsung
membina penggemar wayang. Sedang kaset rekaman wayang, "meski
beberapa orang menganggap itu merugikan dalang," kata Budiardjo,
"tapi secara langsung mempopulerkan wayang ke segenap penjuru
tanah air."
Pendapat tersebut dibenarkan antara lain oleh SD Humardani
Direktur ASKI (Akademi Seni Karawitan) Surakarta yang mempunyai
Jurusan Seni Pedalangan, di samping Bambang Gunardjo -- yang
bulan Maret kemarin mewakili Indonesia dalam Konperensi Wayang &
Boneka Asia di London. Kata Humardani, sehabis mengikuti sidang
Komisi Pembaharuan Pendidikan di Jakarta: "Hanya dalang yang
egois saja yang merasa dirugikan oleh kaset wayang. Pertunjukan
wayang 'kan tak bisa tersebar seperti kaset. Dan kalau itu
dipandang merugikan, jangan lupa tentu masih banyak orang yang
tak puas hanya dengan mendengarkan kaset."
Soal tak munculnya dalang muda, barangkali hanya soal waktu. Toh
sekolah karawitan yang mempunyai jurusan seni pedalangan ada di
Solo, Bandung, Purwokerto, Surabaya, Denpasar. Kalau belum ada
yang muncul sebagai dalang profesional, karena "mereka masih
dibutuhkan tenaganya di sekolahnya untuk mengajar," katanya.
Tapi, dengan kaset, komik atau tulisan di media massa, memang
pantas diragukan bertahannya mutu. "Coba. Kebanyakan kaset
wayang lebih banyak dagelannya daripada kisah pewayangannya,"
kata seorang hadirin di Pasar Seni Ancol. Memang tak dibantah.
"Tapi apakah pertunjukan langsung wayang kulit, misalnya, juga
bisa mempertahankan mutu klasiknya?" tanya Bambang Gunardjo.
Lalu ditunjukkannya di Taman Mini pernah Nartosabdo diminta
memberi pergelaran wayang klasik. Baru beberapa adegan, penonton
sudah terriak-teriak minta seperti kalau Pak Narto biasanya
mendalang yang ger-geran, begitu.
Jadi yang dikhawatirkan sebenarnya soal mutu dan selera -- bukan
soal kekurangan jumlah peminat. Yang jelas, mempertahankan
bentuk pertunjukan wayang seperti dulu -- "klasik" -- memang
agak sulit, dan mungkin kurang wajar sekarang. Seorang pencinta
wayang lainnya, Haryono Guritno, pernah mengatakan: "Identitas
wayang sudah berubah berkali-kali. Zaman Demak, zaman Jayabaya,
zaman Sunan Kalijaga, lalu zaman Mataram mengembangkan wayang
sendiri-sendiri dan diterima masyarakat."
Komunitas
Karena itu Budiardjo dengan yakin menganggap: bahwa Indonesia
merupakan sarana yang baik untuk mempertahankan wayang dalam
situasi yang berobah. Ini juga bukan soal baru, memang -- sudah
sejak tahun 50-an pengindonesiaan pergelaran wayang
didengungkan. Tapi usaha nyata kurang sekali -- sehingga
hasilnya kurang bisa dinilai, seperti dikatakan seorang pencinta
wayang.
Meski begitu Sunardi DM, Pemimpin Redaksi Berita Yudha, yang
secara serial menulis cerita wayang (dengan bahasa Indonesia,
tentu dalam surat kabarnya, menuturkan malam itu: "Ternyata ada
tanggapan terhadap kisah wayang di Berita Yuda -- datangnya
dari Aceh, Ambon atau Banjarmasin. Mereka menulis surat, katanya
sekarang sudah bisa mengikuti cerita wayang." Dan jangan lupa:
Sindhunata juga menulis cerita wayang di Kompas. Dulu wayang
memang menjadi bagian dari satu komunitas masyarakat yang utuh.
Orang hadir dalam pertunjukan wayang tidak semata karena hendak
menonton wayang, tapi juga karena hendak menyatakan bahwa dia
pun bagian dari kesatuan itu. Mungkin segi itu memang akan
menghilang juga pelan-pelan. Tapi wayang sebagai salahsatu
bentuk teater, dengan identitas yang baru, belum tentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini