Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Melawan Heroisme Amerika

Sebuah komik Prancis diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Bukan komik yang menyenangkan. Ia menggugat kekakuan hubungan kota dengan penghuninya.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENARA
Penulis:Benoit Peeters dan Francois Schuitten
Penerjemah:Wiwi Siregar dan Azizah Asnawi
Penerbit:Pusat Kebudayaan Prancis dan Forum Paris-Jakarta

NENARA tua itu adalah hidup Giovanni Batista. Dalam kesendirian, ia menghirup debu dari batu lapuk yang terberai. Berteman lampu lilin dan baju kumal yang melekat di tubuhnya, ia merawat dan memperbaiki tiap celah bangunan kusam yang telah bersatu dengan dengus napasnya. Tanpa pemelihara menara ini hanyalah sebuah dagelan, katanya dengan menggerutu dalam kesendirian. Namun, suatu hari segalanya berubah. Giovanni pergi meninggalkan kawasan Menara yang sudah menjadi tanggung jawabnya bertahun-tahun. Ia ingin melihat bagian lain dari menara itu.

Dia bertemu dengan ilmuwan Elias Aureolus Palingenius dan seorang wanita bernama Milena. Dari pertemuan dengan Elias yang memiliki perpustakaan yang dipenuhi lukisan tentang menara itu, Giovanni dan Milena bertualang mendaki hingga puncak menara yang diyakini menyimpan jawaban tentang bangunan itu. Melalui perjalanan yang panjang dan sulit—diselingi percintaan kedua sosok ini—Giovanni terbawa masuk ke dalam lakon pertempuran dalam sebuah lukisan. Akhir cerita kisah ini adalah tragedi. Ternyata, Giovanni tak mau mengingat lagi tentang menara tempat tinggalnya. Bangunan tinggi itu telah membebani dan melumatnya.

Jalinan cerita yang dirajut Benoit Peeters dan Francois Schuitten dalam komik yang berjudul La Tour atau dalam versi Indonesianya Menara itu memang terasa absurd. Apalagi bila kita membandingkannya dengan komik komersial konvensional yang tujuannya antara lain menghibur dan melucu. Komik yang digambar dengan teknik arsir hitam putih—kecuali untuk gambar lukisan milik Palingenius—ini memiliki simpul cerita yang terasa asing, bahkan monoton. Di sepanjang cerita, sang pengarang memilih setting komik hanya dengan berputar-putar di beberapa bagian dalam bangunan itu.

Namun, justru itulah kekuatan komik ini. Setiap panel dipenuhi gambar yang sarat sentuhan arsitektur dengan pergerakan sudut yang dinamis, bahkan acap terasa radikal. Seketika Schuitten menggambarkan sebuah close up detail lengkap bangunan itu, tapi sekejap pula gambar Menara Babel yang didirikan pada abad ke-16 itu disajikan dari jauh dalam perspektif yang proporsional dengan teknik arsir yang sempurna dan konsisten.

Bangunan atau kota memang telah menjadi ciri dua komikus ini. Selama hampir lebih dari 20 tahun mereka bekerja sama menelusuri sudut berbagai kota dan bangunan di Eropa. Hasil perjalanannya itu dituangkan dalam serial komik Les Cites Obscures atau Kawasan Suram. Menara adalah salah satu komik serial itu. Dalam serial itu, Francois Schuitten yang berasal dari keluarga arsitek dan Benoit Peeters, kelahiran Paris, Prancis, 28 Agustus 1956, ini mengawinkan realitas dan imajinasi terhadap bangunan atau kota yang ditemui.

Komik karya Schuitten dan Peeters pertama kali terbit pada Juni 1982, Les murailles de Samaris mengetengahkan kehidupan dalam sebuah kota yang bernama Xhystos, kota hasil rekaan mereka yang ditaburi bangunan bergaya art nouveau. Tema sejenis dapat ditemui dalam 13 karya lainnya, umumnya selalu berkisah tentang bangunan atau kota dengan warga penghuninya.

Lewat serial Kawasan suram ini agaknya mereka ingin mengembalikan cerita bergambar pada posisinya yang semula—saat pertama kali komik dibuat, yaitu menempatkan duit pada pertimbangan akhir. Itu yang terjadi saat Rudolph Topffer menggoreskan pena pada awal abad ke-19. Sketsa orang Swiss ini awalnya dibuat untuk mengabadikan peristiwa yang terjadi di sekolah tempat dia bekerja, lengkap dengan ilustrasi dalam bahasa Prancis. Coretan itulah yang kemudian berkembang menjadi cerita grafis yang populer saat The Yellow Kid, karya Richard Outcalt, muncul pada 1896.

Dalam perjalanan berikutnya, di Amerika Serikat komik tiba-tiba menjadi sebuah industri. Dimulai dengan Little Nemo in Slumberland karya Winsor McCay, yang rutin muncul di surat kabar, kemudian berturut-turut, tokohnya Mutt & Jeff, Krazy Kat-nya George Herriman, hingga Popeye milik E. Segar serta disusul artis komik seperti Bud Fisher. Selanjutnya, pada 1920-an, Amerika dibanjiri tokoh heroik seperti Flash Gordon, Dick Tracy, dan Tarzan. Era itu dikenal pula sebagai zaman keemasan komik Amerika. Tapi, dunia digemparkan ketika Georges Remi alias Herge meluncurkan petualangan si wartawan jambul, Tintin. Kesuksesan Tintin serta temanya yang berbeda dengan komik heroik Amerika, yang memberi kesan komik adalah bacaan ringan dan murah meriah, mulai memberi definisi baru bagi dunia komik secara umum. Tintin, anjing Snowy, serta karakter-karakter lain yang kemudian menjadi kosakata baru bagi penikmat komik membuat sebuah reposisi bagi komik sebagai sebuah bentuk sastra visual.

Di tangan Peeters dan Schuitten komik semakin ditekankan sebagai bacaan yang tidak saja menghibur. Ia tidak cukup untuk dinikmati saat menunggu di halte bus. Duo ini mengangkat tema yang berbeda dari kehidupan manusia yang luput dari perhatian komikus lain, yaitu relasi dengan manusia dan kota yang dieksplorasi menjadi sebuah gagasan cerita. ''Biasanya hubungan satu orang dengan yang lain dengan kotanya sendiri sangat kurang peka." kata Schuitten yang dilahirkan di Brussels, Belgia, 26 April 1956 itu.

Gaya bercerita dengan plot linier, karakter tokoh yang kuat, dan padatnya kalimat perenungan membuat komik ini terasa seperti novel. Peeters pun menyebut bukunya sebagai komik novel. Larik filosofis di dalam dialognya kian ''menovelkan" komik ini. Simak saja kata-kata Elias pada Giovanni, ''Membangun menara sama absurdnya dengan kalau kita ingin menyentuh Tuhan dengan jari-jari kita. Jarak antara kita dan langit sangat jauh, betapapun tingginya menara itu sama sekali tidak mendekatkan kita."

Membuat komik yang panjang, seperti halnya buku atau novel, rupanya telah menjadi ambisi Schuitten dan Peeters. Mereka berhasil. Komik Menara merupakan karya Schuitten dan Peeters yang pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Asia, sebelumnya serial ini telah terjemahkan ke dalam 10 bahasa. Sejak pertama kali terbit, serial ini telah laku sekitar 120 ribu eksemplar. Tak aneh bila di Belgia, menurut Schuitten, mereka bukan hanya memiliki pembaca setia tapi juga menggelitik komikus muda untuk mulai menggauli tema dan gaya komik serial Kawasan Suram itu. Sayang sekali, komik yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini disertai dengan penerjemahan yang kaku dan harafiah. Penerjemahan, kita tahu, tentu bukan sekadar menerjemahkan kata-kata, tetapi juga menerjemahkan kultur dan rasa. Sosok Giovanni yang tampak—dari visual dan penokohan—adalah unik, solitaire, dan sering ngeggerundeng (akibat hidupnya yang sendirian selama puluhan tahun di dalam menara). Sumpah serapah dan monolog Giovanni itu seharusnya terasa percampuran antara getir dan humor, dan itu diterjemahkan dalam teks yang sungguh datar dan kaku.

Namun, yang terpenting komik ini merupakan upaya dalam membendung pengaruh mendunianya komik Amerika dan Jepang yang menjual heroisme semata. ''Kami tak bersikap negatif terhadap mereka. Kami tidak ingin komik menjadi seperti fast food, yang di mana pun rasanya akan sama. Kami ingin sesuatu yang lain," kata Schuitten. Dan komik Menara memang bukan fast food yang gampang dimasak dan gampang dicerna untuk kemudian keluar lagi sebagai kotoran. Komik ini adalah sepinggan makanan rohani yang penuh dengan simbol yang multi-interpretatif.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus