SEMUA tiket terjual habis. Pergelaran Orkes Filharmoni New York di Jakarta bagai mengikua Irama superalegro. Untuk pertunjukan dua hari, Rabu dan Kamis malam pekan ini di Balai Sidang, karcis mulai dijuai awal Mei yang lalu. Dan hanya dalam waktu empat hari lebih dari empat ribu helai - seharga antara Rp 5.000 dan Rp 25.000 - ludes dibeli orang. Memang, masih tersisa sekitar dua ribu lembar. Tapi menurut James Hunt dari Citibank di Jakarta, sponsor utama pergelaran musik mahabesar ini, sisa tiket itu khusus buat undangan dan buat mahasiswa musik. Ini memang sebuah kesempatan yang jarang: satu pementasan filharmoni dengan 110 pemain dan seorang Zubin Mehta, salah seorang dari lima dirigen dunia terbesar saat ini. Tak hanya untuk Jakarta. Buat tujuh negara lain yang dikunjungi orkes filharmoni ketiga tertua di dunia ini dalam muhibah sebulannya di Asia, ini pun sebuah peristiwa besar. Bahkan pertunjukan pertama, 18-22 Agustus lalu di Jepang - sebuah negara yang sudah beberapa kali mereka datangi - masih cukup menyedot pengunjung. Pada malam terakhir, di gedung Nlppon Budokan, Tokyo, Zubin Mehta mengayunkan batonnya disaksikan sekitar tujuh ribu penonton. Pergelaran terakhir ini memang mendapatkan pengunjung terbanyak, karena harga karcis telah diturunkan: semula antara Rp 70.000 dan Rp 20.000 menjadi antara Rp 25.000 dan Rp 10.000. Toh empat malam sebelumnya, dengan harga yang bagi orang Jepang pun dirasakan sangat mahal itu, tak kurang dari 12.000 karcis terjual. Yang paling murah mungkin tiket buat pergelaran di Singapura, 8 dan 10 September - antara Rp 5.600 dan Rp 750. Mungkin ini disebabkan daya tampung tempat pertunJukan, Stadion Nasional yang sebenarnya stadion sepak bola, memang besar. Untuk pertandingan sepak bola stadion ini bisa memuat 60.000 penonton. Di Singapura pula ada kasus istimewa: pergelaran dua hari itu diasuransikan sebesar Rp 150 juta. Alasan pihak penyelenggara Citibank dan Esso, sebuah perusahaan minyak - siapa tahu pada jam pertunjukan hujan mengguyur stadion yang tanpa atap itu. Padahal, sudah ada hari pergelaran cadangan - 9 September. Tapi, sebagaimana sebuah komposisi besar mengandung berbagai warna, perjalanan ke luar Amerika yang keempat bagi Orkes Filharmoni New York dan Zubin Mehta, ini pun tak sepenuhnya berirama vivace, alias lancar tanpa hambatan. Ada interruption untuk pertunjukan di Malaysia, 1 dan 3 September. Pemerintah sana keberatan bila Zubin menyuguhkan pula rapsodi Schelomo karya Komponis Ernest Bloch. Sebab, Bloch (1880-1959) adalah Yahudi. Akhirnya, karena Zubin pun tak mau mengubah acara, pergelaran di Malaysia dibataikan oleh pihak Orkes Filharmoni New York sendiri. Peluang ini dimanfaatkan oleh USIS di Bangkok dan Yayasan Musik Siam Kokarn untuk mengundang orkes besar itu berpentas di Muangthai. Singkat kata, perundingan lancar - dan 3 September Zubin akan mengayunkan batonnya di auditorium Universitas Thammasat, Bangkok. Dan untuk amannya barangkali, Schelomo pun tak dimunculkan. Di Muangthai pun karcis lancar terjual Hingga Selasa pekan lalu sudah 90% tiket - antara Rp 25.000 dan Rp 5.000 - laku. Kapasitas tempat pergelaran memang tak besar, hanya sekitar 2.500 kursi. Tapi siapa tak tertarik pada muhibah Zubin Mehta? Rombongan ini mencarter dua pesawat Lufthansa. Satu untuk mengangkut para pemain dan lain-lain, termasuk seorang dokter dan seorang ahli penyetem alat musik khusus untuk daerah beriklim tropis yang seluruhnya berjumlah 155 orang. Satu pesawat lagi untuk menerbangkan sekitar 100 alat musik yang total berbobot kurang lebih 11.000 kg. Itu semua, menurut Joseph Kluger, manajer orkes ini, kepada TEMPO di Amerika membutuhkan biaya US$ 2,5 juta. "Sepertiga ongkosnya ditanggung Citibank, sepertiga dari hasil penjualan arcis, dan sisanya ditanggung beberapa sponsor," kata Kluger, bekas pianis di situ. Dengan catatan, tak semua hasil penjualan tiket dipakai untuk menutup biaya. Pergelaran di Jakarta, misalnya, pemasukan dari tiketnya akan disumbangkan kepada Yayasan Kesenian Jakarta untuk membiayai pendidikan kesenian. Tentu, dengan mempertaruhkan sebuah orkes yang telah berusia lebih dari satu setengah abad dan seorang dirigen yang diakui dunia, persiapan muhibah tak kepalang tanggung. Misalnya, menyadari bahwa tak semua negara memiliki gcdung khusus buat orkes besar, pihak Orkes Filharmoni pagi-pagi sudah menyurvel gedung-gedung di kota-kota tempat pertunjukan. Di Jakarta, misalnya, Januari lalu datang Albert K. Webster. Setelah meneliti sejumlah tempat yang layak, akhirnya ia memilih Balai Sidang Senayan. Persoalan akustik yang kurang memadai, dan ini memang problem kita, direncanakan diatasi dengan satu desain panggung khusus. Desain itu, yang dirancang oleh orang Amerika, April lalu diujicobakan di Balai Sidang, dengan mendengarkan pergelaran Orkes Simfoni Jakarta di bawah dirigen F.X. Sutopo. Hasilnya, menurut Kluger yang khusus datang ke Jakarta untuk menunggui uji coba - memuaskan. "Hanya perlu peredam dengung AC gedung, dan penggantian karpet panggung dengan yang lebih memantulkan suara," katanya. Tes akustik ini sendiri memakan biaya sekitar Rp 15 juta. Sementara itu, biaya seluruhnya, untuk pergelaran di Jakarta, menurut James Hunt sekitar Rp 200 juta tak termasuk honorarium pemain, karena pos ini sudah ditangung Citibank pusat di Amerika. Tapi Citibank di Indonesia tak sendirian. Mobil Oil menyumbang sekitar Rp 50 juta. Lalu ada sponsor yang lain, misalnya Astra International, Indocement, Marlboro, Bouraq International Airline, dan beberapa lagi. Tapi semua itu agaknya memang pantas untuk sebuah orkes yang kini memiliki 106 anggota tetap, 50 orang staf administrasi, dan lebih dari US$ 15 juta anggaran per tahun. Dan, sebagai orkes yang lahir di Amerika Serikat - sebuah benua baru yang hubungannya dengan tradisi musik klasik Eropa waktu itu masih tipis - dalam mengukuhkan namanya, ikhtiar Orkes Filharmoni New York memang tidak ringan. Untuk merebut hati warga Amerik dibutuhkan waktu 50 tahun. Maklum, pada abad ke-19 yang berkembang di Amerika adalah musik yang benar-benar mencerminkan kebebasan: jazz yang bersumber pada musik Negro dan country yang didendangkan para koboi. Baru tahun 1930-an orkes yang kini telah membuat sekitar 800 album itu memperoleh pengakuan internasional. Waktu itu dirigennya Arturo Toscanini (1867-1957), orang Italia yang penuh disiplin dan amat cermat dalam detail. Dalam usia 60-an tahun, ketika menderita buta ayam, tapi punya ingatan luar biasa tajam, Toscanini dengan rambut putihnya membawa orkes Amerika tertua ini keliling Eropa. Dan kalangan musik di Eropa kemudian maklum, musik klasik bukan monopoli benua mereka lagi. Kemudian datanglah Leonard Bernstein (lahir 1918), komponis dan dirigen Amerika pertama yang memegang baton Filharmoni New York ini. Di bawah ayunan tangannyalah, selama 11 tahun (1958-1969) rombongan ini mampu menyuguhkan lebih dari 1.000 konser. Lebih dari itu satu tradisi yang agak aneh diletakkan Bernstein: konser musik klasik di luar gedung, sejak 1965. Mereka mengunjungi taman-taman yang tersebar di New York, mengadakan pergelaran gratis di udara terbuka. Maka, ketika si tampan Zubin Mehta menerima tongkat kepemimpinan pada 1978, ia tak lagi melihat masalah teknis. Ia hanya menyarankan agar beberapa instrumen diganti - meski kemudian ia memang menemukan lubang dalam orkes barunya ini: hnbungan antara pemain dan dirigen yang kurang akrab. Entah bagaimana cara dia, memang kemudian suasana kekeluargaan mewarnai kawanan musik ini. Efeknya, konon, menurut beberapa pengamat Amerika, permainan semakin kompak. Bila Toscanini seolah memetik melodi dari langit dan kemudian orkes menyambutnya, Zubin seolah partitur itu sendiri. Para pemain yang dipimpinnya bukan saja melihat gerak tangan dan baton, tapi seolah mendengar suara musik keluar dari tangan dan baton Zubin - komentar pianis kenamaan Mendiang Artur Rubenstem. Dan cocok dengan Bernstein - "Salah seorang komponis yang saya kagumi," kata Zubin - tradisi orkes di taman dilanjutkannya. Pada konser taman tahun lalu di New York, Zubin memperoleh pengunjung lebih dari 200.000. Dan pemeluk agama Parsi kuno yang suka yoga ini sesekali mengadakan pula konser di gereja, dengan aturan yang dilonggarkan. Penonton, tak sebagaimana diharuskan dalam sebuah gedung musik, boleh seperti nonton musik rock: bersorak, bertepuk tangan, ketawa, atau melemparkan kardus minuman. Apa sebenarnya yang dicari tokoh berusia 48 tahun, yang tahun lalu menjadi kakek seorang cucu ini? "Menghadapi tantangan dari penonton yang baru - diperlukan untuk menumbuhkan rasa seni seorang musikus," katanya, sepulang dari muhibah ke Amerika Selatan tahun lalu. Itu pula yang diharapkannya dari perjalanannya ke Asia kali ini. Dan ia memang merasa, tiap habis mengadakan muhibah, kualitas orkes yang dipimpinnya memngkat. Tentu, ia tak perlu menyebut peningkatan pasaran rekaman-rekamannya. Orkes ini sendiri sudah terkenal kaya. Penghasilan pemainnya yang paling rendah, menurut Kluger, manajernya sekarang, US$ 40.000 setahun. Tapi memberikan suguhan kepada banyak orang memang repot. Dalam muhibah kali ini, misalnya, repertoar diatur sedemikian rupa hingga mencakup musik segala zaman, dari abad ke-18 sampai abab ke-20. Risikonya: repertoar kurang kompak, begitu berlainan karakter masing-masingnya seperti dinilai para kritisi musik Jepang untuk lima hari pergelaran Zubin di sana. Di negeri koto dan samisen itu Zubin menyuguhkan karya-karya Bernstein, Copland dan Gershwin, mewakili komponis abad sekarang. Kemudian Bach, Brahms, dan Wagner sebagai wakil abad sebelumnya. Padahal, menuru Toru Takemitsu, 53, komponis Jepang yang disukai Zubin, orang Jepang masih menggemari- Beethoven, Tchaikovsky, dan Mozart para komponis abad ke-19. Mungkin itu sebabnya di Jepang rata-rata tiap malam sekitar 500 kursi kosong. Meski ada sebab lain, khusus di Tokyo "penggemar musik klasik agak segan, menonton pergelaran orkes simfoni di gedung yang tak begitu cocok untuk orkes simfoni," kata seorang pengamat musik di Jepang, terdengar seperti lelah. Gedung Nippon Budokan biasanya dipakai untuk pertandingan seni bela diri dan pergelaran musik pop. Di Jakarta, repertoar penting yang akan dibawakan malam pertama adalah Simfoni nomor 5 Gustav Mahler (1860-1911), salah satu simfoninya yang terbaik dan yang sangat halus rangkaian temanya. Karya romantik yang banyak dipuji karena sentuhan-sentuhan hornnya ini dibuka dengan suara terompet yang menyeruakkan suasana penguburan, makin lama makin meriah. Bagian akhir benarbenar kontras dengan awalnya: sebuah sorak-sorai, sebuah allegro giocoso yang berbinar-binar melukiskan satu pastorale, suasana sebuah pedesaan abad lampau yang gembira. Di malam kedua ada karya Gershwin yang populer: Seorang Amerika di Paris riang gembira mendekati kemeriahan musik kabaret. Tapi nomor ini akan disusul dengan Simfoni nomor 9 Antonin Dvorak (1841-1904), komponis Bohemia, daerah yang terkenal kaya musik dan tari rakyat. "Musik yang besar seharusnya bertumpu pada musik rakyat," kata Dvorak suatu hari. Maka, simfoni ini seolah menggambarkan anak-anak sungai mengalir lincah melewati rimba raya menuju induknya yang mengalir tenang dan gemerlap di bawah matahari. Pohon-pohon besar bergoyang pelan mengikuti arah anin, seperti bisa terbayang pada bagian dua. Disusul irama girang para petani menari-nari dan massa bersorak gembira. Maka, horn dan trombon berteriak susulmenyusul, menutup , karya Dvorak 1893. Hidup mengapa harus bersedih, begitu seolah Dvorak beri nyanyi, melupakan suasana pengukuran di awal tema. Tapi, menurut Prabowo, dirigen tamu Orkes Simfoni Jakarta, karya Dvorak dan Mahler mungkin agak susah diterima publik Jakarta. "Itu agak sulit lebih mudah orang menerima Mozart atau Beethoven," katanya. Siapa tahu? Dua karya Mahler dan Dvorak itu ternyata laris di sebuah toko kaset di Jalan Sabang, Jakarta, pekan lalu. Mungkin pembelinya sekadar ingin tahu, sekadar pamer, snob, kata Prabowo. Yang jelas, tak ada komposisi Ernest Bloch berjudul Schelomo yang menjadi gara-gara urungnya pementasan grup ini di Malaysia (TEMPO, 25 Agustus). Bahkan ketika jadwal Malaysia itu kemudian dialihkan ke Muangthai (menjadi hanya satu malam pertunjukan, dari rencana dua malam di Malaysia), tak ada karya komponis Yahudi yang kira-kira menyanyikan kebesaran "Nabi Sulaiman sebagai bapak Yahudi" itu. Begitu juga pada pementasan di India yang bakal datang - tapi juga di Taiwan, yang sudah berlangsung sebelum rencana Malaysia. Berbeda dengan pergelaran di Jepang, Korea Selatan, dan Hong Kong, yang sudah lewat, serta Singapura yang akan berlangsung persis sesudah Indonesia. Masalah politik dan seni (bahkan juga politik dan olah raga) memang tidak selalu gampang, rupanya. Apalagi bila soalnya dinilai menyinggung nasib suatu bangsa, atau setidaknya mengingatkan pada pertentangan anak-anak manusia. Dan Zubin Mehta, yang menyatakan dirinya "buta politik", memang tidak harus sangat peduli pada hal itu (Lihat: Musik Itu Universal, Katanya).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini