Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pekan lalu, industri telekomunikasi Indonesia dikejutkan berita penjualan 40,82 persen saham Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. di PT Indosat Tbk. ke Qatar Telecom. Perusahaan telekomunikasi asal Qatar ini mengucurkan US$ 1,8 miliar—atau sekitar Rp 16,74 triliun—untuk membeli saham tersebut.
Singapore Technologies sebetulnya sedang mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung atas keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang menuduh Temasek, induk perusahaan Singapore Technologies, melakukan monopoli di Indonesia. Soalnya, selain menguasai Indosat, Temasek mempunyai saham di PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) lewat anak perusahaannya yang lain, Singapore Telecommunications.
Dibanding rencana penjualan saham Singapore Technologies di Indosat sebelumnya, yang selalu diributkan, penjualan kali ini berlangsung mulus. Qatar tak mengalami penolakan seperti halnya dulu dialami Altimo dari Rusia. Setelah Axis, masuknya Qatar menandai gelombang modal Timur Tengah yang mengalir ke Indonesia.
Untuk menggali sikap pemerintah terhadap penjualan saham Singapore Technologies kepada Qatar, Grace S. Gandhi dari Tempo menemui Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan A. Djalil. Wawancara dilakukan di sepanjang perjalanan dari rumah dinas menteri di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Pusat, ke kantor kementerian di Jalan Medan Merdeka Barat, Rabu pagi pekan lalu.
Benarkah pemerintah tak diberi tahu penjualan saham Singapore Technologies di Indosat?
Kami baru mengetahui penjualan itu setelah kejadian. Sebelumnya mereka memang pernah datang menyatakan minat. Tapi penjualan itu sepenuhnya wewenang Singapore Technologies.
Kapan tepatnya Qatar Telecom menemui Anda?
Melapor resmi Senin (9 Juni 2008), setelah transaksi (di Singapura, Jumat, 6 Juni 2008). Pemilik baru Indosat (Chairman Qatar Telecom Syekh Abdullah bin Mohammed Saud al-Thani) waktu itu datang ke kantor untuk melapor.
Apa yang Anda katakan dalam pertemuan itu?
Saya tidak mengatakan apa-apa, karena pemerintah tidak dalam posisi mengatakan ya atau tidak. Saya hanya mengatakan, ”Oke, welcome ke Indonesia. Saya harap bisnis Qatar di Indonesia sukses.”
Transaksi itu sah-sah saja?
Sah-sah saja. Tidak ada hak bagi pemerintah untuk mengatakan tidak.
Bukankah pemerintah masih punya 14,2 persen saham di Indosat? Apa sebelumnya tidak dimintai pendapat atau izin lebih dulu?
Sesuai dengan perjanjian jual-beli Indosat dulu, memang direktur utama masih dipegang oleh Indonesia. Pemerintah juga masih menempatkan orang di posisi direktur dan komisaris. Tapi pemerintah sudah menjadi pemegang saham minoritas di situ. Jadi lebih bersifat simbolis. Singapore Technologies menjual kepada siapa, itu hak mereka.
Apakah dalam perjanjian jual-beli Indosat dulu tidak ada klausul yang mewajibkan Singapore Technologies menawarkan lebih dulu sahamnya ke pemerintah?
Pokoknya mereka bisa menjual sahamnya kepada siapa saja. Seharusnya memang seperti Telkomsel. Waktu SingTel mengambil alih saham Bimantara di Telkomsel dulu, ada perjanjiannya. Kalau saham SingTel di Telkomsel mau dijual, harus ditawarkan pertama kepada Telkom dengan harga yang disepakati. Dalam kasus Indosat, tidak ada klausul seperti itu.
Bagaimana pemerintah melihat penjualan ini, sementara proses hukum keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha soal monopoli Temasek masih berjalan?
Tentunya mereka telah melakukan legal due diligence, penjualan itu oke atau tidak. Kalau melihat keputusan Komisi, sebenarnya ada dua hal yang paling pokok. Pertama, telah terjadi monopoli yang dilakukan oleh Temasek lewat Singapore Technologies dan SingTel. Singapore Technologies punya Indosat dan SingTel punya Telkomsel. Komisi memerintahkan menjual salah satu. Kemudian pengadilan negeri memutuskan Temasek menjual salah satu atau 50 persen dari masing-masing perusahaan itu. Asumsinya, dengan kepemilikan yang lebih kecil, mereka tidak akan mampu melakukan praktek monopoli.
Bagaimana dengan perintah Komisi agar penjualan saham maksimal hanya lima persen?
Saya tidak tahu apa pertimbangan Komisi memerintahkan penjualan maksimal hanya lima persen. Barangkali lebih ke pertimbangan political economy. Secara hukum, perusahaan telekomunikasi di Indonesia sudah boleh dimiliki oleh asing. XL (PT Excelcomindo Pratama Tbk.) sudah 100 persen asing, Indosat mayoritas asing, Axis (PT Natrindo Telepon Seluler) 95 persen asing, dan 3 (PT Hutchinson CP Telecommunication) juga 100 persen asing.
Apakah pemerintah tak berminat membeli kembali saham Indosat?
Kalaupun pemerintah punya uang dan mau membeli, itu sama juga dengan monopoli kan? Sebab, pemerintah sudah punya Telkom (PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.). Seandainya ada uang, lebih baik digunakan untuk membangun pembangkit listrik, pelabuhan, atau airport.
Mengapa begitu?
Bila membeli Indosat, manfaat ekonomi yang luas, seperti penciptaan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, atau memberi nilai tambah lainnya, tidak akan tercapai. Kalau punya uang, lebih baik membangun pembangkit listrik. Uang Rp 17 triliun itu bisa digunakan membangun pembangkit listrik batu bara 2.000 megawatt.
Kalau dirunut, penjualan saham Indosat sepertinya berputar di situ saja. Qatar membeli saham Singapore Technologies di Indosat lewat Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., sementara Asia Mobile itu dimiliki Singapore Technologies dan juga Qatar....
Asia Mobile itu hanya vehicle. Di situ memang ada saham Qatar Telecom dan Singapore Technologies. Di mana-mana, kalau suatu perusahaan mau investasi ke luar negeri, yang masuk duluan, ya, perusahaan vehicle ini. Dari pembicaraan dengan Qatar Telecom pekan lalu, Qatar masuk ke Indonesia lewat Asia Mobile. Begitu Qatar membeli seluruh saham Singapore Technologies di Indosat, tidak ada lagi hubungan apa pun antara Indosat dan Singapore Technologies ataupun Temasek.
Benarkah secara hukum bisa dilihat seperti itu?
Saya tidak tahu aspek hukumnya. Biar dilihat oleh para ahli hukum. Tentu mereka sadar sekali tentang ini. Waktu bicara dengan Qatar, saya bilang bahwa masalah hukum (dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha) masih ada. Mereka bilang mereka sudah menyadari hal itu dan sangat menghormati aturan serta hukum di Indonesia.
Apakah ada tekanan politis dalam penjualan saham ini?
Tekanan politis dari siapa?
Jadi transaksi ini murni bisnis?
Ya, murni bisnis antara Singapura dan Qatar. Singapore Technologies menjual itu mungkin karena merespons keputusan Komisi atau barangkali juga merupakan strategi bisnis mereka. Cuma, sedang ada masalah di pengadilan, kok dijual. Kan itu yang dipersoalkan? Tapi, kelihatannya, mereka tetap banding dan biarkanlah proses hukumnya berjalan.
Tak ada tekanan politik juga menyangkut keputusan Komisi terhadap Temasek?
Saya pikir alasan yang digunakan cukup legitimate: terjadinya praktek monopoli. Argumentasi yang diajukan Komisi cukup kuat dan itu diperkuat oleh pengadilan negeri. Saya lihat ini tidak politis, karena tentang antimonopoli. Siapa pun seharusnya taat hukum, di mana pun mereka berada. Kalau di Singapura ada undang-undang antimonopoli, ya harus kita hargai. Sebaliknya, bila di Indonesia ada peraturannya, siapa pun yang berbisnis di sini harus menaati. Sejauh ini pandangan-pandangan Komisi tidak ada unsur politiknya.
Sebelumnya, rencana penjualan saham Singapore Technologies di Indosat ke investor lain terus digoyang....
Saya pikir dulu penjualan Indosat mungkin tidak terlalu transparan, sehingga persoalannya merambat ke mana-mana. Kalau ada urusan politik, memang kita sangat prihatin, karena nanti yang dikorbankan adalah iklim bisnis di Indonesia. Padahal negeri ini sangat membutuhkan investasi.
Bukankah penjualan saham Indosat dulu merupakan kebijakan pemerintah?
Ya, tapi kebijakan dan eksekusi merupakan dua hal berbeda. Kebijakan oke, bagus, tapi eksekusinya.… Maka, dalam pelaksanaan privatisasi, kami sangat hati-hati. Harus dibikin setransparan mungkin sehingga tidak ada persoalan di belakang hari. Sebab, kasihan juga pembelinya nanti.
Selama Indosat terus digoyang, tak ada investor asing yang mempertanyakan ini?
Tentu ada. Ada juga investor asing yang bertanya apakah pemerintah akan menjual sisa saham yang 14 persen. Saya katakan pemerintah tidak bermaksud menjual.
Bagaimana bila Qatar Telecom berniat membeli saham pemerintah di Indosat dengan harga mahal?
Saat ini tidak ada rencana. Enggak tahu kalau 20 tahun ke depan.
Setelah Axis, sekarang Qatar, tampaknya pengusaha Timur Tengah mulai gencar melakukan investasi di Indonesia?
Pemerintah melihat dari skala makro, bagaimana bisa menarik lebih banyak uang dari Timur Tengah. Dibanding Malaysia dan Singapura, selama ini kita belum berhasil menarik investasi secara signifikan dari sana. Negara tetangga itu berhasil menjadikan dirinya sebagai financial centre untuk Asia Tenggara. Bahkan sekarang lebih agresif lagi dengan menjadikan negaranya sebagai pusat keuangan Islam di Asia Tenggara. Banyak lembaga keuangan berpusat di Malaysia dan negara itu berhasil mengeluarkan sukuk (obligasi syariah) dalam jumlah yang cukup besar.
Jadi investasi dari Qatar ini merupakan uji coba....
Kalau investasi Qatar berhasil, kita akan bisa menarik investor lainnya masuk ke sini. Investor Timur Tengah itu punya tradisi, apabila satu berhasil, yang lain akan berbondong-bondong. Menciptakan iklim yang sehat dan menarik investasi itu sangat penting. Kita marah Singapura masuk kemari atau Malaysia membeli kebun atau bank kita. Sebenarnya yang mereka gunakan itu uang Timur Tengah. Mengapa kita tidak menarik uang dari Timur Tengah secara langsung? Dalam perspektif seperti itu, saya mengatakan, kalau ini berhasil, bagus. Tapi, kalau ini gagal, karena satu dan lain hal, terutama bukan karena masalah hukum tapi masalah politik, itu akan sangat saya sesalkan.
Tampaknya pemerintah sangat berhati-hati dengan privatisasi. Krakatau Steel belum apa-apa juga sudah diributkan?
Ya, itu implikasi dari negara demokrasi yang belum dewasa. Semua masalah dilihat dari dimensi politik. Diskusi soal Krakatau Steel itu sudah out of proportion sama sekali. Sejak awal pemerintah merumuskan privatisasi Krakatau Steel, pilihannya adalah penjualan strategis atau initial public offering (penawaran saham perdana). Karena ada opsi penjualan strategis itu, ada yang menyatakan minatnya. Datanglah Mittal (ArcelorMittal, milik pengusaha Lakshmi Mittal). Tawarannya secara obyektif bagus sekali.
Seberapa bagus?
Mereka menawarkan tiga proposal. Pertama, Mittal menjadi pemegang saham minoritas, maksimum 30 persen, dan Krakatau masih mayoritas. Kedua, mereka mayoritas dan Krakatau minoritas. Dengan masuknya Mittal, perusahaan gabungan itu, entah apa namanya nanti, akan punya kapasitas sekitar 13 juta ton. Produksi baja Krakatau Steel sekarang baru 2,5 juta ton. Jadi, pada saat konsumsi baja nasional mencapai 12-13 juta ton pada 2012-2013, kita akan punya kapasitas yang cukup. Tidak perlu impor lagi. Kalau terus bergantung pada impor, dalam keadaan normal masih oke saja. Tapi, dalam keadaan krisis, misalnya, akan sulit. Ketiga, sama-sama mencari tambang mineral, terutama bijih besi.
Menjelang pemilihan umum, wajar ada kecurigaan menyangkut privatisasi....
Setelah Mittal mau masuk, banyak investor juga menyatakan berminat. Tapi logika politiknya lain. Ada kecurigaan: wah, ini gara-gara mau Pemilu 2009. Sudah full kecurigaan. Akhirnya pembicaraan dan diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat sudah out of proportion. Akhirnya, oke, kalau memang curiga dengan penjualan strategis, IPO saja.
Sebetulnya mana yang lebih baik buat pemerintah: IPO atau penjualan strategis?
IPO bagi saya juga penting. Dalam keadaan pasar bagus, IPO yang terbaik. Tapi, kalau pasar dalam keadaan tertekan, investor strategis yang terbaik karena investor ini akan melihat potensi yang dimiliki dalam lima tahun ke depan. Kalau Krakatau Steel bisa mendapatkan dana US$ 2-3 miliar, bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas sampai dengan 5-6 juta ton.
Seberapa besar target pendapatan dari privatisasi dalam anggaran tahun ini?
Dari target pendapatan negara Rp 900 triliun, privatisasi cuma Rp 500 miliar. Enggak ada apa-apanya itu. Tapi ada yang membuat pernyataan bahwa pemerintah sudah panik, mau menjual semua perusahaan negara yang untung-untung semua.
Rencana privatisasi badan usaha milik negara belum ada satu pun yang terlaksana?
Belum ada satu pun yang dapat izin dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, sekarang, kalau mau privatisasi, menjual satu lembar saham pun harus mendapat izin Dewan.
Tidak sedih banyak perusahaan negara sekarang ini dikuasai oleh asing?
Kalau itu sudah fakta, karena kita pernah krisis. Begitu krisis, kita tidak punya daya tawar lagi. Tapi kita masih punya aset 160 badan usaha milik negara.
Perusahaan-perusahaan ini sehat?
Enggak. Makanya perlu melakukan berbagai upaya untuk menyehatkan. Apa yang saya lakukan? Saya perbaiki manajemennya. Saya pecat orangnya. Setelah saya jadi menteri, sudah sepuluh orang yang saya pecat. Ada yang disuruh mengundurkan diri, ada yang diberhentikan dengan tidak hormat atau dengan hormat. Kalau tidak perform, silakan out. Ada kesalahan, out. Waktu ada kebakaran di Angkasa Pura Medan, saya berhentikan direktur operasinya.
Tidak takut dituduh ada alasan politik di balik pemecatan-pemecatan itu?
Tidak ada urusannya dengan itu. Anda bisa lihat direksi yang saya angkat itu tak ada yang punya afiliasi politik dengan partai tertentu. Bila kementerian ini melakukan uji tuntas dan kelayakan, wartawan pun boleh ikut melihat.
Apa lagi yang dilakukan untuk menyehatkan perusahaan negara?
Ada perusahaan seperti Merpati yang tidak bisa di-IPO, maka harus dicari investor yang punya uang untuk menyelamatkannya. Merpati ini, kalau tidak bisa kita selamatkan, bisa mengikuti jalur Adam Air. Tapi logika ekonomi dan politik tidak selalu sejalan, bahkan bertentangan.
Sekarang yang lebih dominan justru logika politik?
Itulah. Saya sampai kadang-kadang omong ke istri saya, ”Aduhhh capek!” Terus dia jawab, ”Jangan berharap bisa mengubah dunia. Ada atau tidak ada kita, dunia tetap jalan.”
Sofyan A. Djalil
Tempat dan Tanggal Lahir
- Peureulak, Aceh, 23 September 1953
Pendidikan
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
- Master of Arts The Graduate of School of Arts and Sciences Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat, 1989
- Master of Arts Fletcher School of Law and Diplomacy Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat, 1991
- Doctor of Philosophy The Fletcher School of Law and Diplomacy Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat, 1993
Karier
- Staf Ahli Menteri Negara Pendayaan BUMN, 1998-2000
- Komisaris Utama PT Pupuk Iskandar Muda, 1999-Juli 2004
- Menteri Komunikasi dan Informatika, 2004-2007
- Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, 2007-sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo