Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wayang, dengan baju baru

Kini, pertunjukan wayang kulit klasik jarang dilakukan. bahkan ada upaya pemakaian bahasa indonesia, peredaran komik dan kaset. bentuk pertunjukan wayang seperti dulu sulit dipertahankan. (ter)

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pasar Seni Ancol Jakarta 13 Juli -- H. Budiardjo (yang barusan mengakhiri jabatannya sebagai Dubes RI di Spanyol) memberi ceramah tentang wayang. Dalam tanyajawab ditandaskan bahwa wayang akan dapat bertahan. Dengan catatan identitasnya mungkin tidak lagi seperti yang sudah-sudah. Penterjemahan ke bahasa Indonesia, misalnya, merupakan salahsatu bentuk perobahan identitas itu. Bisakah wayang (baik Jawa, Sunda, Bali, Lombok, Kalimantan, misalnya) tetap hidup menghadapi perkembangan sosial Ketakutan orang akan kehilangan, seperti juga tercetus malam itu, sebenarnya terutama menyangkut pertunjukan wayangnya sendiri -- akibat berkembangnya rekaman kaset wayang plus "ketidakacuhan" generasi muda terhadap wayang. Munculnya dalang-dalang muda misalnya praktis tak terdengar. Tapi keyakinan Budiardjo ada dasarnya juga. Awal 70-an, ketika ia masih menjabat Menpen, departemennya pernah mengadakan "sensus" dalang. Hasilnya: diseluruh Indonesia ada 40 ribu dalang. Cuma yang memang profesional hanya berjumlah 50 orang. Menurut pengamatannya pula, pertunjukan wayang di Jakarta sebenarnya dihadiri anak-anak muda juga. Dia sebut pertunjukan di TIM, di Museum Wayang, di RRI Jakarta, juga di Senayan kalau kebetulan ada. Juga ditunjuknya komik-komik wayang -- komik Mahabbarata dan Ramayana oleh RA Kosasih misalnya, yang akhir-akhir ini diterbitkan kembali -- yang secara langsung membina penggemar wayang. Sedang kaset rekaman wayang, "meski beberapa orang menganggap itu merugikan dalang," kata Budiardjo, "tapi secara langsung mempopulerkan wayang ke segenap penjuru tanah air." Pendapat tersebut dibenarkan antara lain oleh SD Humardani Direktur ASKI (Akademi Seni Karawitan) Surakarta yang mempunyai Jurusan Seni Pedalangan, di samping Bambang Gunardjo -- yang bulan Maret kemarin mewakili Indonesia dalam Konperensi Wayang & Boneka Asia di London. Kata Humardani, sehabis mengikuti sidang Komisi Pembaharuan Pendidikan di Jakarta: "Hanya dalang yang egois saja yang merasa dirugikan oleh kaset wayang. Pertunjukan wayang 'kan tak bisa tersebar seperti kaset. Dan kalau itu dipandang merugikan, jangan lupa tentu masih banyak orang yang tak puas hanya dengan mendengarkan kaset." Soal tak munculnya dalang muda, barangkali hanya soal waktu. Toh sekolah karawitan yang mempunyai jurusan seni pedalangan ada di Solo, Bandung, Purwokerto, Surabaya, Denpasar. Kalau belum ada yang muncul sebagai dalang profesional, karena "mereka masih dibutuhkan tenaganya di sekolahnya untuk mengajar," katanya. Tapi, dengan kaset, komik atau tulisan di media massa, memang pantas diragukan bertahannya mutu. "Coba. Kebanyakan kaset wayang lebih banyak dagelannya daripada kisah pewayangannya," kata seorang hadirin di Pasar Seni Ancol. Memang tak dibantah. "Tapi apakah pertunjukan langsung wayang kulit, misalnya, juga bisa mempertahankan mutu klasiknya?" tanya Bambang Gunardjo. Lalu ditunjukkannya di Taman Mini pernah Nartosabdo diminta memberi pergelaran wayang klasik. Baru beberapa adegan, penonton sudah terriak-teriak minta seperti kalau Pak Narto biasanya mendalang yang ger-geran, begitu. Jadi yang dikhawatirkan sebenarnya soal mutu dan selera -- bukan soal kekurangan jumlah peminat. Yang jelas, mempertahankan bentuk pertunjukan wayang seperti dulu -- "klasik" -- memang agak sulit, dan mungkin kurang wajar sekarang. Seorang pencinta wayang lainnya, Haryono Guritno, pernah mengatakan: "Identitas wayang sudah berubah berkali-kali. Zaman Demak, zaman Jayabaya, zaman Sunan Kalijaga, lalu zaman Mataram mengembangkan wayang sendiri-sendiri dan diterima masyarakat." Komunitas Karena itu Budiardjo dengan yakin menganggap: bahwa Indonesia merupakan sarana yang baik untuk mempertahankan wayang dalam situasi yang berobah. Ini juga bukan soal baru, memang -- sudah sejak tahun 50-an pengindonesiaan pergelaran wayang didengungkan. Tapi usaha nyata kurang sekali -- sehingga hasilnya kurang bisa dinilai, seperti dikatakan seorang pencinta wayang. Meski begitu Sunardi DM, Pemimpin Redaksi Berita Yudha, yang secara serial menulis cerita wayang (dengan bahasa Indonesia, tentu dalam surat kabarnya, menuturkan malam itu: "Ternyata ada tanggapan terhadap kisah wayang di Berita Yuda -- datangnya dari Aceh, Ambon atau Banjarmasin. Mereka menulis surat, katanya sekarang sudah bisa mengikuti cerita wayang." Dan jangan lupa: Sindhunata juga menulis cerita wayang di Kompas. Dulu wayang memang menjadi bagian dari satu komunitas masyarakat yang utuh. Orang hadir dalam pertunjukan wayang tidak semata karena hendak menonton wayang, tapi juga karena hendak menyatakan bahwa dia pun bagian dari kesatuan itu. Mungkin segi itu memang akan menghilang juga pelan-pelan. Tapi wayang sebagai salahsatu bentuk teater, dengan identitas yang baru, belum tentu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus