Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapan lagi bisa foto di Jalan Thamrin bersama panser?”
Ini diucapkan seorang perempuan dalam video yang dibuat Anggun Priambodo di dalam salah satu fragmen berjudul Di Mana Saya? yang menjadi pembuka bagi film 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi. Film ini adalah sebuah film kompilasi karya 10 sutradara muda Indonesia yang hanya diputar di kalangan terbatas di Indonesia dan (karena itu) tak mendapat publikasi luas. Di Rotterdam, Belanda, film itu diputar dalam Festival Film Internasional Rotterdam 2009.
Film 9808 adalah sebuah proyek melawan lupa. Prima Rusdi, penggagas proyek ini, merasa gemas bahwa tak ada film yang mencatat peristiwa seputar reformasi dengan pantas. Lantas, berbekal semangat dan dana dari kantong pribadi para kontributor film ini, jadilah 9808 sebagai sebuah inisiatif dari generasi yang turut melahirkan reformasi itu.
Kompilasi ini jauh dari keinginan menjadi ensiklopedis atau obyektif. Kumpulan karya ini adalah catatan personal. Lihat Wisnu Kucing dan Otty Widasari yang bercerita tentang keterlibatan mereka sebagai mahasiswa yang menduduki gedung parlemen pada 1998. Dengan pendekatan sama sekali berbeda, keduanya mencatat bahwa peristiwa itu adalah peristiwa personal. Ucu Agustin memperluas rentang waktu dan cakupan agenda gerakan mahasiswa itu dengan menyajikan Yang Belum Usai, cerita tentang Sumiarsih yang sudah 10 tahun mencari tahu siapa pembunuh anaknya—mahasiswa bernama Wawan—dalam peristiwa yang dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
Persoalan etnis Cina mendapat porsi besar dalam kompilasi ini. Lima dari 10 karya sedikitnya bercerita tentang orang Cina dan persoalan mereka. Ariani Darmawan mengajukan humor yang jail pada Sugiharti Halim ketika sang tokoh mempertanyakan kebijakan asimilasi Orde Baru yang berdampak pada namanya. Lucky Kuswandi mencoba lebih reflektif dengan mendadarkan ikon-ikon budaya Cina yang lama tak tampil pada masa prareformasi. Ikon-ikon itu berasal dari kenangan masa lalu, dan Lucky menggambarkan, dalam Letter to Unprotected Memories, betapa tak terlindunginya kenangan itu.
Edwin menyumbangkan A Trip to the Wound, sebuah kisah tentang seorang perempuan muda yang percaya bahwa luka pasti punya ceritanya sendiri. Dalam penggambaran yang mengganggu, Edwin menggambarkan luka sang perempuan itu berada di wilayah privat sehingga tak terlihat. Usaha untuk melihat luka itu adalah intrusi terhadap wilayah pribadi itu sekali lagi. Dengan menggambarkan perempuan itu sebagai seorang etnis Cina, Edwin menginsinuasi: apakah luka perempuan itu adalah luka bangsa ini yang tak pernah dikunjungi lagi karena setiap kunjungan terhadapnya akan mengorek kembali luka itu?
Sebuah karya menarik ditampil-kan oleh Hafiz dalam Bertemu Jen. Hafiz mencoba ”bermain pemaknaan” dengan seorang aktivis teater bernama Jen Marais dengan memperlihatkan foto-foto dan bertanya kepada Jen mengenai kesannya sesudah melihat foto itu. Dengan penggambaran ini, Hafiz berhasil memperlihatkan betapa cairnya makna sejarah dan betapa pentingnya negosiasi dalam pendefinisian sejarah itu. Film ditutup dengan karya Steve Pillar Setiabudi, Our School, Our Life, yang bercerita tentang pelajar sebuah sekolah menengah atas di Solo yang sedang bergiat membongkar dugaan korupsi yang terjadi di sekolah mereka.
Sebagai karya lepas, film-film dalam kompilasi ini mampu berbicara sendiri. Namun, dengan dikumpulkan, masing-masing karya memasuki wilayah percakapan yang sama sekali berbeda dan meluas.
Eric Sasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo