Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Yang menderita enggan bicara

Jakarta : gramedia, 1986 resensi oleh : praginanto.

4 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGUAK MITOS-MITOS PEMBANGUNAN Penyunting: M. Sastrapratedja, J. Siberu, dan Frans M. Parera Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1986, 402 halaman KEHIDUPAN terasa makin mahal bagi mereka yang berpikir soal hari esok. Kekhawatiran tak akan lepas dari nuraninya yang paling dalam, kendati hanya satu tujuan yang diinginkan: hidup lebih tenteram, sejahtera. Lalu timbul konsep "pembangunan", yang berarti, gerakan masal menggali potensi-potensi alam dan manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Di abad ini, yang ditandai dengan persaingan ketat, aplikasi konsepsi itu tak jarang menyimpang dari tujuan-tujuan manusiawinya. Tak hanya eksploitasi sumber-sumber daya alam yang makin menggila. Tapi juga antarmanusia. Dan dengan alasan politis, keamanan, ekonomi, dan sebagainya, seolah tak ada lagi kelakuan yang tak sah. Logika dijungkirbalikkan. Etika tertinggal di benak kaum bijak. Tetapi para pemikir terus berdebat soal model pembangunan paling tepat, di tingkat global sampai kampung. Menguak persoalan itu, memang bukan hanya dengan dimensi tunggal. Kompleksitas persoalan, yang terkandung di dalamnya, tak cuma sebatas kajian empiris dan logis. Juga, menurut etika dan moralitas. Inilah yang ditawarkan buku ini. Dan dalam 20 tulisan yang diajukan, ketiga penyuntingnya menyallkan berbagai sudut pandang ilmiah -- baik yang apnori maupun aposteriori. Sebuah pertanyaan menarik, sembari mengajak kita menjawabnya, adalah soal kriteria ctis dalam pembangunan di Indonesia. Ini dilempar oleh Toety Herati Nurhadi, "Apakah kita harus mencari atau kriteria itu sudah kita temukan?" Persoalannya adalah yang menderita sering kali enggan berbicara. Pembangunan yang tampak sukses di permukaan, seperti di RRC dan Brasil, jadi berharga sangat tinggi - tapi siapa yang harus menanggung bebannya? Merumuskan kriteria semacam itu, di Indonesia, seperti juga di negara-negara Dunia Ketiga lainnya, tak bisa terlepas dari dua sisi karakter alam yang berbeda, modern dan tradisional, yang dicetuskan Boeke. Memang ada yang berdiri di salah satu sisi, dan bisa di keduanya. Karena itu, tulis Dawam Rahardjo, mitos-mitos lama, yang sering diasosiasikan dengan masyarakat primitif, bercampur aduk dengan mitos baru dalam warna kehidupan yang tampaknya modern (halaman 273). Mitos bisa bermanfaat dalam kehidupan modern, karena itu bisa terus bertahan, kata George Sorel. Mitos, tak lain, himpunan gagasan yang merasukkan makna-makna transendental ke dalam hidup manusia. Melalui mitos, manusia diangkat di atas kapasitasnya, menjangkau visi yang jauh ke depan, dan menjadikannya mampu mewujudkan tindakan bersama, guna mencapai cita-cita (halaman 275). Kebersamaan manusia, yang jadi faktor kunci, di mata K.J. Vegeer, terpecah dalam dua tipe karena kecenderungan yang berbeda. Ada masyarakat yang cenderung memberi kebebasan semaksimal mungkin bagi warganya, ada yang sebaliknya. Tapi sejarah membuktikan: terjadi konfrontasi terus-menerus antara kebebasan dan keterikatan struktural dalam masyarakat. Termasuk di negeri-negeri komunis, total institutions mulai terlupakan. Stalin di Rusia atau Mao di RRC tak lagi dianggap sebagai dewa (halaman 150). Sementara itu, di belahan lain kaum totaliter masih berkesempatan membuka peluang-peluang baru. Bagaimanapun pertentangan itu, keterikatan pada teknologi tak bisa dihindarkan. Persoalan yang dihadapi prinsipnya sama, survival, yang tak dapat diselesaikan manusia hanya dengan mengandalkan fisiknya. Sedangkan teknologi itu sendiri memiliki sifat otonom. Pada 1917, Ellul sudah menunjukkan: Teknologi menciptakan kebutuhan-kebutuhan yang hanya bisa dipuaskan oleh teknologi. Dan, teknologi dapat mengubah masyarakat, kepercayaan, adat-istiadat, dan organisasinya sehingga dapat disesuaikan dengan dirinya. Dalam perkembangan terakhirnya, teknologi berkait erat dengan kontrol sosial. Sebagaimana pemikiran Goulet, pada 1975, "Penguasaan teknologi merupakan paspor untuk kekuasaan mengambil keputusan." (halaman 298). Dari sni bisa dilihat, mengapa tak ada pembangunan yang bisa terbebas dari model Barat. Tak lain, karena di sanalah teknologi modern berpusat. Kendati demikian, menurut M. Sastrapratedja, pemanfaatan teknologi tak hanya mengarah pada apa yang diinginkan, tetapi bisa juga sebaliknya (disutopia). Keterasingan psikologis misalnya (halaman 302). Perkembangan teknologi juga berperan dalam perbedaan kaya-miskin bangsa- bangsa. Bahkan telah membawa bangsa Barat ke kancah kolonialisme, yang bertentangan dengan etika maupun moral manusia. Sebuah pendekatan keagamaan dilontarkan Djohan Effendi, sebagai alternatif pemecahannya. Yakni melalui penggalian nilai-nilai universal agama untuk diluluhkan dalam kesadaran kolektif. Untuk itu, agama tak hanya bisa didekati dari segi statika ajarannya, tetapi juga dari segi dinamika pergumulannya dengan kehidupan sosio-kultural (halaman 76). Di sini, agama tak hanya diperlakukan sebagal alat seperti pandangan Weber dan Durkheim, atau sebagai masalah transendental belaka. Di lingkungan agama Islam, Abdurrahman Wahid menjanjikan sebuah harapan. Menarik. Sebab, akan terjadi hubungan timbal balik antara pola legalistis yang dianut NU dan semangat kerakyatan Muhammadiyah. Adanya beda orientasi, selama ini, mengakibatkan formalisasi kehidupan dengan atribut-atribut Islam, yang mengarah pada eksklusivisme. Gejala ini, menurut Abdurrahman, bisa dilihat sebagai pernyataan kehadiran orang yang terancam eksistensinya. Perwujudan ekstremnya bisa penegasian segala prestasi, karya, ataupun kehadiran orang lain (halaman 93). Buku ini pantas dibaca oleh para pengamat atau pelaksana pembangunan. Kajian-kajian yang diajukan tak hanya bersifat meluas, tapi juga mendalam - eksistensi manusia. Hanya, sallan data statistik, yang sangat penting untuk mempertajam analisa, jauh dari memadai. Penyunting, yang juga kurang cermat dalam seleksi, mengajak Anda sedikit melantur ke permasalahan di luar konteks. Dan, beberapa kajian yang terlalu ringkas ikut mengganggu. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus