Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=brown>Adrie Subono:</font><br /> Mereka Lihat Indonesia Aman

31 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada bisnis seperti bisnis pertunjukan. Ungkapan ini amat dipahami Adrie Subono. Pria 54 tahun itu dikenal sebagai orang di balik hadirnya deretan band dan penyanyi papan atas dunia ke Indonesia. Ia telah mencicipi pahit-getir menggeluti bisnis penyelenggaraan konser yang dari luar tampak gemerlap itu.

Cobaan paling menggoyahkan selama menekuni bisnis ini adalah tragedi bom yang meruyakkan ketakutan massal. Artis yang sudah menyanggupi hadir tiba-tiba membatalkan rencana pentasnya. Bahkan nyawa Adrie sendiri hampir direnggut oleh bom yang meluluh-lantakkan Hotel Marriott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Ruang kerjanya di lantai dua Plasa Mutiara—tepat di sebelah hotel Marriott— hancur berantakan. Ia selamat karena pergi ke toilet, sehingga luput dari ledakan dalam selisih waktu hanya beberapa detik. Putrinya pun, yang kebetulan pergi ke luar kantor, lolos dari hunjaman sebilah kaca yang menancap di kursinya.

Perlahan Adrie bangkit dari trauma dan kelesuan bisnis. Tahun lalu dan sepanjang tahun ini, ia menancapkan rekor dengan mementaskan artis hampir setiap bulan. Sukses sebagai promotor membuatnya kini melirik tantangan baru menjadi produser rekaman. Pada Sabtu dua pekan lalu, di rumahnya yang artistik di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan, ia bertutur panjang-lebar tentang prospek bisnis pertunjukan kepada Nugroho Dewanto dan Arti Ekawati dari Tempo. Berikut nukilannya.

Bagaimana Anda menjalankan bisnis pertunjukan di tengah situasi rawan ketika terjadi bom dan aksi teror?

Saya bekerja seperti orang bisnis lainnya. Masak, orang lain bisa dagang saya tidak bisa? Orang lain bisa impor mobil, impor mesin, bahkan impor kondom bekas, ha-ha-ha.… Kenapa saya enggak?

Apakah kejadian itu tak berpengaruh terhadap bisnis Anda?

Sewaktu ada bom, bisnis konser menurun. Itu normal. Tapi apa kita terus berhenti? Saya terus mengundang penyanyi. Mereka datang, satu, dua, tiga. Mereka lihat keadaan di sini, oh, ternyata Indonesia aman. Mereka kemudian merekomendasikan kepada band lain.

Bagaimana meyakinkan artis agar mau datang di tengah situasi panas?

Saya tak perlu berbohong kepada mereka karena mereka bisa mendapat informasi dari mana saja. Di Internet, informasi tentang Indonesia ada segudang.

Berapa kerugian Anda bila artis batal datang karena ada teror atau kerusuhan?

Dalam kontrak biasanya tertulis agar artis mengasuransikan konsernya. Kalau ada pembatalan, dia dapat ganti rugi. Dari situ dibayar ke promotornya. Kerugian buat promotor bukan materi tapi waktu, tenaga, dan potensi keuntungan yang menguap. Belum lagi kalau sponsor marah karena kita bolak-balik membatalkan konser. Jadi, kalau ada pembatalan, kita harus menyampaikan alasannya dari sisi artis. Sehingga masyarakat tahu pembatalan itu bukan kesalahan kita.

Anda optimistis bisnis pertunjukan masih tetap prospektif tahun depan?

Selama kondisi baik-baik saja, bisnis pertunjukan akan jalan terus. Kalau soal travel warning itu dari 1998 sudah ada. Tapi tahun 2000 saya sudah mementaskan artis lagi. Travel warning itu berbeda dengan travel ban. Pemerintah mereka cuma memperingatkan warganya agar berhati-hati, bukan melarang berkunjung. Kenyataannya semua band besar sudah datang ke sini. Artinya, di sini tak ada apa-apa.

Di antara negara-negara ASEAN, apakah Indonesia dianggap cukup aman?

Selama tidak terjadi sesuatu yang gawat, banyak artis akan datang ke Indonesia. Singapura bagus karena semua orang berpikir itu negara netral. Tidak ada teroris seperti di Filipina atau seperti di Malaysia yang peraturannya ketat.

Anda sudah punya rencana konser lagi tahun depan?

Iya. Ada My Chemical Romance, Bjork, dan Incubus. Selama ini artis itu juga sudah sering pentas di Singapura dan Australia. Kalau mampir konser ke Indonesia, mereka akan dapat duit tambahan.

Pertunjukan di Jakarta bisa menghemat devisa orang Indonesia yang suka menonton konser di luar negeri?

Kalau di Jakarta tak ada konser, orang akan pergi ke Singapura atau Australia. Tapi orang sebetulnya lebih suka nonton di sini karena lebih murah dan tak bayar fiskal.

Apa perbedaan yang Anda rasakan dalam menjalani bisnis ini di masa Orde Baru dan era reformasi sekarang?

Hampir tidak ada bedanya. Soal perizinan tak pernah ada masalah. Perizinan pasti keluar kalau kita melengkapi persyaratan seperti paspor dan lain-lain. Bahkan kami pernah bikin konser Diana Krall di Jakarta Convention Center tahun 2002, padahal saat itu berdekatan dengan penyelenggaraan sidang MPR. Aman-aman saja, tuh.

Bagaimana Anda membuat jaringan dengan artis dunia?

Semua dengan Internet. Di sana, yang ”memperdagangkan” artis itu agen. Jadi kami berhubungan dengan agen. Setelah mendapat penawaran, agen akan membicarakan kepada manajemen si artis. Jadi, si artis hanya berkarya, dia tidak usah mencari pasar.

Sulitkah berhubungan dengan agen?

Satu agen bisa memegang banyak artis. Kadang kami bertemu agen yang belum pernah mengenal kami. Mereka selalu bertanya, konser apa saja yang telah kami buat. Saya minta mereka lihat website kami saja, lalu keluarlah berderet-deret konser, mereka langsung mengerti. Mereka tidak berani menyerahkan artis mereka ke promotor yang belum berpengalaman. Itu wajar.

Dengan hubungan baik itu, Anda bisa mendatangkan banyak artis?

Saya sudah 13 tahun di bisnis ini. Alhamdulillah, kerjaan saya baik. Karena itu artis datang lagi kalau saya undang. Kalau kita lihat di Jepang atau Australia, konser bisa berlangsung setiap hari. Tapi di sini cuma sebulan sekali, paling banyak sebulan dua kali. Makanya, kalau setahun lebih dari sepuluh kali, saya enggak kuat.

Kenapa?

Sistemnya belum kuat. Di kantor saya yang bekerja cuma delapan orang. Lima orang perempuan, tiga orang laki-laki. Yang paling bikin repot adalah di sini belum ada sistem komputerisasi tiket. Menjual delapan ribu tiket secara manual itu repot.

Bukankah ini cuma soal teknologi. Tinggal adopsi sistem tiket maskapai penerbangan atau bioskop?

Bedanya di maskapai penerbangan kan orang terbang tiap hari. Di bioskop orang tiap hari nonton. Konser? Setahun cuma sepuluh kali. Enggak ada investor yang berani ambil risiko.

Mengapa kadang-kadang Anda menampilkan penyanyi yang sama sampai dua kali?

Mengapa tidak? Artis yang sama bisa kita panggungkan ketika dia punya rekaman atau hits baru.

Bukan karena waktu konser pertama dia sukses mendatangkan banyak penonton?

Enggak bisa begitu. Bisa saja seorang penyanyi datang tahun lalu, terus tahun ini dia mau datang lagi. Saya akan tanya dulu, ”Kapan elo terakhir rekaman atau apa hits terbaru elo?” Kalau dia jawab dua tahun lalu, itu sudah basi. Kecuali seorang Mariah Carey. Dia itu diva. Rekaman terakhirnya sudah lama, tapi siapa yang enggak mau nonton dia?

Bagaimana cara Anda menangkap selera penonton? Anda sudah di atas lima puluh tahun, sedangkan yang Anda datangkan biasanya band anak muda?

Saya banyak sekali berhubungan dengan artis. Bagaimana dengan si A? Kalau beberapa artis bilang bagus, saya pertimbangkan. Tetap saja kalau sepuluh orang bilang bagus, konser belum tentu dipenuhi penonton. Jadi kami pakai feeling juga. My Chemical Romance siapa yang tak kenal? Bjork orangnya agak susah sebetulnya, tapi mereka unik. Melly Goeslaw bilang dia bagus. Kalau datang katanya akan nonton. Padahal dengar lagunya saya enggak ngerti, ha-ha-ha.… Selain dengan artis, saya juga mengecek radio-radio.

Apakah mengecek juga ke toko kaset, berapa CD mereka yang sudah terjual?

He-he-he.… Zaman sekarang enggak bisa lagi mengecek CD. Sekarang banyak CD bajakan. Anak-anak muda menggunakan ipod dan men-download lagu langsung dari Internet. Melihat penjualan CD saja bisa menipu. Saya pernah memanggungkan penyanyi, di sini albumnya belum diluncurkan, tapi tiket terjual habis. Bisnis apa pun harus punya insting, tahu pasar, paham selera anak muda. Yang tak kalah penting adalah punya rencana promosi yang bagus.

Bagaimana mengelola penonton agar tidak rusuh?

Penonton sekarang sudah semakin berpendidikan. Dulu wajar penonton agak bertingkah karena masih jarang ada konser. Sekarang kan sudah sering ada konser. Kami juga mengembangkan konsep agar setiap konser berlangsung aman. Contohnya kami atur penonton masuk secara bergelombang. Kami juga menyediakan pintu sesuai dengan jumlah penonton. Jangan sampai mereka berimpit-impitan.

Pernah ada penonton yang cedera atau meninggal ketika Anda menyelenggarakan konser?

Amit-amit, enggak pernah.

Apakah ada artis yang sulit didatangkan?

Musuh bebuyutan saya namanya Eric Clapton. Sepuluh tahun ditunggu enggak datang-datang. Entah apa alasannya menolak. Sebetulnya saya mau Eric Clapton datang karena saya pengagum dia juga. Kalau dia mau datang, tiket dijual Rp 2 juta pun saya yakin orang mau beli.

Singapura mau menggelar konser The Police, Februari mendatang. Anda tak berminat?

Enggak kuat. Tarif mereka US$ 1 juta. Kita harus tahu dirilah. Tempatnya di sini juga tidak ada untuk menampung puluhan ribu orang. Di Singapura ada stadion indoor yang mampu menampung 15 ribu orang.

Berapa harga tiket konser yang paling mahal?

Kemarin konser Beyonce orang beli Rp 3 juta. Saya bikin konser paling mahal tiketnya Rp 1,7 juta.

Apakah artis yang Anda datangkan ada yang bertingkah aneh?

Ada. Avril (Lavigne). Sebenarnya sebelum artis-artis itu datang, kami sudah kasih tahu mereka akan tinggal di hotel mana. Kami berikan brosurnya. Ada website-nya, silakan lihat. Waktu itu hotelnya masih bernama Hilton (sekarang The Sultan). Pada awalnya rombongan mereka setuju saja. Eh, begitu masuk kamar dan lihat nama Hilton, Avril keluar dan bilang mau pindah. Usut punya usut, ternyata dia cemburu sama Paris Hilton yang pacaran dengan bekas pacarnya, ha-ha-ha.…

Ada contoh lain?

Hari pertama biasanya mereka kami bawa jalan-jalan ke mal seperti ke Plaza Senayan. Nanti hari kedua mereka tanya, di mana toko barang palsu. Yah, kami antarkan. Mereka juga manusia, ha-ha-ha.…

Apakah berniat mendatangkan musik alternatif, seperti film non-Hollywood?

Selama itu bisa mendatangkan keuntungan, oke. Tapi apakah penontonnya bisa banyak? Bisa balik tidak uang saya? Saya suka musik blues, tapi saya tidak pernah mendatangkan blues ke sini karena tidak akan laku.

Pernah rugi dalam menyelenggarakan konser?

Tidak pernah ada pekerjaan yang tidak pernah rugi. Pendapatan kami paling besar dari penjualan tiket. Kalau target tidak tercapai, yah, hancur. Dulu kami tampilkan Inul dengan Last Ketchup. Saya buat iklannya besar-besar dan jual tiket 8.000 lembar, tapi yang laku cuma 4.500-an karena ada wabah SARS. Orang tidak berani datang ke kerumunan. Itu kita tidak bisa tahu, sedangkan kontrak sudah tiga bulan sebelumnya. Itulah makanya orang bilang there is no business like a showbiz.

Apa lagi dalam hidup yang belum Anda capai?

Cucu. Saya bilang ke anak-anak saya, kalau punya cucu, saya akan meninggalkan Java Musikindo. Saya mau pergi dengan cucu. Saya akan habiskan waktu sangat banyak dengan cucu.

Adrie Subono

Tempat tanggal lahir: Jakarta, 11 Januari 1954

Pendidikan: Drop-out kelas 2 SMA

Karier:

  • Sepulang dari Jerman, selama dua puluh tahun ia menggeluti berbagai bisnis: perkapalan, properti, konstruksi, dan lain-lain.
  • Pada 1994 ia meninggalkan semua ”bisnis berdasi” itu dan putar haluan menjadi promotor musik di bawah bendera Java Musikindo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus