Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sutradara Perempuan di Ajang Oscar

Pesta Oscar kali ini menampilkan satu nama perempuan di deretan sutradara terbaik: Sofia Coppola. Filmnya berjudul Lost in Translation juga dinominasi sebagai film terbaik dan skenario asli terbaik. Setelah 76 tahun, baru kali ini seorang sutradara perempuan dinominasi dan karyanya masuk dalam deretan film terbaik. Mengapa? Bagaimana kesempatan perempuan menyutradarai di Hollywood? Dan apakah karya mereka memiliki visi yang berbeda dengan karya sutradara (lelaki) Hollywood umumnya? Ikuti ulasan TEMPO.

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di pinggiran kota yang kecil, di sebuah rumah yang cantik, seorang ibu berdiri dikelilingi lima putrinya yang jelita. Seorang gadis bertubuh kecil, berambut panjang dan hitam, berhidung tinggi, mendekati mereka. Dia jauh lebih cocok menjadi salah satu dari lima gadis ABG itu. Tapi nyatanya dia adalah Sofia Coppola, sang sutradara yang tengah mengarahkan Katherine Turner yang berperan sebagai seorang ibu yang ketat, kaku, religius, dan superprotektif kepada kelima anak gadisnya. Saat itu, Sofia berusia 28 tahun, dan sepanjang hidupnya ia dikenal sebagai "anak papi" yang memulai debutnya sebagai sutradara dengan film Virgin Suicides, sebuah drama muram tentang lima perempuan bersaudara yang bersama-sama bunuh diri akibat tekanan keluarga.

"Action," seru Sofia.

Sang ayah, sutradara legendaris itu, merasa anak perempuannya terlalu lembut, "Keluarkan suaramu dari perut, Nak, agar semua kru bisa mendengar...."

"Dad..., that's too much...." Sofia menggelengkan kepalanya. Sang bapak dengan takzim menutup mulutnya rapat-rapat. Ini memang karya anaknya, bukan karya dia.

Di layar perak, kita mengenalnya sebagai Mary Corleone, anak gadis Michael Corleone (Al Pacino), generasi kedua Don Corleone dalam film The Godfather III yang disutradarai ayahnya, sutradara legendaris Francis Ford Coppola yang menggegerkan dunia sinema dengan film Apocalypse Now. Sebelumnya, dalam The Godfather II dia tampil sebagai anak bayi yang sedang dibaptis. Dia lahir saat film The Godfather I tengah dalam proses pembuatan. Karena itu, tak berlebihan jika kita menyebut Sofia lahir dari rahim industri sinema. Ayahnya seorang sutradara dan produser legendaris; ibunya seorang pembuat film dokumenter, dan seluruh hidupnya dia besar di lingkungan set shooting di Filipina (untuk film Apocaplypse Now), Oklahoma (untuk film The Outsiders), dan Kota New York (The Cotton Club).

Kemudian dia menikah dengan Spike Jonze, seorang sutradara yang tengah melejit namanya setelah menghasilkan film alternatif Being John Malkovich dan tahun lalu Adaptation. Dengan lingkungan luar biasa seperti itu, justru tak mudah untuk Sofia meletakkan dirinya. Ketika dia muncul dalam film The Godfather III, kritikus habis-habisan mengejek penampilannya. "Dia hanyalah seorang anak yang mengerjakan apa yang diminta ayahnya. Serangan kritikus itu pasti untuk saya," kata ayahnya membela. Maklum, sebelumnya peran Mary memang direncanakan untuk Winona Ryder, yang mendadak membatalkannya karena sakit.

Dengan masuknya film Lost in Translation dalam nominasi film terbaik, serta Sofia Coppola dalam nominasi sutradara terbaik Academy Awards tahun ini, Sofia bukan hanya menunjukkan bahwa dia sudah keluar dari bayang-bayang kebesaran ayahnya, tetapi dia sudah menciptakan rekor baru dalam sejarah perfilman AS: seorang sutradara perempuan yang karyanya masuk dalam nominasi Academy Awards setelah 76 tahun! Selain Sofia, karya Nancy Meyers, Something's Gotta Give, juga menghasilkan nominasi aktris terbaik Diane Keaton.

Mengapa harus menanti begitu lama? Sutradara perempuan di AS—atau di belahan dunia lain—sudah lahir sejak era film bisu. Karya sutradara perempuan akan menjadi penting jika visi "perempuan" melalui tafsir kamera kemudian menonjol, karena itu harus diakui karya sutradara perempuan, baik di AS, Eropa, maupun Asia, tidak identik dengan karya feminisme.

Eropa melahirkan nama Margerethe von Trotta, Doris Dorrie, Agnes Varda, Diane Kurys, Gunnel Lindblom, Marleen Gorris, Larisa Shepiko, Agnieszks Holland. Di Indonesia, kita mengenal nama sutradara perempuan (layar lebar) Sofia W.D., Ida Baron, Mira Lesmana, Nan T. Achnas; di India kita mengenal nama Aparna Sen dan Mira Nair. Di Australia dan Selandia Baru kita sudah mengenal nama Jane Campion dan Gillian Anderson.

Sebelum melahirkan Sofia Coppola, Hollywood sebetulnya telah melahirkan banyak nama sutradara perempuan (baca Mereka yang Telah Merintis di Balik Kamera), dari Elaine May, Joan Micklin Sliver, Susan Seidelman, Barbra Streisand, Nora Ephron, Penny Marshall, Angelica Houston, dan tentu saja Jodie Foster. Karya mereka begitu variatif, dari film laga, komedi romantik, drama, hingga thriller, maka yang disebut "film feminis"—dengan definisi apa pun—tak bisa dilihat secara keseluruhan, melainkan secara parsial. Dengan tekanan komersialisasi (ambisi meraih box office, terutama jika lahir dari studio besar) ataupun tekanan moral ala Hollywood, akhirnya tak sekejap pun membuat film-film arahan sutradara perempuan di Hollywood menjadi film yang bervisi alternatif dalam dunia feminisme.

Nama Elaine May (lahir 72 tahun lalu) bisa dikatakan salah satu "perintis" sutradara perempuan Hollywood di era film bersuara yang melahirkan film-film yang masih merupakan ramuan khas studio besar, seperti Ishtar (dibintangi Isabelle Adjani) yang dikecam habis-habisan oleh para kritikus. Namun skenario karya Elaine May, seperti Tootsie (1982), kemudian menjadi salah satu karya klasik terkemuka hingga kini.

Adalah Penny Marshall, 59 tahun, yang pernah melahirkan film Jumpin' Jack Flash, yang menampilkan Whoopi Goldberg, dan film Awakenings (1990) yang dibintangi Robert de Niro dan Robin Williams, yang meraih tiga nominasi Oscar. Pada saat Marshall melahirkan A League of Their Own (1992), barulah terasa sentuhan "pertanyaan perempuan" itu terasa. Film yang dibintangi Tom Hanks, Geena Davis, Madonna, yang mengisahkan sekelompok pemain baseball perempuan yang terbentuk pada saat para lelaki terjun ke medan perang. Ketika para lelaki sudah kembali ke "posisi semula" usai perang, kelompok ini bubar. Salah satu pemain kemudian mempertanyakan, seperti juga di banyak wilayah dunia lelaki lain (pabrik-pabrik yang tiba-tiba diisi perempuan saat para lelaki terjun ke medan perang), apakah "perempuan sekadar menjadi substitusi bagi lelaki. Bukankah kami bekerja sama baiknya?" Film ini tak berakhir dengan sebuah revolusi atau solusi, tetapi hanya melontarkan pertanyaan. Tetapi tetap menjadi penting.

Barbra Streisand, 62 tahun, memiliki kelebihan karena sebelumnya dia sudah dikenal sebagai aktris dan penyanyi terkemuka dengan keinginan dan niat yang keras. Film Yentl yang ditulis, disutradarai, diproduksi, dan dibintangi sendiri itu adalah sebuah film yang mengisahkan seorang wanita yang lahir dan tumbuh dalam keluarga tradisional Yahudi dan mempertanyakan peran perempuan dalam tradisi ini. Menolak untuk hanya mengisi peran-peran tradisional—memasak dan menikahi lelaki baik dalam keluarga baik—film ini dianggap sebagai film feminis yang tetap dapat diproduksi di bawah kemapanan struktur studio besar yang mendikte soal anggaran hingga moral cerita. Tokoh Yentl akhirnya menolak menikah dengan Avigdor karena Avigdor mengatakan seorang wanita tak perlu membaca buku untuk dianggap pandai dan memintanya untuk melupakan keinginannya belajar. Yentl menikah dengan kebebasannya dengan berlayar ke Amerika sembari bernyanyi: "I stepped outside and looked around/ I never dreamed it was so wide…."

Proyek yang diperjuangkan—untuk dilayarputihkan—oleh Streisand selama 15 tahun adalah sebuah perjuangan khas perempuan di Hollywood. Inilah perjuangan yang juga dilakukan oleh aktris Jessica Lange, yang pernah bertahun-tahun memperjuangkan pembuatan produksi film Country tentang perjuangan seorang istri petani bernama Jewell Ivy. Film yang menampilkan wanita sebagai pahlawan—dan mengkritik peran lelaki—pada tahun 1970-an belum menjadi suatu pilihan yang terlalu populer.

Tak mengherankan jika banyak sekali sutradara perempuan yang memulai kariernya sebagai sutradara setelah sebelumnya dikenal sebagai penulis skenario. Nora Ephron menggebrak Hollywood dengan karya yang terkenal, film komedi romantik When Harry Met Sally (1989), yang disutradarai Rob Reiner. Film ini menjadi sebuah karya klasik dan benchmark dari seluruh film komedi romantik Hollywood dengan adegan gilanya yang menampilkan dan mengejek keperkasaan pria lewat adegan makan siang di sebuah restoran. Saat bersantap, tiba-tiba Sally Albright (diperankan Meg Ryan) dan Harry (Billy Crystal) berdebat bahwa seorang perempuan bisa saja menipu pasangannya dengan orgasme buatan agar pasangannya merasa puas dan perkasa. Untuk meyakinkan Harry (yang yakin bahwa semua pasangannya puas setiap bercinta dengannya), Sally kemudian melenguh-lenguh, mengekspresikan seorang perempuan yang tengah orgasme. Adegan ini menjadi adegan yang paling melekat di benak penonton dunia—karena sungguh meruntuhkan gengsi lelaki—dan dengan kejenakaannya, Ephron telah mengangkat sebuah konsep persoalan seksual dari sisi perempuan yang rumit: orgasme.

Debutnya sebagai sutradara adalah film This is My Life, tentang seorang janda berputri dua yang harus bertahan hidup. Film yang lucu sekaligus mengharukan ini memperlihatkan sebuah kisah nyata sehari-hari, bahwa perempuan yang bercerai lazimnya memiliki ketahanan luar biasa bak baja untuk menghidupi keluarganya tanpa lelaki, dan belum tentu lelaki yang bercerai mampu hidup sendirian.

Aktris Jodie Foster terjun ke deretan sutradara setelah mengukir namanya di Hollywood sebagai aktris papan atas yang telah menyabet Piala Oscar dua kali. Film arahannya pertama berjudul Little Man Tate, lagi-lagi tentang seorang single parent yang hidup berdua dengan anak lelakinya yang jenius (tak dijelaskan apakah dia bercerai atau memiliki anak di luar nikah). Fokus ceritanya lebih kepada sang anak yang jenius, tetapi seluruh kisah menggambarkan peran sang ibu, yang datang dari keluarga kelas bawah yang tak paham akan kejeniusan anaknya tetapi sangat mengasihinya, melawan sang psikolog yang sangat menghargai kepandaiannya namun bukan seorang ibu yang memahami keinginan seorang anak. Perusahaan film milik Foster, Egg Pictures, kemudian juga menghasilkan film yang disutradarainya, yakni Home for the Holidays (1995) dan The Dangerous Lives of Altar Boys (2002).

Nancy Meyers, yang sebelumnya dikenal sebagai produser film komedi romantik seperti Baby Boom dan Father of the Bride (semuanya dibintangi Diane Keaton), kali ini menampilkan film Something's Gotta Give sebagai sutradara (baca: Something's Gotta Give: Yang Cerdas dari Nancy Meyers). Sebelumnya Meyers melahirkan film What Women Want yang dibintangi Mel Gibson dan Helen Hunt, lagi-lagi sentilan halus bagi lelaki macho di tempat kerja yang begitu mudah bisa naik ke tangga eksekutif; sementara perempuan harus setengah mati berjuang dua kali lipat untuk meraihnya. Sang lelaki suatu hari tersetrum listrik dan tiba-tiba memiliki kemampuan bisa membaca pemikiran perempuan, dan itu kemudian digunakan untuk memanipulasi para perempuan atasannya di kantor.

Film karya sutradara perempuan di Hollywood ini adalah film yang disebut oleh kritikus film Barbara Koenig Quart dalam bukunya Women Directors sebagai film pop feminism. Mereka dilahirkan oleh studio besar; menggunakan resep khas Hollywood (lazimnya berakhir dengan kebahagiaan), tetap merujuk pada keinginan pasar (penggunaan aktris cantik terkemuka, aktor ganteng), dan memperlihatkan sisi emosi perempuan sebagai fokus. Namun sisi feminisme dari film-film ini masih berkisar pada level pertanyaan, mempertanyakan, menggugat secara halus, menyindir atau bahkan sesekali menertawakan. Sofia Coppola lahir dari generasi baru. Film Lost in Translation sama sekali tidak menggunakan resep khas studio dan tidak tunduk pada keinginan pasar mana pun. Film ini tampil personal, dan kedua tokoh, baik Charlotte (diperankan dengan baik oleh Scarlett Johansson) dan Bob Harris (Bill Murray), diposisikan pada strata yang sama: orang-orang yang kesepian di tengah keramaian; orang-orang yang bahkan sepi di dekat orang yang paling dicintainya (baca: Lost in Translation: Kesepian yang Tak Hilang dalam Terjemahan). "Anak papi" yang tubuhnya begitu mungil, di antara empat sutradara saingannya yang masuk nominasi Oscar tahun ini (antara lain Peter Jackson, Peter Weir, Clint Eastwood), yang dulu diejek sebagai anak ayah yang manja, kini telah menunjukkan dia bukan hanya ekor bayangan Francis Ford Coppola. Sofia, 32 tahun, telah melahirkan sebuah berlian revolusi dalam kehidupan Hollywood yang terlalu mapan, datar, dan layak diguncang.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus