Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsudin Adlawi*
Gerakan Women2Drive mengguncang Arab Saudi. Women2Drive (Linnisai Biqiyadatis Sayyarati), yang dipelopori Manal al-Sharif, asisten computer security perusahaan minyak Aramco, adalah kampanye menuntut hak mengemudi mobil bagi perempuan Saudi yang gaungnya mendunia. Negara-negara Arab lain sudah lebih "liberal", tak hanya membolehkan mengemudi, tapi juga memberi kemungkinan luas menduduki jabatan publik.
Konservatisme Arab Saudi ini seakan-akan ahistoris. Sejarah membuktikan, pada awal perjuangan Islam, perempuan Arab bisa berdiri sejajar dengan kaum laki-laki. Selain Khadijah dan Aisyah, ada Nusaibah binti Kaab atau Ummu Imarah (pejuang logistik dalam Perang Uhud), Asma binti Abu Bakar, Rufaidah binti Sa’ad (organisator perawat korban perang), Asma binti Yazid al-Anshariyah (orator wanita ulung), dan lainnya.
Bukan hanya sejarah, bahasa Arab juga memberi ruang penting bagi kaum perempuan. Bahasa Inggris memiliki she (dia perempuan). Bahasa Jerman memiliki awalan die untuk awalan kata benda feminin (membedakan dengan der yang maskulin dan das yang netral). Bahasa Arab lebih kaya varian dalam menyebut gender.
Bahasa Arab menyebut huwa untuk dia laki-laki dan hiya untuk dia perempuan. Bukan hanya itu. Bahasa Arab juga menyebut anti untuk kamu perempuan (tunggal); dan antunna untuk menyebut kalian perempuan. Ini berbeda dengan bahasa Inggris, yang hanya punya you untuk menyebut kamu atau kalian, laki-laki atau perempuan.
Satu lagi contoh adalah adanya kata hunna (mereka perempuan) lawan dari hum (mereka laki-laki). Ini sangat berbeda dengan bahasa Inggris yang menggunakan kata they untuk menyebut mereka tanpa membedakan jenis kelamin atau juga kata mereka yang netral dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Arab mengelompokkan kata benda menjadi dua kelompok besar, yakni mudzakkar dan muannats atau maskulin dan feminin. Tapi, seperti bahasa Jerman yang memiliki kelompok neutral, bahasa Arab juga memiliki kelompok netral. Ini dipakai saat menunjuk orang pertama (baik jamak maupun tunggal: ana yang berarti saya dan nahnu berarti kami/kita) atau menunjuk dua orang (orang kedua dan orang ketiga, seperti huma = mereka dua orang laki/perempuan dan antuma = kalian dua perempuan/laki).
Cara gampang menemukan perbedaan di antara keduanya adalah dengan huruf di akhir kata. Yang muannats selalu diakhiri dengan huruf ta marbuthah, yang biasa dibaca "h". Bentuknya bulat dengan dua titik di atasnya. Contoh: madrasah (sekolah), sahah (lapangan), sayyarah (mobil), thairah (pesawat terbang), mistharah (penggaris), dan safinah (kapal laut). Bandingkan dengan yang mudzakkar: qalam (pena), kitab (buku), kursiy (kursi), qithar (kereta api), baab (pintu), dan bahr (laut).
Bahkan dua tempat suci Islam disebut dengan kata bersifat perempuan, yakni Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawarah. Gelar itu dibuat berkelamin perempuan karena Makkah dan Madinah berjenis perempuan.
Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia memang lebih netral gender. Laki-laki atau perempuan sama-sama disebut dia. Demikian juga kamu dan mereka. Baik laki-laki maupun perempuan menggunakan kata yang sama: kamu dan mereka. Pembedaan kelamin baru ditemukan pada kata ganti yang spesifik, seperti tuan dan puan (nyonya), pemuda dan pemudi, putra dan putri, saudara dan saudari.
Bahasa Indonesia sebenarnya mengembangkan kosakata untuk laki-laki dan perempuan dari perubahan bunyi di akhir kata. Sebagai contoh adalah wartawati untuk menyebut wartawan perempuan, karyawati (karyawan perempuan), seniwati (seniman perempuan), direktris (direktur perempuan), atau, dari khazanah lama, sukarelawati (sukarelawan perempuan).
Namun kata-kata untuk membedakan lelaki dan perempuan perlahan-lahan lenyap. Juru warta berjenis kelamin apa pun bisa disebut wartawan. Perempuan yang memimpin perusahaan pantas-pantas saja disebut direktur, tak lazim lagi disebut direktris. Bahkan kata "pemudi" (yang muncul dalam lagu kebangsaan Bangun Pemuda-Pemudi karya C. Simanjuntak) lama-kelamaan tak terpakai. Dan, contoh saat ini, ketika banyak perempuan bekerja di belakang kamera, tak sempat muncul sebutan kamerawati. Mereka tetap disebut kamerawan.
Memang ada ketidakkonsistenan dalam penggenderan itu. Ada sebutan berbau pembedaan kelamin yang masih bertahan, misalnya polwan alias polisi wanita. Padahal sebelumnya tak ada sebutan polisi laki-laki alias polki. Sebutan polki justru muncul ketika ada sebutan polwan. Di kalangan angkatan bersenjata, ada juga sebutan Kowal (Korps Wanita Angkatan Laut), Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat), atau Kowau (Korps Wanita Angkatan Udara). Bedanya dengan polwan, di ketiga angkatan itu tak sampai muncul sebutan Kolal (Korps Laki-laki Angkatan Laut), Kolad, atau Kolau.
Tapi bahasa Indonesia konsisten mempertahankan pengelompokan gender serapan dari bahasa Arab. Kata hadirin dijejerkan hadirat untuk menyebut undangan laki-laki dan perempuan. Selain itu,
ada kata almarhum dan almarhumah, ustadz dan ustadzah, qari dan qariah, muslimin dan muslimat, serta mukminin dan mukminat. Pengguna bahasa Indonesia seperti tak mengutak-atik pertalian gender ini.
*) Wartawan Jawa Pos
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo