IBU Nun, 38 tahun, tinggal di Jalan Olo Ladang, Padang. Ia punya
anak 5. Sejak beberapa hari ini ia merobah makan siang
keluarganya dari nasi menjadi ubi jalar. Suaminya memang masih
kuat dan setiap hari hilir mudik menjalankan oplet. Tapi
rata-rata penghasilan suami saya cuma Rp 1.100 sehari," katanya.
Sementara itu, harga beras kwalitas sedang minggu lalu sudah
naik dari Rp 180 jadi Rp 205 sekilo. Bayam dan kangkung naik 2
kali lipat. Maka Ibu Nun yang hiaya hidupnya rata-rata tiap hari
Rp 2.000 -- termasuk bayar sewa rumah -- tak ada jalan lain
selain mengganti makan siangnya dari nasi jadi ubi.
Tapi yang mengeluh bukan cuma Ibu Nun di Padang. Di Jakarta,
harga beras jenis Cianjur Kepala, yang awal Mei masih Rp 230
akhir minggu lalu sudah mencapai Rp 300 per kilo. "Saigon
Bandung 1" dari Rp 175 jadi Rp 205 per kg, dalam waktu yang
sama. Atau naik sekitar 17% - sampai 30% lebih.
"Wah, saya sekarang tidak sanggup lagi membeli beras Saigon,"
ucap Nenet Sayuti yang tinggal di Mampang Prapatan.
Sebagai penggantinya Nenet, ibu dari 8 anak ini membeli beras
yang harganya lebih murah ex Dolog yang minggu-minggu belakangan
rajin mendrop berasnya ke pasar-pasar di Jakarta. Nenet, yang
suaminya jadi supir taxi, tak menghiraukan lagi jenis beras yang
dibelinya. Pokoknya makan.
Nun dan Nenet adalah contoh golongan masyarakat, yang
berpendapatan tetap dan rendah yang kini ketabrak harga bahan
pokok yang menaik. Salon Tampubolon, pedagang beras di Pasar
Stasiun Bandung mengakui akibat kenalkan harga ini pasar jadi
sepi. "Dulu, tak kurang 20 pembeli datang, kini cuma 7-10 orang
saja," katanya. "Pegawai negeri yang dulunya suka menukar
berasnya dengan beras lebih baik, kini tak seorang pun yang
datang menukar berasnya."
Di Medan, beras mutu rendah, di bawah IR-I, pada bulan lalu
masih Rp 180 per kilo pekan lalu mencapai Rp 200. Telor ayam
negeri yang tadinya Rp 700 kini Rp 900 perkilo. Tapi yang
mengalami kenaikan menyolok adalah cabe. Harga cabe merah yang
bulan Juni Rp 750 per kilo pekan lalu melonjak menjadi Rp 1.500.
Bahan sandang rupanya tak mau ketinggalan dari beras maupun lauk
pauk. Tekstil, diukur sejak Mei sampai pekall lalu, mengalami
kenaikan harga antara Rp 100 - Rp 150 per meter.
Mengapa naik? "Pembelian dari Pintu Kecil sudah naik," kata Amir
pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang -- pusat perdagangan
tekstil di Indonesia dewasa ini.
Dalam dua minggu belakangan ini, kain tetoron cap Ikan Duyung
yang semula Rp 400 per yard kini jadi Rp 500. Kain celana
Famatex yang di bulan Juni lalu berharga Rp 850 per yard
sekarang Rp 1.100. Menurut para pedagang kenaikan harga tekstil
akibat pengaruh dari kenaikan beras dan kebutuhan Lebaran
mendatang.
Sementara itu penyesuaian harga bahan-bahan lain terus
berlangsung. Kacang tanah yang dulunya Rp 650 kini menjelang
puasa sudah berobah menjadi Rp 700 sekilo. "Menjelang Lebaran
nanti, bisa sampai Rp 1.000." ucap Sigau pedagang di proyek
Pasar Senen.
Gejala seperti itu tentu merisaukan pemerintah juga. Untuk
melancarkan arus barang kebutuhan pokok, Menteri Perdagangan
dan Koperasi Radius Prawiro menjanjikan akan meningkatkan
suplainya. Tim antar-departemen pun dibentuk pertengahan Juli
lalu. Radius menjamin barang-barang kebutuhan pokok cukup dan
tidak akan mengalami kenaikan. "Sehingga menjelang puasa dan
Hari Raya Idulfitri masyarakat bisa tenang dan menjalankan
ibadahnya dengan baik," katanya.
Meski demikian, ketika laporan ini diturunkan dua hari sebelum
puasa, harga kebutuhan pokok masih belum pasti. Tak terkecuali
beras kwalitas baik.
Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selaran, misalnya, harga beras
kwalitas enak jenis Karangdukuh dan Lemo. yang pertengahan Juni
masih Rp 205 seliter, minggu kedua Juli mencapai antara Rp 260 -
Rp 270 per liter. Atau naik sekitar 26% - 31%. Dan H. Basran,
saudagar beras yang terbilang kaliber besar di sana yakin
"Harga beras itu tak akan turun seusai Lebaran nanti."
Padahal menurut ir Mulyono Ka Dolog Kal-Sel, untuk menjaga
kemungkinan kekurangan beras pada bulan puasa "Bulog sudah
mendrop 2.500 ton beras." Harga beras yang didrop itu cukup
murah Rp 170 (semula berharga Rp 175 sekilo). Tapi kenapa tidak
turun?
Pihak pedagang dan sejumlah warga kota menuding sumber kenaikan
itu pada 5 buah pabrik penggilingan padi yang terbakar medio
Juni lalu. Di samping menghanguskan 5 pabrik, juga ratusan ton
gabah dan beras ikut terbakar. Termasuk puluhan ton beras Dolog.
Yang menarik adalah dugaan kalangan DPRD yang memperkirakan
kenaikan itu disebabkan karena "selera tinggi." Dan yang naik
menyolok memang beras jenis kwalitas enak yang hanya mampu
dibeli oleh orang punya "selera tinggi" itu. Ini diperkuat oleh
Ny. Ch. Barlian Sutandy dari PT Balian Tjarme yang dua pabrik
penggilingan padinya turut terbakar di Muara Kelayan,
Banjarmasin. "Selama ini kami memang memproses padi jenis lokal
yang elite itu," katanya Karena terbakar itu, persediaannya
menjadi langka dan harga pun naik.
Di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta pun yang melangit ini
juga beras kelas elite seperti Cianjur, Saigon, dan Rojolele.
Tapi karena Dolog Jaya mendrop beras Korea Slyp yang sekelas
Saigon dengan harga Rp 165, harga Saigon lokal pun jadi turun
dari Rp 185 menjadi Rp 180 per kilo.
Jelas nampaknya, berhasil tidaknya harga-harga itu direm
tergantung pada Bulog sebagai pemegang stok dan stabilisator
harga. Untuk Jakarta tampaknya para ibu rumah tangga boleh
sedikit gembira. Beras jenis kwalitas rendah 21 Juli memang
turun harga rata-rata Rp 10 per kilo. Sementara untuk jenis
sedang turun antara Rp 2,5 sampai Rp 5. "Ini disebabkan droping
Bulog lan stok cukup," kata Sri Murwani dari bagian usaha dan
perkembangan harga Pasar Induk Cipinang.
Juga di Surabaya para ibu rumah rlngga pertengahan Juli mulai
agak lega lagi. Beberapa kebutuhan pokok kembali normal. Sabun
mandi, minyak goreng, kacang hijau, susu, gula misalnya setelah
selama bulan Juni naik 10 sampai 15%, kini kembali ke harga awal
Mei. Bahkan sayur mayur, termasuk bawang, kacang panjang, tomat
turun tajam. Meskipun begitu, beras jenis Pelita dari Rp 176
masih melonjak ke Rp 190 per kilo dan IR dari Rp 166 menjadi Rp
171,5 sekilo.
Koesdiman, Sekretaris Dolog Ja-Tim, menilai kenaikan harga itu
belum melampaui harga langit-langit yang ditetapkan pemerintah.
"Karenanya saat ini kami belum mendrop beras ke pasar," katanya.
Tapi bulan Agustus depan, Dolog Ja-Tim ada merencanakan operasi
pasar sebanyak 2.500 ton, September 5.000 dan Oktober yang akan
datang sebanyak 10.000 ton.
Cerita harga yang naik-turun itu dengan sendirinya menimbulkan
banyak pertanyaan. Apa yang terjadi? "Kenaikan sekarang ini
tidak terlepas dari hukum penawaran dan permintaan," kata Dirjen
Tanaman Pangan, ir Wardoyo, pekan lalu.
Orang pertama yang mengurus taaman pangan ini dengan cepat
menambahkan itu semua ada kaitannya: "Akibat Kenop-15, kenaikan
BBM dan kenaikan barang-barang lainnya telah menarik harga
beras."
Dan karena kenaikan macam-macam itu pemerintah menaikkan harga
dasar pembelian gabah dan beras, yang berlaku mulai 2 Mei lalu.
Gabah Kering Giling (GKG) yang semula Rp 85 dinaikkan menjadi Rp
95 per kg. Beras dari Rp 140 menjadi Rp 158.
Kenaikan harga gabah dan beras itu menurut Wardoyo dimaksudkan
pemerintah untuk menggairahkan petani berproduksi, tanpa terlalu
memberatkan konsumen secara keseluruhan -- baik kaum buruh tani
maupun yang hidup di kota-kota. "Kenaikan Harga Dasar itu jelas
menguntungkan petani," kata Wardoyo.
Tapi menguntungkan petani atau tidak, itu masih jadi perdebatan.
"Dalam angka nya, tapi jika dibandingkan dengan kebutuhan
sehari-hari kami rugi," kata Marbun, petani di desa Ladang
Tengah dekat Sibolga. Alasannya, antara lain: "Harga sebuah
cangkul yang dulu Rp 1.700 kini Rp3.500."
Kondra, petani dari Sanur, Denpasar, Bali juga geleng kepala
ketika ditanyakan apakah ia untung karena kenaikan harga Dasar
gabah dan beras sekarang ini. Katanya: "Meskipun harga beras
naik, tapi harga-harga lain juga naik."
Dulu, misalnya, di bulan April Kondra bisa menjual berasnya
dengan harga Rp 175 per kilo. Harga sayur kol waktu itu cuma Rp
75. Berasnya yang ia jual ke pasar kini seharga Rp 200. Tapi kol
naik menjadi Rp 175.
Rain, seorang buruh tani di Karawang, Jawa Barat berpendapat
agak lain. Kenaikan beras sekarang ini memang menguntungkan
petani kaya, pemilik tanah, katanya. "Tapi upah buruh tani mah
tetap, tidak bertambah."
Dia pun mencoba mendatangi juragan tanah supaya upah menggarap
tanah sawah diganti dengan beras dengan harga sebelum beras
naik. Tapi permintaan Rain kontan ditolak. "Buat buruh tani,
kenaikan itu jelas merupakan pukulan," tukas Kepala Humas
Kabupaten Karawang, Adang Bachtiar.
"Kami, orang tani tak mengerti kenaikan harga beras itu bisa
membantu petani," ujar Suyono, dari desa Tegalarum, Magetan. Ia
punya sawah cuma 0,5 hektar. Hasilnya cuma cukup untuk seluruh
keluarganya yang beranggota 5 orang.
Keluhan petani ini dibenarkan oleh Dr. Dibyo Prabowo, ahli
ekonomi pertanian Universitas Gajah Mada. Menurut ekonom ini
kenyataan menunjukkan bahwa semua harga barang naik. "Saya
khawatir petani tidak mau menjual berasnya kepada KUD. Keadaan
sekarang ini sama seperti tahun 1971-1972 tempo hari," katanya.
Barangkali ia terlalu pagi meramal. Tapi di Jawa Timur misalnya,
biarpun panen gadu ini tampak berhasil karena kemarau yang
basah, para petani dalam situasi sekarang nampak lebih suka
menyimpan padinya daripada menjualnya. "Saya tak mau jual padi
sekarang, takut panen yang akan datang gagal," kata M. Takim,
petani di desa Tegalarum, Magetan. Panen lalu Takim memang gagal
sama sekali. Tanahnya yang 1 ha tidak membawa hasil apa-apa. Ia
kini cemas musim gadu sekarang ia hanya bisa membawa pulang padi
sekitar 4 ton.
Memandang ke hari mendatang dengan sedikit suram mungkin bukan
khas seorang Takim. Walaupun kecemasannya tak bisa diterapkan
secara umum, tapi warna cerah keadaan pangan Indonesia memang
masih jauh. Menurunnya produksi tahun ini sudah jadi ramalan
umum. Sudardji, Ketua Komisi VII DPR, misalnya mengatakan kalau
produksi tahun ini bisa naik 4% saja itu sudah bagus.
Tak berarti jalan sudah buntu sama sekali. Salah satu usaha
pemerintah meningkatkan produksi pangan ini adalah meningkatkan
areal tanaman, misalnya dengan mengundang investor menanamkan
modalnya di sektor perkebunan tanaman pangan (food estate) di
luar Jawa. Ruang geraknya lebih luas daripada perkebunan padi
(rice estate) yang pernah dicanangkan dulu. Juga food estate
ini, kata Dirjen Tanaman Pangan, Wardoyo, mengarah pada
diversifikasi menu. Di sana bisa dipakai irigasi maupun
non-irigasi, sehingga tanah bisa ditanami padi sawah atau gogo
serta palawija. Sayangnya, "sampai sekarang respons hak pemilik
modal masih kurang," kata Wardoyo.
Departemen Pertanian sendiri bertekad membuka perkebunan pangan
ini di Riau. Untuk ini PTP V Sumatera Utara telah melakukan
survainya di Pasir Pengarayan (Riau Daratan) dengan bekerja
sama dengan Universitas Sumatera Utara Medan. Luas areal
meliputi 15.000 hektar.
Jalan ini masih perlu bukti lebih jauh. Tapi cerita beras selama
ini -- yang tak selamanya baru -- nampaknya bakal tak
putus-putusnya sebelum orang Indonesia bebas tergantung dari
nasi. Suatu hal yang agaknya lebih mudah ketimhang bebasnya
negeri industri dari ikatan minyak bumi.
Bangsa lain bisa mengganti menu, kenapa bangsa kita tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini