Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

MRT dan Isu Kebijakan Publik

4 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Danang Parikesit*

Pernyataan Masyarakat Transportasi Indonesia tentang biaya mass rapid transit (MRT) Jakarta yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kota di negara lain di Asia dan Amerika Latin telah menjadi pembicaraan di masyarakat. Pernyataan itu bahkan menjadi salah satu bahan perdebatan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta—yang berakhir dengan terpilihnya pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Pinjaman dari pemerintah Jepang buat proyek MRT Jakarta senilai Rp 14 triliun untuk jarak 14-15 kilometer tersebut menjadi pekerjaan rumah penting bagi kepemimpinan Jokowi-Basuki selama lima tahun mendatang.

Pembahasan mengenai biaya MRT tidak menjadi isu publik sampai beberapa warga masyarakat yang terkena dampak langsung proyek MRT Jakarta menyampaikan kekhawatiran mengenai bisnis mereka yang bakal terganggu bila sistem yang dibangun menggunakan teknologi layang (elevated MRT). Mereka mengusulkan pembangunan MRT seluruhnya di bawah tanah dengan argumen bahwa biayanya memungkinkan.

Biaya dan besarnya pinjaman merupakan isu yang menarik untuk dibahas, tapi ada yang lebih penting sebagai pelajaran bagi pemerintah dan masyarakat. Pertama, pentingnya melakukan komunikasi dan konsultasi mengenai proyek strategis dan bersifat publik. Kedua, perlunya melakukan analisis mendalam mengenai pilihan-pilihan teknologi dan pemanfaatan belanja publik secara lebih efektif dan membawa nilai tambah.

Seorang rekan senior di Masyarakat Transportasi Indonesia dalam sebuah seminar tentang transportasi Jakarta menanyakan: mengapa setelah 20 tahun MRT dipersiapkan, baru sekarang ditanyakan soal biayanya? Masalahnya bukan "kenapa sekarang?", melainkan adanya kekurangan proses konsultasi publik yang luas dan terbuka kepada masyarakat untuk proyek sebesar MRT Jakarta.

Pembahasan mengenai MRT Jakarta di masa lalu tidak menjadi diskursus publik, dan itu harus diperbaiki. Tentu saja proses elitis seperti ini tidak hanya ditemukan di proyek MRT Jakarta, tapi juga di banyak proyek lain di berbagai tempat dan negara.

Persoalan biaya menjadi penting untuk konsumsi publik ketika gubernur dan politikus seperti Jokowi menyatakan komitmennya untuk mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang masyarakat demi kepentingan publik. Kebijakan publik belum tentu merupakan pilihan yang paling murah dari sisi biaya, tapi merupakan kombinasi dari pengetahuan mengenai pilihan yang ada dan hasil konsultasi kepada berbagai pemangku kepentingan.

Gubernur DKI Jakarta telah melakukan langkah yang tepat dengan mendengarkan masukan dari berbagai pihak mengenai masalah ini. Dengan mengambil jarak terhadap berbagai pandangan yang ada, dia diharapkan mampu membuat keputusan terbaik bagi kepentingan masyarakat.

Masyarakat yang terkena dampak negatif selama proses konstruksi perlu mendapat perhatian khusus karena pembangunan MRT Jakarta akan membutuhkan waktu 3-4 tahun. Selama periode tersebut, akan timbul masalah gangguan kenyamanan, aktivitas bisnis dan sosial, serta keselamatan konstruksi, yang tentu harus dibahas dan dikonsultasikan secara baik.

Apabila dalam proyek tersebut ada pembebasan lahan, prosesnya perlu dilengkapi dengan konsultasi legal yang lebih ekstensif karena berkaitan dengan hak warga negara atas kepemilikan lahan. Kebuntuan komunikasi yang terjadi antara masyarakat yang terkena dampak dan pemerintah sering menimbulkan project stress yang tinggi dan, apabila tidak terselesaikan, bisa meledak menjadi protes publik yang sulit dikelola pemerintah.

Keluhan masyarakat tentang siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan MRT Jakarta juga menjadi catatan penting. Masyarakat awam tidak tahu apa peran dan tugas PT MRT Jakarta, pemerintah DKI Jakarta, dan Kementerian Perhubungan. Siapa sebenarnya yang harus menjawab pertanyaan tentang kebijakan, pembebasan lahan, dan pengaturan lalu lintas selama proyek?

Dalam proyek sebesar ini, pemerintah DKI Jakarta sebagai pemilik proyek seharusnya memiliki unit hubungan masyarakat yang khusus melayani berbagai pertanyaan publik. PT MRT Jakarta, sesuai dengan mandat yang dimiliki, harus mempersiapkan jawaban atas pertanyaan teknis keproyekan, misalnya risiko terhadap proses pelelangan, "timetable proyek", serta penanggulangan kebakaran, gempa, dan banjir, di samping memberikan gambaran terhadap proyek ini.

Isu publik yang tak kalah penting dengan harga dan biaya adalah manfaat MRT Jakarta. Dengan biaya luar biasa besar dan jumlah penumpang 400-650 ribu orang per hari, MRT bukan solusi yang tepat kalau hanya memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lain. Sistem bus rapid transit (BRT) modern atau light rail transit (LRT) barangkali merupakan pilihan yang lebih bijaksana.

Masyarakat perlu tahu bahwa Jakarta hampir tidak punya kesempatan memilih prioritas investasi angkutan umum karena semua harus dikerjakan secara bersama-sama dalam sistem yang integratif. Jakarta harus membangun back-bone dengan MRT, kereta komuter, dan BRT, serta menyiapkan sistem bus besar, sedang, dan kecil yang mendukung jaringan utama.

Perlu pula disiapkan sistem transportasi lokal dari dan menuju halte atau stasiun terdekat melalui penyiapan fasilitas pejalan kaki yang baik, tempat park and ride yang memadai, serta tempat tunggu taksi dan ojek. Jaringan jalan pendukung angkutan umum juga harus disiapkan, diperbaiki, bahkan bila perlu ditambah untuk meningkatkan akses dan minat masyarakat menggunakan angkutan umum.

Sebagian besar masyarakat Jakarta tidak menolak MRT. Ada banyak alasan yang dikemukakan, dari kapasitas angkut yang besar, adanya semangat perubahan dan kemajuan, hingga sejajarnya Jakarta dengan kota-kota metropolitan dunia. Persepsi publik mengenai MRT sebenarnya sangat baik. Namun, dengan investasi sedemikian besar dan perkiraan tarif Rp 1.000 per kilometer, kewajiban pemerintah DKI Jakarta untuk turut serta dalam pengembalian pinjaman, serta subsidi yang diperlukan selama operasi, hal ini tentu akan menjadi isu fiskal daerah yang serius.

Meskipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta saat ini mendekati angka Rp 37 triliun, beban pembayaran utang daerah dan subsidi operasi akan menentukan sukses berbagai program pembangunan lain. Kebijakan utang daerah juga akan menjadi tanggung jawab gubernur yang membuat keputusan saat itu.

Biaya MRT hanya akan terjustifikasi bila mampu memperbaiki struktur kota. Pengalaman berbagai kota dunia, terutama yang penduduknya padat seperti Tokyo, Hong Kong, Singapura, Taipei, dan Seoul, memperlihatkan bahwa desain inte­grasi MRT dan sistem lokasi permukiman atau bisnis akan mampu mengurangi beban fiskal daerah, memperbaiki kelancaran lalu lintas secara signifikan, serta menyelesaikan masalah permukiman bagi masyarakat perkotaan.

MRT Jakarta sebenarnya telah melakukan simulasi peningkatan pajak bumi dan bangunan apabila dikembangkan skema transit oriented development atau pengembangan kawasan­ di sekitar stasiun. Hasil dari simulasi tersebut memperlihatkan, hanya dari kenaikan pajak bumi dan bangunan di koridor MRT selama periode 20 tahun, pemerintah DKI Jakarta akan mampu memperoleh tambahan pendapatan daerah yang signifikan. Konsep bisnis dari transit oriented development yang dikembangkan Hong Kong MTR, misalnya, telah menjadikannya operator MRT paling menguntungkan di dunia.

Yang juga tidak boleh dilupakan oleh pengambil kebijakan adalah MRT Jakarta membutuhkan penumpang. Penumpang MRT diperoleh dari pengguna bus dan taksi, pengemudi dan penumpang sepeda, sepeda motor, dan mobil, serta pejalan kaki. Seburuk-buruknya MRT adalah MRT yang tidak memiliki penumpang.

Maka investasi penting yang menjadi syarat suksesnya MRT Jakarta adalah integrasi trayek, jadwal, dan tiket angkutan umum lain, penyediaan fasilitas parkir kendaraan dalam jumlah yang cukup dengan biaya yang kompetitif, serta fasilitas bagi pejalan kaki yang aman dan terlindung. Isu ini belum banyak dibahas, padahal fasilitas tersebut harus ada pada saat MRT beroperasi. Di samping itu, sistem bisnis dan pembiayaan infrastruktur penghubung MRT dengan perkantoran di sekitar stasiun belum disiapkan secara tuntas.

Jelas banyak masalah yang akan dihadapi dalam implementasi MRT yang akan bersama kita dalam waktu yang sangat lama. Sebaiknya kita mulai dengan konsensus yang baik di antara pemangku kepentingan berdasarkan konsep kebijakan publik yang tepat.

*) Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia dan guru besar Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus