Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Merdeka yang mengitari Taman Monas di jantung Ibu Kota masih lengang pada pukul lima pagi tatkala Dahlan Iskan mulai ber-jogging. Perawakannya langsing dan sporty—hasil disiplin berolahraga—dibalut celana training dan kaus berkerah. Menteri Badan Usaha Milik Negara memang gemar berolahraga.
Sejak Dahlan diangkat menjadi menteri, pelataran Monas menjadi tempat rutin dia berlari pagi dan bersenam. Dari situ, Dahlan tinggal menyeberangi jalan ke kantornya, di Merdeka Selatan. Pagi itu, Rabu pekan lalu, Dahlan bergabung dengan warga Jakarta yang sudah menyiapkan perangkat sound system untuk memutar musik pengiring senam, dari SKJ '88 hingga Gangnam Style yang dibawakan PSY.
Jeda pergantian musik dia manfaatkan untuk menyapa dan bersalaman dengan orang di sekitarnya. Setelah satu setengah jam bergoyang, ia melayani satu per satu warga yang ingin berfoto bersama sambil saling merangkul pundak. Sehabis berolah tubuh, dia berjalan kaki ke kantornya diiringi sejumlah mahasiswa yang tampak tekun mendengarkan celotehannya.
Celotehan Dahlan memang kerap membetot perhatian publik. Dua pekan belakangan, pesan pendek yang dia kirimkan ke Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam bergulir bak bola salju yang melindas banyak pihak. Isinya soal permintaan upeti dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat kepada direksi perusahaan pelat merah alias BUMN. "SMS itu laporan saya kepada Pak Dipo sebagai ketua kelas para menteri," ujarnya kepada Tempo.
Isi pesan pendek itu kemudian bocor ke wartawan. Gayung bersambut: direktur sejumlah perusahaan BUMN mengakui adanya permintaan upeti demi terciptanya suasana rapat kerja yang bersahabat di Senayan. Satu per satu anggota Dewan membantah tudingan itu. Ketua DPR Marzuki Alie bahkan tersinggung oleh ucapan Dahlan.
Yang kemudian mengerucut adalah Dahlan seakan-akan berseteru dengan DPR. "Kok, begini?" ujarnya saat memberikan wawancara khusus kepada wartawan Tempo Adek Media Roza, Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya, dan Ananda Putri pada Rabu pekan lalu. Perbincangan berlangsung di ruang kerjanya di lantai 19 gedung Kementerian BUMN di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Sesekali Dahlan menelepon direktur perusahaan BUMN untuk memastikan jawaban yang ia berikan akurat.
Apakah Anda yang pertama melempar isu BUMN menjadi sapi perah sejumlah anggota DPR?
Tidak, saya tidak pernah bercerita ke luar. Saya hanya menyampaikannya ke Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Saya tidak berniat bongkar-bongkar karena SMS itu laporan saya kepada Pak Dipo sebagai "ketua kelas" para menteri.
Apa sebetulnya yang Anda sampaikan ke Menteri Dipo?
Salinan SMS saya kepada Presiden (Yudhoyono) pada Jumat, 19 Oktober. Saya melapor kepada Presiden bahwa ada anggota Dewan yang meminta upeti ke BUMN tapi kami berhasil menolaknya. SMS yang saya kirim ke Presiden dan Pak Dipo hanya berselisih detik.
Jadi, siapa yang membukanya ke para wartawan?
Saya enggak tahu. Tiba-tiba saya ditanya wartawan, "Pak, bagaimana itu tentang kongkalikong?" Saya kaget, dan balik bertanya "Lho, dari mana Anda tahu?" Saya pikir pasti SMS saya bocor. Kalau ditanya wartawan, saya jawab apa adanya.
Soal BUMN menjadi sapi perah DPR bukan hal yang baru. Kenapa Anda baru melapor sekarang kepada Presiden?
Sebab, sehari sebelumnya, ketika sidang kabinet, Presiden mengulang perintahnya mengawal anggaran dengan baik, jangan sampai ada kongkalikong. Sebagai menteri, saya merasa mendapat teguran, sehingga saya melapor. Selain itu, ada surat edaran dari Pak Dipo untuk menghindari praktek kongkalikong anggaran.
Ataukah ini semacam "serangan balik" Anda atas upaya anggota DPR yang ingin membahas temuan Badan Pemeriksa Keuangan tentang pemborosan di PLN sebesar Rp 37,6 triliun?
Begini. SMS saya ke Presiden dan Pak Dipo itu sebelum ada pemanggilan DPR untuk membahas audit BPK. Jadi, anggapan bahwa saya ingin melancarkan serangan balik itu tidak logis karena saya mendukung audit dan mengakui temuan itu. Bahkan angka temuan BPK seharusnya lebih besar. Temuan BPK juga tidak menyalahkan saya atau PLN. Inefisiensi terjadi karena PLN tidak mendapat pasokan gas sehingga harus memakai bahan bakar minyak untuk mengoperasikan pembangkitnya. DPR juga paham soal itu.
Kenapa Anda tidak memenuhi panggilan DPR pada 22 dan 24 Oktober?
Panggilan itu mendadak. Saya tahu dua hari sebelumnya. Lalu jarak pemanggilan kedua juga mepet. Senin (22 Oktober) dan Rabu (24 Oktober), saya dalam satu rangkaian perjalanan dari Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Jambi.
Tapi Anda tahu agenda yang akan dibahas di DPR?
Ya. Tapi kenapa tiba-tiba Komisi VII memanggil saya? Yang logis itu kan memanggil direksi PLN yang sekarang. Toh, mereka tahu permasalahannya dan ikut mengurus inefisiensi tersebut. Kalau mereka tak bisa menjawab, barulah panggil saya. Nah, ini ada apa? Kok, langsung panggil saya? Mereka bilang saya diundang sebagai mantan Direktur Utama PLN, tapi undangannya sebagai Menteri BUMN. Jadi, kalau saya enggak datang pun sebenarnya tidak jadi masalah. Tapi, seandainya saat itu ada waktu, saya pasti datang.
Menghadapi isu "sapi perah", ada direksi BUMN yang mau buka-bukaan, ada yang malu-malu dan takut. Komentar Anda?
Saya curiga direksi BUMN yang malu-malu atau takut-takut itu punya masalah. Direksi yang berani tentu merasa tidak ada masalah. Memang saya belum meminta mereka mengungkapkan pengalamannya. Saat ini, yang mereka ungkapkan itu atas inisiatif sendiri.
Siapa saja direksi yang pernah curhat kepada Anda soal permintaan upeti dari anggota DPR?
Bukan hanya curhat, tapi juga mengeluh. Direksi BUMN sekarang sudah tahu bagaimana sikap saya soal kongkalikong dan upeti. Makanya mereka mengeluh, "Bagaimana ini, Pak? Kan, sudah ada surat edaran (untuk tidak memberi upeti), tapi kami menghadapi persoalan ini (permintaan upeti)."
Boleh kami tahu BUMN mana saja itu?
Ha-ha-ha…. Begini, pertama-tama kan ada penyertaan modal negara (PMN) ke sejumlah BUMN. Itu sudah disetujui, tapi kok enggak cair-cair? Nah, untuk mencairkan ini kan harus bertemu dengan DPR. Terus apa maksudnya? Mengapa untuk mencairkan sesuatu yang sudah disetujui harus lewat DPR lagi?
Berapa yang belum cair?
Enggak hafal. Nanti saya cek dulu. Selentingan soal upeti ini saya sudah tahu. Maka saya menelepon lima perusahaan yang mendapat PMN untuk mengetahui dari direksinya benar atau enggak. Saya katakan, "Bapak kan mendapat PMN, tapi kalau enggak mau menghadap DPR, nanti PMN-nya susah cair, lho! BUMN Bapak bisa bangkrut." Saya bilang begitu karena saya kepingin tahu hati kecil mereka bilang apa. Saya menelepon direksi lima BUMN, dan masing-masing tidak tahu saya menelepon yang lainnya.
Apa jawaban mereka?
Ini yang membuat saya lega. Mereka menjawab, "Pak, kami tidak mau lagi seperti itu—kasih upeti." Saya balik bertanya, "Lho, memangnya ada yang begitu?" Mereka pun bercerita. Lalu saya bilang, "Tapi nanti kalau enggak cair kan perusahaan yang Bapak pimpin bisa mati." Mereka jawab lagi, "Enggak, Pak, kami akan bekerja keras mempertahankan perusahaan ini. Daripada nanti harus masuk penjara karena main begitu."
Lima perusahaan itu apa saja?
Saya tidak mau bilang. (Perusahaan yang mendapat tambahan dana PMN dalam APBN 2012 antara lain PT PAL, PT Merpati, PT Garam, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia—Red.)
Bagaimana modus pemberian upeti, sejauh yang Anda tahu?
Pernah ada anggota Dewan bertemu dengan direktur utama dan direktur keuangan suatu BUMN. Kedua direktur itu menyatakan tidak ada celah untuk mengeluarkan uang. Anggota Dewan ini malah mengajari mereka, "Jangan pakai uang perusahaan, tapi suruh vendor saja yang bayar."
Anda pegang nama-nama anggota Dewan yang meminta upeti?
Saya enggak tahu. Saya tidak tanya nama atau fraksi. Ini juga bukti bahwa sejak awal saya tidak berniat bongkar-bongkar soal ini. Tapi, seandainya nanti diperlukan, akan saya sampaikan.
Tapi kan memang harus dibongkar supaya bersih?
Tugas saya adalah menjaga BUMN, bukan menjaga DPR.
Kami dengar Anda sudah mengantongi sepuluh nama anggota Dewan tukang perah?
Kalau nama, pasti adalah. Kalau saya diundang DPR khusus untuk membuka hal ini, saya bersedia. Saya ingin orang tahu bahwa saya tidak punya niat mengungkap-ungkap seperti ini. Jadi, saya menunggu diminta untuk mengungkapnya.
Seberapa gigih mereka meminta duit ke direksi BUMN? Apa betul ada yang mengajak bertemu di hotel dan ada yang menelepon hingga puluhan kali?
Saya tidak tahu itu.
Apakah DPR juga minta "jatah" tiap kali menggelar rapat kerja dengan Kementerian BUMN?
Di Kementerian BUMN, anggarannya cuma Rp 140 miliar, jadi tidak bisa diapa-apakan. Saya enggak akan mau kasih upeti.
Pernahkah Presiden meminta Anda mengerem komentar soal "sapi perah"?
Ooo…, enggak! Justru Presiden mendukung saya.
Ketua DPR Marzuki Alie tersinggung karena Anda menggunakan istilah "anggota DPR pemeras" dan bukan "oknum". Tanggapan Anda?
Lhooo…. Marzuki Alie. Kebetulan kami baru ketemu di Bali. Ada sahabat saya yang mantu yang ternyata sahabat dia juga. Saya diminta mendampingi mempelai wanita dan Marzuki mendampingi mempelai laki-laki, jadi di situ saya besananlah sama dia, ha-ha-ha….
Ada yang menganggap isu sapi perah ini bagian dari strategi pencitraan Anda.
Enggak apa-apa. Dianggap pencitraan alhamdulillah, dianggap kerja keras alhamdulillah, dianggap lebay juga alhamdulillah.
DAHLAN ISKAN Tempat dan tanggal lahir: Magetan, Jawa Timur, 17 Agustus 1951 Pendidikan: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Samarinda Karier: Komisaris Kaltim Electric Power | Direktur Utama Power Plant PT Cahaya Fajar Kaltim | Komisaris Power Plant PT Prima Electric Power | Direktur Utama Perusahaan Daerah PT PWU Jatim Group | Pemimpin Jawa Pos Group | Direktur Utama PT PLN, Desember 2009-2011 | Menteri Badan Usaha Milik Negara, 2011-2014 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo