Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Ruang Publik ke Ruang Pribadi

Untuk kelima kalinya, Ruangrupa menggelar OK. Video. Membaca perkembangan seni video dalam peta seni rupa dunia.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata lelaki itu tak berkedip. Sesekali tubuhnya condong ke depan memperhatikan obyek yang dilihatnya dengan saksama. Tak jarang lelaki itu menarik napas, menggigit bibir, mengorek-ngorek hidung atau sekadar menggaruk-garuk kaki. Semua dilakukannya tanpa mengubah arah pandangan matanya. Berlatar sebuah kamar yang dindingnya dipenuhi aneka poster dan sebuah boneka kepala kelinci di sudut kamar, video berdurasi sembilan menit itu hanya melulu menyuguhkan gambar si lelaki hanya dari sudut pandang. Tapi, dari suara yang terdengar—desahan perempuan dan lelaki—tanpa melihat pun kita paham apa yang sedang dilakukannya di dalam kamar sendirian: menonton video porno. Ketika kepala lelaki itu mendadak miring ke kanan, kita mungkin bisa menebak dengan tepat video porno apa yang sedang ditonton lelaki muda itu. 

Video buatan 2011 berjudul Vertical Horizon  itu merupakan karya teranyar Woto "Wok the Rock" Wibowo, seniman asal Yogyakarta yang juga dikenal sebagai fotografer dan musikus rock. Woto, yang pernah menggarap video Battle, terinspirasi video porno pribadi  bikinan vokalis band terkenal dengan seorang presenter, yang beredar luas di masyarakat pada 2010. Gara-gara video yang formatnya portrait itu, tak sedikit  orang yang sakit leher lantaran harus memiringkan leher saat menonton. Fenomena inilah yang diangkat Woto dalam videonya. Menggunakan fitur kamera di sudut atas monitor, dia mengungkapkan rasa penasaran publik terhadap kasus yang menghebohkan itu. Seperti pembuatan video amatir yang umumnya hanya untuk kebutuhan pribadi, kebanyakan orang memilih menonton video porno sendirian agar memiliki privasi.

Woko adalah satu dari 37 seniman Indonesia yang berpartisipasi dalam OK. Video Flesh 5th Jakarta International Video Festival. Sebuah festival video internasional yang digelar dua tahun sekali oleh komunitas seni Ruangrupa sejak 2003. Sebanyak 30 seniman dari 30 negara, seperti Afrika Selatan, Irlandia, Italia, Amerika Serikat, dan Jepang, ikut ambil bagian dalam festival yang dibuka secara resmi pada Kamis, 6 Oktober malam, di Galeri Nasional, Jakarta, dengan suguhan visual mapping oleh Flicker Screen & Ricky "Baybay" Janitra serta sajian orkes dangdut jalanan.

Tahun ini tak kurang dari 150 karya video yang dipamerkan di Gedung A, B, C, dan Ruang Serbaguna, Galeri Nasional, hingga 17 Oktober 2011 itu. Enam puluh di antaranya terpilih dari 500 karya yang dikirimkan melalui open submission. Termasuk Seven Shorts garapan Bryan Lauch dan Petra Pokos dari Slovenia, Newly Risen Decay buatan Giada Ghiringhelli dari Swiss, serta One Evening at NY Gentleman’s Club karya seniman Indonesia M.R. Adytama Pranada, yang terpilih sebagai karya video terbaik.

Karya video yang ditampilkan kali ini merujuk pada satu tema, yakni Flesh atau daging dalam bahasa Indonesia. "Daging" sebagai metafora dari entitas biologis tubuh manusia yang berubah menjadi entitas digital (citraan, suara, teks) melalui perkembangan teknologi audiovisual. "Dalam pandangan kami, representasi tubuh ini terus berevolusi ke wilayah imaterial dan cenderung didominasi oleh fantasi, meski sesungguhnya ia merupakan rekaman ‘kenyataan’ tubuh tersebut," tutur Hafiz, Direktur Artistik OK. Video Flesh. Dalam konteks estetika seni video, metafora daging (flesh) secara material diterjemahkan dengan "melihat daging sejarah seni video". Bagaimana "daging" seni video tumbuh dalam peta seni rupa dunia dapat dibaca dalam festival kali ini.

Merujuk pada tema itu, karya video yang dipajang dibagi ke dalam empat subtema, face-dominated (dikuratori oleh Hafiz), digital viral (Farah Wardani), [in]corporeal (Agung Hujatnika), dan surveillance & self portrait (Mahardhika Yudha dan Rizki Lazuardi). Face-dominated memiliki fokus pada tema pertarungan simbolis antarkekuatan: ideologi, pemikiran, tradisi, dan modernitas, yang kemudian dapat memicu kekerasan dan penindasan. Karya video instalasi berjudul Ring (The Means of Illusion) buatan Sebastian Diaz Morales adalah salah satunya. Ditampilkan dalam empat layar proyektor besar, karya video ini menunjukkan bagaimana menampilkan bahwa kekerasan—pertandingan tinju dan aksi demonstrasi—dipentaskan sebagai sebuah tontonan.

Digital viral mempersoalkan kesadaran atas berkembangnya sifat-sifat video yang kian organik: tumbuh dan berkembang di dalam ruang virtual yang melampaui batas spasial dan temporal, bertransformasi ke dalam berbagai medium, dan terus-menerus bereproduksi karena sifatnya yang viral.

Fenomena ini terus dirayakan oleh masyarakat dalam beberapa tahun terakhir melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang makin memberi ruang bagi kebutuhan manusia untuk "tampil". Kehadiran  jejaring video seperti YouTube telah memicu hadirnya video-video yang dibuat dan diunduh oleh siapa pun juga jadi sorotan dalam festival ini. Lewat layar-layar iPod  yang tersebar di ruang pamer, kita bisa menyaksikan sejumlah video amatir yang diunduh di YouTube dan berhasil meraih rating tinggi. Sebut saja Udin Sedunia yang ditonton 1.352.402 kali. Kecanggihan teknologi membuat gambar rekaman pribadi secepat kilat menyebar ke mana-mana. Meski tidak semua pembuat video bermaksud membaginya ke publik, seperti kasus video porno itu.

Adapun [in]corporeal menekankan performativitas dalam video, yang melihat tubuh sebagai entitas yang "fisik" sekaligus "nonfisik". Dalam kaitannya dengan medium video, tubuh dilihat serentak dan paralel sebagai entitas fisik sekaligus nonfisik. Sebagai entitas biologis, tubuh juga selalu bisa dilihat sebagai konstruksi identitas gender dan ras. Hal ini tecermin dalam karya Marina Abramovic berjudul Art Must be Beautiful. Karya ini mempertanyakan batasan kecantikan (tubuh) dan keindahan (seni) sebagai sesuatu yang terkonstruksi secara sosial. Dalam video buatan 1974 itu, Marina memperlakukan kamera layaknya cermin. Sambil berulang kali mengucapkan, "Art must be beautiful, Artist must be beautiful," dia menyisir rambutnya dengan tiga buah sisir. Gerakannya semakin lama semakin agresif. Hingga akhirnya wajah dan tubuhnya hancur.

Dalam festival kali ini Marina juga memajang karyanya yang lain, Nude with Skeleton, yang dibuatnya pada 2005. Video itu memperlihatkan seorang perempuan yang berbaring telentang di lantai. Di atas tubuhnya yang telanjang berbaring kerangka tengkorak manusia. Tubuh tengkorak itu bergerak naik-turun mengikuti gerakan perut dan dada perempuan itu ketika bernapas. Sebuah video performance tentang kematian.

Dalam festival, karya-karya yang menyoroti persoalan ini—termasuk karya Woto—terangkum dalam subkuratorial surveillance & self portrait, yang mengungkapkan bagaimana kamera memaksa siapa pun untuk memaknai kembali konsepsi tentang yang privat dan yang publik. Lewat karya video berjudul Private Room-Open for Public, Ari Dina Krestiawan menyoroti maraknya video yang diambil dari ruang yang sangat pribadi, yang sejatinya hanya untuk konsumsi pribadi, akhirnya bocor ke ruang publik. "Kualitas gambarnya cenderung buruk, tapi seolah-olah tertolong oleh judul yang sebisa mungkin merangsang, agar video itu diunduh," tuturnya.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus