INI masih cerita lama, tapi napasnya belum patah arang. Yaitu protes penerbit buku Malaysia, yang ditujukan ke Indonesia. Padahal, mereka sudah bersiapsiap pula ikut pameran buku pada 1 s/d 10 Agustus di Arena Pekan Raya Jakarta. Tampaknya, mereka juga kembali diliputi waswas menghadapi persoalan ruwet, jika nanti berurusan dengan pabean Indonesia. Hambatan ini pernah terjadi. "Tahun lalu buku-buku Malaysia yang masuk ke Indonesia untuk pameran ditahan berhari-hari di Bandara Soekarno-Hatta," kata Ketua Asosiasi Penerbit Buku Malaysia - MBPA (Malaysian Book Publishers Association), Datuk Abdul Aziz Ahmed. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) terpaksa berurusan ke Bea Cukai, agar tak dihambat lagi. Buku-buku itu memang berjaya dikeluarkan dari pabean. "Cuma lolosnya ketika pameran sudah dibuka. Sedang di tahun-tahun sebelumnya juga sudah pernah begitu," ujar Datuk Abdul Aziz. Sementara itu, di negerinya, buku-buku Indonesia untuk keperluan pameran dibebaskan dari sensor penguasa. "Dan kami dari MBPA sendiri turun ke lapangan udara meng-clearkan kepentingan Ikapi," ujar Aziz. Hambat-menghambat ini tentu mencoreng muka tuan rumah, sebagai penyelenggara pameran. Dan pada awal bulan ini, MBPA mengungkit kembali kenangan tak sedap tersebut dalam sebuah jumpa pers di Kuala Lumpur. Pada kesempatan itu Datuk Abdul Aziz juga mengungkap: buku-buku terbitan Malaysia mengalami kemampetan menembus pasar Indonesia. Padahal, buku eks Indonesia leluasa beredar di pasar tetangga seberang itu. Bahkan, kata Aziz lagi, "Antara MBPA dan Ikapi, 1985, ada perjanjian kerja sama melancarkan lalu lintas penjualan buku antara kedua negara." Bagi Ikapi, terutama yang berkait dengan bisnisnya, memang tak ada masalah. "Kami menginginkan buku-buku Malaysia banyak beredar di pasaran sini. Untuk Ikapi, buku-buku mereka bukan ancaman," begitu Ketua Ikapi Pusat, Azmi Syahbuddin. Malah, yang sering, buku dari mana pun asalnya bisa memberi Inspirasl atau memanang peningkatan kualitas para penerbit di sini. Contohnya ada berapa kasus, misalnya serial cerita bergambar Tintin. Penerbit kita justru membeli hak cipta agar buku tadi bisa leluasa dicetak dan beredar di sini. Perjanjian MBPA-lkapi itu ditandatangani November, dua tahun lalu. Intinya memang mengandung niat baik untuk mengembangkan usaha penerbitan di dua negara, meliputi hak cipta, penulisan, dan pemasaran. Januari tahun lalu, "Ikapi sudah menyampaikan surat kepada Biro Hubungan Luar Negeri Departemen P dan K, agar perjanjian tersebut segera diratifikasi," tutur Azmi. Dari sana tanggapannya memang belum berbunyi. "Kami masih menunggu sampai sekarang," katanya. Sebenarnya, menyangkut kepcntingan lalu lintas perdagangan buku antara kedua negeri serumpun ini, sudah ada pasal-pasal yang mengaturnya. Misalnya Departemen Perdagangan dalam kawatnya pada 1984 kepada Dirjen Bea Cukai mencgaskan: Bahasa Malaysia, meskipun ada persamaannya dengan bahasa Indonesia, dikategorikan sebagai bahasa asing. Dengan demikian, bukunya boleh diimpor, sesual dengan pcraturan impor seperti lazimnya. Lalu, Menteri P dan K pada 23 ebruari 1985 mengeluarkan keputusan tentang petunjuk pelaksanaan impor lektur serta barang cetakan lainnya untuk pelajar dan mahasiswa, termasuk barang cetakan dalam huruf Braille. Terangkum di dalamnya, buku, majalah, brosur, peta globe, dan seterusnya, yang bukan berbahasa Indonesia, seperti berbahasa Malaysia, Inggris, dan Brunei Darussalam. Prosedur pemasukan yang berbahasa Malaysia dan Brunei Darussalam tersendiri pula. Yaitu sebelum pengiriman harus ada surat pernyataan dari kepala perwakilan RI di sana bahwa karya cetak itu benar tidak berbahasa Indonesia. Atau, jika barang impor itu sudah tiba di sini, harus memperlihatkan surat pernyataan dari Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa P dan K. Menurut Kepala Biro Perlengkapan Departemen P dan K Ir. Soepalih Prawirohadinoto, pada Sri Indrayati dari TEMPO, protes pihak MBPA itu karena, "Mereka belum mengetahui prosedurnya saja." Sebagaimana laiknya yang sudah-sudah, birokrasinya tentu tak sesederhana itu. Masih ada UU Nomor 4PNPS 1963, yang menentukan: buku-buku dari luar negeri yang akan diedarkan di Indonesia harus mendapat clearance dari kejaksaan. Semeritara ini, "Belum ada satu pun buku terbitan Malaysia yang minta diteliti Kejaksaan Agung," kata A.A.G. Ngurah, humas Kejagung, pada Bunga Surawijaya dari TEMPO. Sltuasi begini, apa boleh buat, memang berbeda dengan yang berlaku di Malaysia, sepertl yang dlungkapkan oleh Datuk Abdul Aziz itu. Dan wajarlah jika Ketua MBPA itu melontarkan keluhannya. Jadi, perjanjian MBPAlkapi itu memang tak bisa dipakai sebagai "jimat" untuk mengatur lalu lintas peredaran buku antara kedua negara. "Kedua lembaga penerbitan tersebut bukan instansi pemerintah, mana punya kewenangan untuk itu?" kata luad M. Salim, Atase Pendidikan pada KBRI Kuala Lumpur. Persoalannya sekarang, bagaimana upaya pemerintah untuk menangani soal kelabu ini. Tetapi, MBPA berkehendak agar diadakan perundingan tingkat menteri. Sementara itu, mereka masih bclum patah arang untuk datang ke Jakarta. "Tahun ini kami akan ikut pameran. Segala persoalan itu tak membuat kami kapok untuk datang. Semoga tidak akan ada lagi kesulitan seperti yang dulu-dulu," kata Datuk Abdul Aziz pada wartawan TEMPO Ekram H. Attamimi. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini