Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Di Tim-Tim, Kita ini Seperti Satpam"

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kawat penting dari New York jatuh di Ismailia, Mesir, pada suatu pagi, 13 Januari 1977. Kawat itu dikirimkan atas nama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh Sekretaris Jenderal PBB Kurt Waldheim kepada Rais Abin. Isinya mengangkat Rais, yang saat itu menjabat Kepala Staf dan Penjabat Panglima United Nations Emergency Force (UNEF) II atau Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah, menjadi Panglima UNEF II di Sinai Bufferzone. Daerah Penyangga Sinai itu terletak di kawasan gurun di dekat Ismailia—140 kilometer dari Kairo, ibu kota Mesir. Di daerah itulah berada sejumlah pasukan PBB untuk membantu menengahi pertikaian Arab-Israel selepas perang 1973 yang menghebohkan dunia.

Kawat itu sekaligus memberikan tanggung jawab kepada Rais Abin—telah bertugas di UNEF II sejak Juni 1976—memimpin 7.000 anggota pasukan dari Swedia, Finlandia, Polandia, Kanada, Australia, Senegal, Ghana, dan Indonesia. Misinya adalah sebisa mungkin membuka dialog dan membangun perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa. ''Go there and make peace, nothing else!" Itulah perintah singkat yang diterima Rais dalam pertemuannya dengan Kurt Waldheim pada Desember 1976.

Siapakah Rais Abin? Nama ini tadinya tidak menyimpan catatan luar biasa dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia malah beberapa kali hampir keluar dari dinas ketentaraan karena merasa sudah di ''ujung jalan". ''Jabatan kolonel saya pegang hingga delapan tahun," ujar Rais, yang baru dilantik menjadi brigadir jenderal pada 1973.

Rais sudah terlibat dengan dunia militer jauh sebelum ia resmi menjadi tentara. Pada 1946, ayah tiga anak ini menjadi penyelundup senjata (gunrunner) dari Singapura untuk tentara Indonesia. Namun, pendidikan militer resmi baru ia selesaikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), Bandung, pada 1956. Pria kelahiran Kotagedang, Sumatra Barat, 15 Agustus 1926 ini kemudian melengkapi studinya di Australian Army Staff & Command College (1963-1964). Jabatan terakhirnya sebelum berangkat ke Timur Tengah adalah Wakil Seskoad di Bandung. Dari kota yang dingin itu, Rais pindah ke daerah gurun yang panas dan tandus.

Jabatan Kepala Staf UNEF hanya dipegangnya selama enam bulan. Sejak pertengahan 1976, ia menjabat Wakil Panglima UNEF dan praktis mengerjakan sebagian besar tugas kepanglimaan. Lalu, pada awal 1977, sebuah kawat penting dari New York di atas mengangkatnya sebagai panglima. Jabatan itu dipegangnya hingga 1979. Sukses di Sinai membuat PBB kembali menawari Rais Abin membangun misi perdamaian di Namibia. Namun, Jenderal M. Jusuf, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI (Menhankan/Pangab) ketika itu, meminta Rais kembali ke Tanah Air untuk membantu TNI. Ia menjadi Asisten Perencanaan Umum (Asrenum) Menhankam/Pangab.

Dari militer, Rais pindah ke jabatan sipil. Ia menjadi Duta Besar RI di Malaysia (1981-1984) dan Singapura (1984-1988). Setelah pensiun, Rais, yang menggemari olahraga bridge, berniat menerbitkan majalah bridge. Namun, cita-cita itu tinggal kenangan karena Bank Bumi Daya memintanya menjadi ketua dewan pengawas (1989-1994). Lalu, Jumat pekan lalu, kakek tujuh cucu ini disumpah menjadi anggota MPR (1999-2004) sebagai utusan golongan Legiun Veteran—tempat ia aktif sejak 1989.

Letnan jenderal purnawirawan yang gemar berolahraga ini menikahi Dewi Rais, seorang wartawati senior Ibu Kota. Dewi pulalah yang merekam seluruh pengalaman keluarga itu selama empat tahun di Timur Tengah dalam Catatan dari Sinai—sebuah buku setebal 120 halaman yang terbit pada 1996. Pasangan ini memang penggemar buku. Rumah kediaman mereka di Jalan Daksa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dilengkapi koleksi buku sastra dunia pilihan, politik, spionase, dan sejarah.

Di ruang baca yang dipenuhi buku dan koleksi cendera mata itu, ia memberikan wawancara kepada wartawan TEMPO Purwani Dyah Prabandari, Hermien Y. Kleden, dan fotografer Rully Kesuma.

Petikannya:


Siapa yang memutuskan Anda menjadi Kepala Staf UNEF II di Timur Tengah?

Berita itu saya dengar saat saya sedang bermain tenis di Bandung. Terus terang, saya tidak tertarik karena itu bukan promosi. Kepala staf itu pangkatnya brigjen, sementara saya bisa menjalani tugas di Bandung dengan enak juga, dengan pangkat brigjen. Jadi, kenapa harus pergi jauh-jauh? Itu terjadi pada minggu pertama Desember 1975. Permintaan itu diajukan oleh PBB kepada TNI karena saat itu giliran Indonesia mengisi jabatan kepala staf.

Jadi, walau tidak tertarik, Anda akhirnya berangkat juga?

Itu sudah keputusan. Pada 20 Desember 1975, saya dipanggil ke Jakarta oleh Pak Soerono, Wakil Panglima ABRI. Pak Soerono bilang, ''Kita ingin kamu yang ke Timur Tengah." Menurut Pak Soerono, Menhankam Panggabean telah memutuskan saya yang berangkat. Jadi, prosesnya sudah selesai di level Hankam.

Bagaimana posisi Indonesia di UNEF pada masa itu?

Kita sudah punya kontingen di sana tapi belum ada yang mendapat jabatan kepala staf. Nah, karena sejauh itu memang tidak pernah ada orang Indonesia yang memegang posisi tersebut, pembekalan yang saya peroleh dari para atasan juga terbatas, hanya mengenai area dan politik. Memang saat itu giliran Indonesia untuk mengisi posisi kepala staf. Akhirnya, saya berangkat saat tahun baru 1976 dan langsung menuju markas UNEF di Ismailia

Apa saja yang Anda lakukan sebagai kepala staf?

Saya membawahkan kontingen Swedia, Finlandia, Polandia, Kanada, Australia, Senegal, Ghana, dan Indonesia. Saat itu, atasan saya, Panglima UNEF II, Letnan Jenderal Liljestrand, menghadapi banyak kesulitan dalam kerja sama dengan Israel dan Mesir. Orang ini, seperti Jenderal Simatupang, sangat pintar tapi mungkin terlalu tinggi untuk lapangan. Akhirnya, dia sakit dan dikirim pulang. Dan pemerintah Swedia meminta supaya tugasnya jangan dilanjutkan.

Jadi, Anda otomatis menjadi penjabat Panglima UNEF II?

Ya, sejak 1 Desember 1976, karena sebelumnya saya menjadi kepala staf. Sebelum itu, saya sering menjadi penjabat panglima karena Jenderal Liljestrand praktis hanya lima bulan pertama ada di Sinai.

Apa yang Anda katakan ketika diminta menjadi Panglima UNEF pada 1 Januari 1977?

Saya bilang kepada Kurt Waldheim, tugas ini bisa saya terima dengan dua syarat. Pertama, ada persetujuan dari pemerintah saya. Kedua, saya ingin jaminan dari pihak Israel bahwa mereka akan membantu saya. Kalau Israel menolak, mendingan tidak usah.

Apa yang terjadi setelah itu?

Saya diberi kesempatan satu bulan untuk memberikan jawaban. Dalam pada itu, saya berangkat ke Israel untuk berbicara dengan pihak departemen pertahanan dan keamanan di sana.

Bagaimana Anda menjadi panglima sebuah pasukan perdamaian antara Mesir dan Israel, sementara Anda berasal dari Indonesia, yang tidak mengakui Israel?

Makanya, saya berangkat ke Tel Aviv menemui Shimon Peres, Menteri Pertahanan Israel. Saya bilang kepadanya, ''Simon, Kurt Waldheim, atas nama Dewan Keamanan PBB, meminta saya menjadi Panglima UNEF II. Ini bukan tawaran yang mudah. Dan saya tidak akan menerima tugas tersebut kalau tidak ada jaminan dari pemerintah Israel. Sebab, kalau tidak mendapat dukungan Israel, saya akan gagal. Dan saya tidak mau gagal."

Jawaban Peres?

Kami saling menatap beberapa saat. Lalu, ia mengatakan, ''Rais, ini adalah preseden yang buruk karena negara Anda terus-menerus menghujat kami. Tapi Anda memang pilihan terbaik." Ia berjanji memberikan dukungan. Kemudian, kami berjabat tangan. Itu adalah keputusan bersejarah yang dibuat Israel. Saya tidak pro-Yahudi, tapi saya amat menghormati sikap yang diberikan Israel.

Benarkah pasukan Indonesia tidak boleh masuk ke Israel ketika itu?

Selama saya menjadi kepala staf, pasukan Indonesia memang tidak bisa masuk ke negeri itu. Gerakan mereka dibatasi. Kemudian, saya pergi ke sana dan mendatangi petugas penghubung pertahanan Israel. Saya bilang, ''Baret biru (lambang pasukan PBB) adalah simbol kesetiaan untuk kita semua. Sekali kita memakai baret biru, kesetiaan Anda ke negara Anda berakhir." Artinya, sekali kita menjadi anggota kontingen PBB, kita mengalahkan kepentingan negeri kita. Setelah itu, pasukan Indonesia bisa berlibur ke Yerusalem.

Apa yang membuat Israel yakin terhadap kenetralan Anda meski Anda berasal dari negara yang memihak Arab?

Barangkali soal komunikasi. Salah satu lelucon tentang pengangkatan saya menjadi panglima adalah karena saya berdarah Padang sehingga piawai bernegosiasi. Misi UNEF II adalah menciptakan perdamaian. Nah, bagaimana melakukannya? Menurut saya, faktor paling penting adalah komunikasi aktif yang bisa mempertemukan kedua pihak. Setuju atau tidak setuju itu soal lain. Tapi setidaknya mereka berkomunikasi. Maka, kami membuat pertemuan mingguan di padang pasir yang dihadiri perwira penghubung dari Israel dan Mesir. Langkah ini setidaknya dapat menenangkan dendam kesumat kedua belah pihak.

Apa saja kesulitan dalam pertemuan rutin yang dihadiri kedua seteru tersebut?

Memang tidak mudah. Sering kami harus menengahi kedua pihak yang saling tuding dalam rapat. Mesir mengatakan, ''Kemarin kita lihat Israel melanggar perbatasan hingga 12 kilometer." Israel menjawab, ''Ah, kita kan cuma latihan." Mesir menimpali, ''Ya, sudah, besok kita juga akan latihan di daerah yang sama." Jadi, peran kita ini kadang-kadang seperti ''menimbang dua istri secara adil", ha-ha-ha....

Tentu ada kiatnya membuka negosiasi antara dua pihak yang siap saling mencabik setiap saat, selain ''menimbang dua istri secara adil"?

Pihak UNEF tidak terlibat negosiasi. Kami hanya mendorong dan menjadi semacam moderator supaya kedua belah pihak itu lancar berkomunikasi dalam pertemuan mingguan.

Apakah Anda menilai bahwa hasilnya memuaskan?

Oh, ya. Lepas dari semua pertengkaran itu, mereka setuju dengan semua proposal kesepakatan awal saat pembentukan pasukan penjaga perdamaian. Misalnya, kalau ada daerah penyangga, di daerah-daerah tertentu tidak boleh ada senjata berat. Pada jarak tertentu tidak boleh ada peluru kendali. Dan semua itu mereka tandatangani. Kita juga berhasil mencapai kesepakatan tentang titik-titik pengawasan (check point) di puncak Sinai, yang diawasi oleh tentara Amerika Serikat. Intinya, kita berhasil membangun suasana matang menuju tercapainya pertemuan Camp David pada 1979.

Di mana Anda berada ketika Presiden Mesir Anwar Sadat berpidato di depan Knesset (parlemen Israel) pada 1979?

Saat itu saya sedang ikut rapat di Ismailia. Mesir dan Israel kan merahasiakan itu. Tiba-tiba Anwar Sadat terbang ke Yerusalem dan kami melihatnya berpidato di televisi. Dalam hati, saya bilang, ''Selesailah tugas saya." Saya sangat bahagia karena semua berakhir dengan baik.

Apakah keberhasilan pasukan penjaga perdamaian hingga membawa Mesir-Israel ke Perjanjian Camp David merupakan keberhasilan UNEF?

Tidak. Sesudah di lapangan tidak ada kecurigaan-kecurigaan, pada tingkat yang lebih atas pembicaraan menjadi lebih lancar. Jadi, saya melihat bahwa sumbangan dari UNEF memang ada, tapi tidak perlu sampai dijadikan faktor utama. Namun, UNEF memainkan peranan untuk menciptakan suasana yang memungkinkan terciptanya perdamaian.

Dari dua negara yang berseteru itu, pihak mana yang lebih sulit dihadapi?

Terus terang, lebih parah menghadapi Arab ketimbang Yahudi. Dalam soal janji, misalnya. Suatu ketika, saya membuat janji dengan seorang pejabat tinggi Mesir. Saya menunggu sampai satu jam lebih. Namun, dia tidak muncul. Ketika kami bertemu dalam suatu acara, dia tidak minta maaf, bahkan dengan riang menyapa, ''Halo, Rais. Apa kabar?" Lain sekali halnya ketika saya berjanji dengan para petinggi negara atau perwira Israel. Mereka selalu tepat waktu.

Bagaimana Anda menjaga netralitas pasukan Indonesia di Sinai?

Dengan mengingat bahwa Anda bertugas sebagai wakil PBB. Itu saja. Dalam hal pasukan lain, itu juga sama karena setiap enam bulan ada pergantian pasukan, kecuali Polandia, yang menjadi mata dan telinga Uni Soviet, dan Kanada bagi Amerika Serikat. Kedua negara digdaya ini tidak bisa masuk ke dalam pasukan karena memegang hak veto Dewan Keamanan PBB sehingga tidak boleh ikut dalam operasi penjaga perdamaian. Tapi kita tahu betul, kalau kita berbicara dengan orang Polandia, laporannya masuk ke Moskow, bukan ke Warsawa. Sedangkan Kanada akan melapor ke Washington, D.C.

Apa penilaian Anda terhadap kinerja pasukan Indonesia?

Dibandingkan dengan pasukan asing lainnya, pasukan Indonesia punya pandangan hidup lebih simpel, tapi dalam banyak hal juga lebih naif. Khusus di bidang komunikasi, kita sangat lemah.

Komunikasi?

Bahasa komunikasi UNEF adalah bahasa Inggris. Inilah yang berat bagi pasukan Indonesia, yang bahasa Inggrisnya amat lemah. Pada suatu hari, saya mengadakan inspeksi. Tatkala memeriksa kamar seorang kolonel—kini seorang perwira tinggi purnawirawan—saya menemukan bacaannya novel karya Agatha Christie dalam terjemahan Indonesia. Jadi, saya bertanya bagaimana mereka belajar bahasa Inggris di Akabri atau SMA. Mereka lupa bahwa berbahasa Inggris adalah cara efektif meluaskan wawasan. Jadi, Indonesia lebih terkenal sebagai orang yang lebih sering tersenyum daripada berbicara.

Apa tugas kontingen Indonesia di UNEF II?

Indonesia diberi daerah yang harus dikawal dan diduduki. Daerah penyangga Sinai panjangnya 290 kilometer dan lebarnya 30 kilometer. Daerah seluas ini dibagi ke dalam empat wilayah tanggung jawab. Salah satunya, Indonesia. Mereka harus memelihara hubungan baik di perbatasan-perbatasan, baik dengan Yahudi maupun dengan Mesir.

Indonesia sudah mengambil peran di misi perdamaian PBB sejak 1952. Menurut Anda, apakah citra TNI memang sedang berkibar pada masa itu?

Kita sudah memberikan sumbangan untuk perdamaian dunia sejak 1952. Kontingen Indonesia di UNEF I pada 1973, misalnya, mendapat tugas di Jalur Gaza di bawah pimpinan Kolonel Jati Kusumo. Buat PBB, Indonesia adalah negara yang selalu mendukung pasukan penjaga perdamaian. Namun, untuk mengatakan apakah kita punya citra internasional yang bagus, itu bergantung pada media-media internasional yang menyiarkannya.

Selama tiga tahun lebih Anda tidak punya kewajiban langsung kepada negara, bagaimana perasaan Anda?

Kontak saya dengan negara adalah kontak formal. Saya sudah menjadi pejabat PBB. Dengan demikian, gaya yang saya pergunakan gaya PBB, tetapi tetap memperhatikan kebudayaan Indonesia.

Apa maksudnya gaya PBB?

Saya bisa langsung menelepon dan bicara dengan Sekjen PBB Kurt Waldheim. Tapi, jangan coba-coba melakukan itu [dengan para pejabat tinggi] di Indonesia. Ini soal budaya, kebiasaan.

Apakah ada perasaan ''turun pangkat" setelah pulang ke Indonesia, setelah beberapa tahun menjadi pejabat penting di PBB?

Tidak ada. Tetapi banyak orang Indonesia melihat saya dengan cara berbeda. Bahkan Menhankam M.Jusuf memperkenalkan saya ke mana-mana sebagai ''panglima dunia".

Bagaimana Anda melihat citra TNI?

Terus terang, saya sangat malu dan sedih melihat keadaan TNI sekarang. Di Tim-Tim, kita ini seperti satpam. Kita dulu pergi ke mana-mana menjadi bagian dari pasukan perdamaian PBB. Kita mendapat pujian karena bisa menjalin perdamaian antara suku Arab dan Yahudi yang bermusuhan. Sewaktu bertugas di Timur Tengah, tak pernah sekalipun saya membayangkan, negeri kita sekali waktu akan menjadi ajang operasi perdamaian PBB. How come? Memalukan!

Menurut Anda, mengapa citra TNI bisa rusak?

Citra ini bahkan sudah jauh menurun sebelum ini, sejak 1954. Awalnya adalah ketidakmampuan kita memberikan penghasilan yang cukup bagi prajurit dan bagi pegawai negeri pada umumnya. Di situlah korupsi mulai berkembang. Saya masih ingat, gaji saya ketika letnan satu Rp 180. Dan kami bisa hidup dengan gaji tersebut. Karena kami ingin berfoya-foya sedikit, istri saya bekerja di USIS (United States Information Services).

Mengapa sejak 1954?

Karena pada tahun itulah Biro Pusat Statistik menemukan data bahwa kebutuhan hidup tidak lagi bisa ditutup oleh penghasilan, baik para prajurit maupun pegawai negeri. Lalu muncul yayasan-yayasan seperti Yayasan Diponegoro. Liem Sioe Liong kan mulai dari sana. Dan tentara mencari penghasilan tambahan dengan berbisnis karena memang tidak ada cara lain. Saya kira inilah saat penurunan moral tentara kita. Mungkin soal perkolusian belum begitu intensif. Tapi saat itu sudah muncul ide-ide non-budgetary income—pendapatan di luar bujet.

Bukankah ide ini yang dihantam habis oleh Bung Hatta?

Persis. Bung Hatta mengatakan, ''Once you start talking about non-budgetary income, then the country is gone." Karena kemudian korupsi mulai terjadi. Yayasan Darmais dan berbagai yayasan lain itu kan kelanjutan dari program non-budgetary income. Cita-cita sebenarnya bagus, misalnya nanti menjadi dana abadi untuk kesejahteraan prajurit. Tetapi ternyata omong kosong. Sekali kita memiliki pendapatan di luar bujet, kita mulai jatuh.

Dari satu segi, bukankah manusiawi bila para anggota TNI berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan satu dan lain cara?

Sangat manusiawi. Maka, pangkal soal adalah kenegarawanan para pemimpin nasional kita yang diragukan. Anda tahu bahwa Bung Karno adalah freedom fighter. Yang penting ide, buat dia soal uang dan lain-lain adalah ''tetek bengek administrasi". Jadi, waktu Perdana Menteri Juanda bicara gaji prajurit, misalnya, Bung Karno bilang, ''Kamu yang bagian uang. Saya bertanggung jawab untuk nation building". Padahal, itu mengganggu langsung perkembangan moral dari para pejabat maupun prajurit.

Dari pengalaman sebagai Panglima UNEF, apa yang menurut Anda paling tepat dilakukan Interfet di Tim-Tim?

Saya kira kedudukan Peter Cosgrove sekarang memang sulit. Pemerintah Australia begitu ambisius sehingga mau menerima misi ini. Saya kira Cosgrove orang yang cukup matang. Tetapi bawahannya bukan seperti dia. Dalam hal ini, saya tidak akan menghilangkan kemungkinan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan oleh Interfet.

Dari segi militer, apa sebetulnya yang paling rumit di Tim-Tim?

Secara militer masalahnya mudah. Jauhkan pengaruh yang memperburuk situasi. Hajar mana yang tidak mau ikut. Selesai. Kalau tidak mau taat, pukul. Jadi, seperti mengajar anak. Tetapi tidak usah kejam. Hanya, dari segi politis memang sulit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus