Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara
Menteri Negara GAM, Malik Mahmud Al Haytar:

Berita Tempo Plus

16 November 2003 | 00.00 WIB

Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dideklarasikan pada 1976, namanya sama sekali tak terdengar. Dalam buku-buku yang ditulis pemimpin GAM Hasan Tiro, saat GAM berperangmelawan tentara Indonesia pada paruh kedua dekade 1970, namanya sama sekalitak muncul.

Malik Mahmud al-Haytar, 64 tahun, memang terhitung "baru" dalamkancah perang Aceh. Dibandingkan dengan Husaini Hasan (MenteriPendidikan GAM yang kini membelot dari kubu Hasan Tiro), Zaini Abdullah(Menteri Kesehatan), Daud Paneuk (Panglima GAM periode awal yang kini jugamembelot), Malik Mahmud memang bukan sang pionir. Para pendukungnyamenyebut ia orang belakang layar—karenanya, ia tak masyhur.

Nama Malik Mahmud baru muncul pada awal 1980-an, ketika sejumlahpetinggi GAM berbondong-bondong melarikan diri ke luar negeri akibattekanan hebat tentara Indonesia. Malik, yang besar di Singapura—ayahnya adalahseorang penguasa di sana—memfasilitasi pelarian itu. Ia sendiri kemudianpindah ke Stockholm, Swedia, pada akhir 1990-an, mengikuti jejak Hasan Tiro dansejumlah petinggi GAM lainnya. Dibandingkan dengan di Aceh, Maliklebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri.

Tapi kini Malik memegang posisi kunci dalam struktur GAM. Ia adalahMenteri Negara dan menjadi tangan kanan Hasan Tiro. Arus informasi dari dan menujuTiro selalu melalui Malik. Seorang wartawan asing yang mewawancarai HasanTiro tiga tahun lalu sempat mengeluh. "Hasan Tiro selalu menjawab pertanyaansaya dengan mengatakan tanyakan saja pada Malik," kata si wartawan.

Putra Mahmud al-Haytar—orang kepercayaan Daud Beureueh, tokohDarul Islam Aceh—ini memang memegang kendali. Perundingan GAM dan RIdi Jenewa selalu dipimpin pria ramping bermata tajam ini.

Tapi, di masa awal perundingan, Malik jarang muncul ke publik. Konferensipers GAM selalu diberikan Zaini Abdullah, sementara Malik menghilang sepertihantu. TEMPO pada tahun 2000 lalu pernah menemui Malik di sebuah hotel diJenewa, Swiss. Tapi ia muncul hanya 10 menit, memberi salam danbercakap-cakap, untuk kemudian menghilang lagi.Baru belakangan—ketika perundingan damai (CoHA) diteken, dan dalamperundingan susulan di Tokyo, Jepang—tampangMalik muncul di televisi.

Bulan lalu, dalam situasi perang di Aceh yang tak menentu, Malik bikingebrakan. Ia berpidato di Parlemen Eropa untuk meminta politikus di sanamemberikan perhatian lebih kepada pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.Bukan prestasi gemilang, memang: kabarnya, tak banyak anggota ParlemenEropa yang hadir dalam pertemuan itu.

Di tengah-tengah berita tentang perpanjangan masa darurat militer diAceh, wartawan Tempo News Room Faisal Assegaf mewawancarai MalikMahmud melalui sambungan telepon internasional. Berikut petikannya.


Darurat militer di Aceh diperpanjang. Apa tanggapan Anda?

Pemberlakuan darurat militer di Aceh sebenarnya tak menyelesaikanpersoalan. Darurat militer hanya merumitkan problem Aceh yang sudah begitupelik. Rakyat Aceh yang jadi korban pembantaian bertambah. Selain itu, daruratmiliter membuat pendekatan damai (dialog) antara RI dan GAM makin jauh. Darisegi keamanan dan politik, persoalan jadi bertambah runcing.

Anda merasa kalah?

Darurat militer tak membuat GAM kalah. Kebrutalan tentara RI di Acehjustru meningkatkan semangat kami untuk menentang Indonesia. Memang adaanggota GAM yang tewas dan jadi korban. Tapi, bagi kami, itu hal yang biasa. Takmenjadi persoalan. Kami sudah 27 tahun berperang. Tidak ada kata "kalah"dalam kamus kami. Buktinya, meski segala kekuatan tentara dan polisi Indonesiatumpah ke Aceh, kami tetap bertahan. Kami belum kalah.

Buktinya, banyak petinggi GAM sembunyi atau melarikan diri saatposisi GAM terjepit.

Jangan melihat persoalan dari satu sisi. Kita harus melihat fakta-faktasebenarnya. Penguasa darurat militer di Aceh mengontrol secara ketatpemberitaan media massa. Mereka takut keadaan sebenarnya diketahui orang banyak.Jelaslah bahwa semua berita itu hanya merupakan propaganda. Itu tidak benar.Pemerintah Indonesia memang lazim menggunakan propaganda lewat media massa.

Juru bicara GAM, Teungku Sofyan Daud, misalnya, malah pergi ke Malaysia.

Ia bukan lari dari medan perang. Dalam strategi kemiliteran, langkahseperti itu biasa dilakukan. Perintah selalu diberikan kepada petinggi danpanglima GAM. Mereka tidak akan ke medan perang, kecuali ada perintah.

Kami mendengar, strategi yang Anda terapkan adalah membiarkan TNImelawan prajurit GAM di lapangan—untuk menghabiskan dana perangIndonesia—sementara para panglima sembunyi di hutan.

Mereka bukan melarikan diri dari perang. Mereka bertindak sesuaidengan keadaan di lapangan. Dalam soal ini, para panglima mempunyai hak untukmenentukan kebijaksanaan. Justru merekalah yang mengetahui secaralangsung kondisi di lapangan. Tentu saja kami, pimpinan GAM di Swedia, tetapmemberi arahan kepada para panglima di medan perang. Kami perintahkanagar GAM mempertahankan diri terhadap operasi-operasi yang dilakukanoleh TNI/Polri. Tidak ada perubahan kebijakan sejak tanggal 19 Mei 2003 lalu(saat pemberlakuan status darurat militer di Aceh—Red.).

Berapa kekuatan GAM yang tersisa saat ini?

Itu rahasia kami. Saya tidak bisa menyatakan jumlahnya.

Ada yang menyebut sekitar 10 ribu. Benarkah?

Anda boleh bilang begitu. Tapi, di Aceh, orang yang berteriak untukberperang dan memberikan korban nyawa tidak pernah kurang.

Berapa biaya yang sudah dikeluarkan GAM untuk berperang?

Kami tidak bisa menyebut jumlahnya secara pasti. Untuk membeli senjatasaja, kami sudah menghabiskan dana lebih dari US$ 10 juta. Senjata memangmenghabiskan biaya yang besar.

Siapa pemasok senjata GAM?

Kalau ada perang, justru senjatalah yang muncul dan mencari pembeli.

Anda memimpin GAM dari Swedia. Bagaimana koordinasi bisa efektifdilakukan?

Secara ringkas, hubungan (kami) dengan mereka (di lapangan) tetap ada.Itu berjalan seperti biasa.

Perintah Anda lakukan via telepon?

Maaf, itu rahasia kami yang tidak bisa dibuka. Yang pasti, kami mempunyaibeberapa cara untuk melakukan komunikasi.

Siapa Panglima Tertinggi Militer GAM di Aceh saat ini?

Masih T. Muzakkir Manaf.

Kabarnya, Anda juga mendengarkan nasihat Karim Bangkok, petinggimiliter GAM di Thailand?

(Peranan) dia biasa saja. Dia hanya penasihat saya dalam bidang militerdan politik.

GAM terkesan tidak fair dalam berperang. Pasukan Anda mencopotseragam dan bergabung dengan rakyat sehingga penduduk sipil banyak jadi korban?

Pada dasarnya tentara GAM adalah tentara gerilya. Soal pakaian tidakpenting. Yang paling penting adalah organisasi dan senjatanya. Dalamkeadaan Aceh sekarang ini, keadaan mendesak supaya tentara GAM beroperasisecara gerilya.

Bukannya itu karena GAM merasa tak seimbang dengan TNI dalam halkemampuan pasukan dan persenjataan?

Bukan tidak mampu, itu hanya taktik. Sejak Aceh Merdeka tahun 1976,ketika kami hanya memiliki 200-300 orang hingga kini, kami masih bisa bertahan.

Anda merasa publik Aceh mendukung GAM?

Bagi orang Aceh, Indonesia adalah penjajah yang maumenghancurkan bangsa Aceh. Kami telah membuktikan itu.

Tapi, sebagian masyarakat Aceh menganggap darurat militer menciptakankeamanan. Pemerasan oleh GAM, misalnya, bisa ditekan.

Itu propaganda pemerintah Indonesia. Orang yang mendukung daruratmiliter adalah antek-antek RI. Mereka adalah pengkhianat yang mementingkandiri sendiri. Jumlah mereka tak banyak.

Berapa pun jumlahnya, mereka juga orang Aceh yang pendapatnya harusdidengar.

Kalau mau berpikir waras, masa ada orang yang mau saudara-saudaranyadibunuh. Jelaslah mereka kaki tangan pemerintah Indonesia. PemerintahIndonesia ingin memanfaatkan mereka seolah-olah darurat militer keinginanrakyat. Itu propaganda murahan.

Soal pajak nanggroe yang kerap dikeluhkan sebagai pemerasan,bagaimana Anda menjelaskannya?

Citra itu sengaja dibentuk oleh propaganda RI. Bagi kami, GAMmerupakan sebuah negara. Kami berkewajiban dan berhak memungut pajak atasorang-orang yang memiliki kemampuan. Tapi sifatnya sukarela dan tidakmemaksa. Sebaliknya, kami berpandangan yang dilakukan pemerintah Indonesia diAceh tidak sah. Mereka bukan hanya memungut pajak, malahan merampok gasalam dan kekayaan lainnya.

Betulkah pajak itu terutama diambil oleh Anda dan petinggi GAM laindi Swedia?

Hasil pajak tersebut digunakan oleh GAM untuk aktivitas di Aceh. Kamiyang di luar negeri tidak pernah menggunakannya.

Citra buruk yang melekat pada GAM lainnya adalah pasukan Andadikenal suka menculik penduduk sipil. Wartawan RCTI,Ersa Siregar, misalnya, hingga kini belum dibebaskan.

Istilah "penculikan" sebenarnya tidaklah tepat. Mereka adalah sanderayang kami tahan. Soal wartawan yang kami tahan, itu karena kami mencurigaimereka sebagai mata-mata TNI/Polri. Soalnya, dalam status darurat militer, TNIbisa memanfaatkan informasi dari wartawan. Bahkan mereka selalumembawa wartawan dalam operasi mereka.

Apakah ada indikasi bahwa Ersa Siregar mata-mata?

Hasil pemeriksaan kami menunjukkan mereka bukan mata-mata. Menurutaturan, kami harus segera membebaskannya. Tetapi militer Indonesia ada dimana-mana. Kalau dibebaskan begitu saja, justru membahayakan mereka. Merekabisa ditangkap, ditembak, atau dibunuh oleh tentara. Kami khawatir kamidituduh yang melakukannya. Sekarang diperlukan situasi penyerahan secara amandan resmi. Tapi pihak TNI/Polri tidak mau bekerja sama.

Bukankah Palang Merah Indonesia bersedia menjadi mediator?

Saya telah meminta pasukan kami supaya sesegera mungkin melepaskansandera tersebut. Tapi, persoalannya, (pasukan) di lapangan meminta waktubeberapa hari agar keadaan tenang di daerah itu. TNI/Polri belum memberilampu hijau untuk memberikan waktu yang cukup buat pelepasan.

Soal dukungan internasional, hingga kini tak ada negara atau lembagaasing yang mendukung kemerdekaan Aceh?

Saya tidak bisa menyebutkan (negara yang memberikan dukungankepada kami). Tapi saya melihat banyak yang bersimpati.

Mereka sudah mulai membicarakan pelanggaran hak asasi manusia diAceh. Padahal, lima tahun yang lalu tidak ada respons sama sekali.

Dibandingkan dengan dukungan internasional kepada Indonesia, apakahAnda merasa gagal?

Terlalu dini untuk menyebutkan bahwa kami telah gagal. Selama 27tahun kami tidak pernah melakukan diplomasi seperti ini. Tapi kami sudahdiundang oleh Parlemen Eropa untuk membicarakan masalah Aceh. Tanggal 5Juni 2003, Parlemen Eropa telah mengeluarkan resolusi agar perundingan antarapihak RI dan GAM terus dilakukan. Kami menyambut baik dasar-dasar yangmereka usulkan. Kami juga tengah mengupayakan kemungkinan adanyaperundingan kembali dengan pihak RI.

Anda mempercayai perundingan damai?

Kami selalu mempunyai niat baik untuk menyelesaikan perkara Acehmelalui jalan dialog. Sebenarnya itu sudah pernah diupayakan lewatKesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA). Tapi,seperti Anda ketahui, Indonesia tidak senang dengan perjanjian itu.

Selain Uni Eropa, negara mana lagi yang Anda harapkan bisamemaksa Indonesia kembali ke meja dialog?

PBB, Amerika, Jepang, dan negara-negara besar lainnya. Mereka bisameminta Indonesia mencari jalan yang lebih rasional dalam menghadapi persoalandi Aceh. Krisis Aceh tidak bisa diselesaikan secara militer.

GAM ingin Aceh merdeka, RI menolaknya. Menurut Anda, bagaimanakedua prinsip ini bisa disatukan?

Kalau hati kita sedang panas, seolah-olah tidak ada hal yang bisadilakukan. Kalau dalam keadaan tenang, tentu akan ada jalan yang bisa diterima keduabelah pihak. Sayangnya, ketika perjanjian telah tercapai, TNI/Polri malahmelakukan kekerasan secara militer. Mereka tidak memberi kesempatan bagi keduabelah pihak untuk mendapatkan ketenangan.

Jika dialog sampai dilakukan lagi, apa tawaran final dari GAM?

Saya tidak bisa menyebutkannya sekarang. Sejak Mei 2003, persoalanAceh makin kompleks. Status darurat militer justru membuat persoalan makinruncing.

Anda telah melaporkan adanya pelanggaran hak asasi manusia di Acehke Komisi HAM Eropa. Ada tindak lanjut?

Kami hanya membuat laporan sekadarnya karena tidak bisa membuatpenyelidikan secara teliti. Saya kira ratusan, atau mungkin ribuan, orang Acehdibunuh. Tapi dalam hal ini pemerintah Indonesia menutup-nutupkebenaran, meskipun melanggar undang-undang Indonesia sendiri. Kami juga sudahmelaporkan ke Komisi HAM PBB.

Apa saja pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi?

Pada bulan pertama dan kedua darurat militer, banyak orang yang dibunuh begitu saja. Karena para aktivis hak asasi dan wartawan di dalam negeri dibatasi, apa yang terjadi di Aceh tidak diketahui publik. Presiden Megawati dan Panglima TNI harus bertanggung jawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus