KECAMATAN Jorong terletak 105 Km dari Banjarmasin, masih
terbilang wilayah Kabupaten Tanah Laut. Secara tradisionil
sekitar 80% penduduknya hidup dengan menebang dan menjual kayu.
Terutama kayu ulin alias kayu besi. Sisanya berladang. Tak heran
jika sebagian areal kecamatan ini dengan cepat menjadi gundul,
penuh lalang dan savana.
Akhirnya hanya tinggal 5 desa lagi yang masih menyimpan kayu
yang dapat ditebangi. Yaitu desa-desa Jorong Asam-Asam, Kintap,
Riam Adungan dan Sungai Cuka. Dan ternyata sejak beberapa tahun
belakangan ini, HPEI areal hutan di kawasan 5 desa itu telah
dikuasai PT Hutan Kintap, usaha patungan Inhutani dengan
perusahaan Korea Kodeco.
Sejak Pemda Kalimantan Selatan mengeluarkan Peraturan Daerah
(Perda) nomor 8 tahun 1974 semua penebangan kayu secara
tradisionil itu dinyatakan liar dan terlarang. Namun apa boleh
buat. Karena hidup sebagai penebang kayu sudah mereka warisi
dari nenek moyang, Perda itu tak dihiraukan. Lebih-lebih lagi
karena pasaran kayu ulin tetap laris karena sifatnya yang awet,
tahan panas dan tahan hujan. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan
mereka mengeram dalam hutan menebangi kayu demi kayu.
Kampung-kampung sepi. Sehingga tak heran jika para lintah darat
makin gemuk dengan mensuplai kebutuhall mereka di dalam hutan.
Maka para penebang itupun mulai dijerat ijon.
Lebih dari itu, sawah ladang pun makin sepi dari penggarapan
penduduk. Camat Jorong, Hamdi BA sendiri mengeluh akan hal ini.
Sebab, kata Hamdi, sebagai penebang nasib meIeka taklah mujur.
Lebih-lebih dengan adanya ijon itu tadi. Tapi ajakan Hamdi agar
warganya tak semata-mata menggantungkan periuk dari penebangan
kayu, rupanya tak begitu dihiraukan. "Sebenarnya dengan
mengerjakan sawah mereka akan mendapat penghasilan lebih
lumayan," ucap Hamdi lagi. Di antara 2.000 hektar sawah rancah
yang ada di kecamatan ini hanya sekitar 800 hektar saja yang
diga rap pemiliknya.
13.000 Jiwa
Bahkan Bank Rakyat Indonesia yang dengan susah payah didirikan
di desa Jorong, tampaknya percuma saja. Meskipun dengan BRI ini
semula Hamdi bermaksud agar penduduk mulai tertarik bertani
dengan menyediakan kredit bimas. Maksud camat, warganya boleh
saja sekali-sekali masuk hutan, tapi sawah rancah tetap digarap.
Sebab, tutur Hamdi, jika suatu ketika beras tak dapat masuk ke
sini, orang tak akan bisa makan nasi. Terbukti tahun 1960
penduduk Desa Jorong pernah kelaparan, gara-gara beras tak dapat
diangkut ke sana.
Karena itu hampir semua penduduk Kecamatan Jorong telkejut
ketika akhir Desember lalu pihak kepolisian mengadakan razia dan
menangkap para penebang kayu liar. Sepuluh orang ditahan.
Sekitar 4.000 M3 kayu ulin hasil penebangan liar yang sudah
tertumpuk di dalam hutan disita. Menurut dugaan? razia itu
dilakukan untuk mengamankan HPH PT Hutan Kintap yang kabarnya
awal tahun ini akan mulai melakukan penebangan. Kayu ulin
sendiri sebenarnya tak diekspor. Tapi tak mustahil
penebang-penebang liar dengan rakus juga memotong pohon-pohon
yang masih kecil sehingga dapat merusak kelestarian hutan yang
menjadi tanggung jawab pemilik HPH tadi.
Maka gelisahlah warga Jorong dengan adanya penangkapan
penangkapan tadi. Mudah dimaklumi. Karena ini berarti menyangkut
hampir seluruh hidup penduduk kecamatan yang 13.000 jiwa lebih
itu. Mereka merasa hendak dibunuh secara pelan-pelan akibat
adanya razia tadi. Berpaling ke sawah rancah? Ini tentu makan
waktu sebab sekarang ini saja mereka masih belum bebas dari
hutang ijon.
Akibat lanjutan razia terhadap penebang-penebang liar itu adalah
mulai sepinya wantilan-wantilan penggergajian ulin di
Banjarmasin, Gambut. Ketak Hanyar dan Martapura yang bahan
bakunya sebagian besar berasal dari daerah Jorong. Bahkan
beberapa pengusaha wantilan di Martapura memperkirakan
usaha-usaha penggergajian akan tutup jika ulin dari Jorong
tetapdilarang keluar. Dan sampai minggu kedua bulan ini, pihak
kepolisian masih terus melakukan razia di hutan-hutan sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini