Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kesepian yang Tak Hilang dalam Terjemahan

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah kamar hotel di Tokyo, seorang lelaki setengah baya sedang menggenggam remote control sambil memindah-mindahkan saluran televisi. Tak jelas apa yang sedang dicarinya. Di kamar lainnya, seorang perempuan sedang menangis di telepon, tengah meragukan lelaki yang dikawininya. Inilah Bob Harris (Bill Murray) dan Charlotte (Scarlett Johansson), dua orang asing yang tersesat dan kesepian di tengah ramainya Kota Tokyo dalam film terbaru Sofia Coppola, Lost in Translation.

Bob adalah aktor Hollywood yang sudah lewat masa jayanya. Ia diundang ke Jepang untuk membintangi iklan wiski yang tak akan ditayangkan di negerinya. Dari awal film, kita bisa melihat bahwa keberadaan Bob di Tokyo karena terpaksa. Ia dibayar mahal, tapi imbalan tersebut tak mampu menebus rasa malu yang ia rasakan setiap kali ia melihat dirinya di billboard iklan. Apa boleh buat, dia memang tak punya pilihan. Bob harus mengesampingkan harga dirinya dan menuntaskan pekerjaannya dengan pasrah.

Charlotte adalah sarjana filsafat lulusan Yale University yang pergi ke Jepang untuk menemani suaminya yang bekerja sebagai fotografer. Charlotte mengaku dirinya stuck, tak tahu arah hidupnya mau ke mana. Ia telah mencoba menulis, tapi ia benci dengan hasil tulisannya. Fotografi pun pernah ia jajaki, namun lagi-lagi hasilnya mediocre. Lalu apa? Suaminya, John (Giovanni Ribisi), terlalu sibuk dengan proyek fotonya untuk menanyakan keadaannya, apalagi menemaninya.

Mungkin di sebuah dunia yang kita kenal, Bob yang berumur 50-an dan Charlotte yang berumur 20-an tergolong pasangan yang ganjil. Tapi insomnia, disorientasi, dan perasaan senasib menyulap mereka menjadi pasangan ideal. Seperti tagline film: "Everyone wants to be found," Bob dan Charlotte berhasil saling menemukan. Dua orang yang dilanda jetlag ini menghabiskan malam dengan obrolan tentang perkawinan, tentang kebahagiaan, dan tentang kehidupan. Sebuah obrolan intim yang mungkin hanya bisa terjadi antara dua orang yang tak saling kenal, di sebuah tempat yang jauh dari kampung halaman.

Skenario Lost in Translation yang ditulis Sofia Coppola lebih mengandalkan karakter ketimbang plot. Film ini tak menyuguhkan drama atau konflik besar, namun sejak awal, penonton disihir oleh dua bintang utamanya. Bill Murray memerankan Bob Harris dengan prima. Murray, yang biasa kita temukan dalam film komedi, tampil di sini sebagai tokoh yang tengah menghadapi mid-life crisis. Ekspresi wajah Murray yang datar mampu menyampaikan kelelahan, juga kekalahan. Kelihaiannya berimprovisasi membuat film ini mengalir begitu saja tanpa beban. Dialognya cair, seolah-olah tak ada konstruksi, seakan tak ada skenario. Sedangkan Scarlett Johansson yang baru berumur 18 tahun, di tangan Coppola, berkembang menjadi character actor yang layak mendampingi pemain sekaliber Murray.

Selain lewat karakter, Lost in Translation membangun cerita melalui suasana dan mood. Sofia Coppola tak pernah menampilkan adegan secara tergesa-gesa. Pengadeganan yang cenderung lamban dan panjang memberikan kesempatan para karakter untuk menuntaskan kegiatannya dari awal sampai akhir. Setiap scene ditahan dan diulur durasinya seakan-akan waktu tak punya batas untuk menampilkan karakter-karakternya.

Ketika Bob dan Charlotte sedang sendiri, shot kamera dibuat statis untuk menangkap momen-momen kekosongan dan keterasingan para tokohnya. Sebuah adegan menunjukkan Bob terjaga di tempat tidurnya sambil menunggu jam digital bergerak. Di adegan lainnya, Charlotte berjalan di dalam hotel tanpa tujuan. "Waktu" menjadi semacam siksaan karena enggan berjalan. Gerakan kamera yang minim dan komposisi frame yang sederhana berhasil menjaga mood penonton yang diharapkan bisa merasakan suasana sepi, asing, dan bosan yang dialami Bob dan Charlotte. Sebaliknya, dalam sejumlah adegan saat mereka sedang bersama, pacing film menjadi lebih lincah dengan editing yang lebih cepat, angle kamera yang lebih berani, dan gerakan kamera yang lebih dinamis.

Lost in Translation merupakan film sunyi yang memilih menggambarkan kesepian, keterasingan, dan kebosanan melalui karakternya. Semua adegan ditampilkan dengan bahasa visual, hampir tanpa kata-kata. Jelas terlihat bagaimana Sofia Coppola terpukau pada Tokyo dan kebudayaan Jepang yang kadang terasa ajaib dan kadang terasa berjarak. Tapi yang lebih jelas lagi adalah bagaimana Coppola jatuh cinta pada karakter-karakter yang ia ciptakan.

Karena ada banyak hal yang tak diterjemahkan (karena tak ada subtitle), penonton ditempatkan di posisi Bob dan Charlotte: dua orang yang betul-betul lost. Tapi justru ini yang membuat kita larut bersama mereka dari menit pertama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus