Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UANG kertas sejumlah Rp 644 juta itu tertumpuk di ruang rapat Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya, seperti tak ada harganya. Sesungguhnyalah, memang, tumpukan ini cuma ”uang-uangan”. Polisi membongkarnya di sebuah rumah di Jalan Merapi 12, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa tiga pekan lalu.
Meski cuma menggunakan kertas HVS, menurut polisi, teknik pembuatan uang palsu ini terbilang meyakinkan. Ia mampu menerobos 12 dari 18 elemen pengaman yang melekat pada uang asli. Rumus ”3D” (dilihat, diraba, diterawang) yang dipopulerkan oleh Bank Indonesia dapat ditembus.
Ketika dideteksi dengan sinar ultraviolet, uang ini juga lolos. Begitu pula tulisan ”BI” yang tersembunyi, yang hanya bisa dilihat dari sudut pandang tertentu. Ketahuannya justru pada kualitas kertas yang dipakai. ”Kalau diremas, uang palsu ini mudah lecek,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polwil Kota Besar Surabaya, Ajun Komisaris Besar Dedi Prasetyo.
Deputi Direktur Peredaran Uang Bank Indonesia, Yopie D. Alimudin, mengakui kecanggihan uang palsu ini. ”Sebab, pelaku utamanya orang lama,” katanya kepada Arti Ekawati dari Tempo, Jumat pekan lalu. Namun, Yopie memastikan, secanggih-canggihnya uang jiplakan, belum ada yang menyamai bikinan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia, atau yang dicetak resmi di luar negeri.
Menurut Yopie, peredaran uang palsu tak sampai 0,1 persen dari uang asli. Sebagai gambaran, setiap tahun Bank Indonesia mencetak sekitar enam miliar lembar uang rupiah. Hingga 2007, ada sekitar 18 miliar lembar uang baru. ”Uang palsunya cuma 69.670 lembar,” katanya. Kalau diambil angka rata-rata, ”Dari setiap satu juta lembar uang asli, hanya sekitar tujuh lembar yang palsu.”
Cuma, dari kasus Jalan Merapi ini terungkap, produksi uang palsu sekarang bisa dilakukan dengan peranti ala kadarnya. Perlengkapannya tak lebih dari meja sablon, sapu karet, screen bergambar desain sejumlah uang kertas, thinner, tinta warna-warni, dan seperangkat komputer. Peralatan ini hampir sama dengan yang ditemukan polisi sebelumnya di sejumlah lokasi.
Menurut Dedi Prasetyo, otak pemalsuan uang palsu di Jalan Merapi itu bernama Tulus. Pria 30 tahun ini, katanya, jagoan desain grafis. ”Tulus yang mendesain gambar uang,” kata Dedi. Tulus, yang kini buron, menurut cerita teman-temannya, adalah lulusan Universitas Gadjah Mada, meski tak jelas bidang studinya.
Penelisikan Tempo menemukan, ada beberapa nama Tulus yang pernah menimba ilmu di Jurusan Teknik Arsitektur UGM. Ada Tulus angkatan 1996, yang tamat pada 29 Oktober 2001. ”Mudah-mudahan bukan dia yang terlibat,” kata Pengurus Bidang Mahasiswa Jurusan Arsitektur UGM, Deva Foster Haroldas. Ia tak tahu di mana Tulus kelahiran Sumatera Utara itu kini berada.
Dari penyelidikan polisi, uang palsu produksi Tulus melalui delapan tahap. Di antaranya penyablonan blok permukaan uang, mencetak garis bolak-balik, menciptakan garis pengaman, hingga membuat permukaan kertas sedikit kasar atau cetak intaglio. Tulus juga mahir mencampur cairan kimia untuk menambah kekesatan uang palsu hasil cetakannya.
”Pabrik duit” di Jalan Merapi 12 itu tak ubahnya rumah biasa. Pagar temboknya setinggi 1,5 meter, dengan gerbang besi bercat hijau. Warna tembok rumahnya kusam, beberapa bagian tampak mengelupas. Tirai bambu yang menutup teras banyak yang lepas. ”Barang-barang di dalam rumah sudah diangkut polisi,” kata Nurmali, ketua RT setempat.
Nurmali tak mengenal Tulus. Ia cuma tahu, rumah seluas 200 meter persegi itu milik Eko Sunaryanto, warga Gentan, Kecamatan Baki, Sukoharjo. Sudah dua tahun rumah itu disewa pasangan Sutrisno dan Lilis Setyaningsih. Tak lama kemudian diteruskan oleh Najib. ”Setelah itu, saya tak tahu siapa penghuni tetapnya,” ujar Nurmali.
Di rumah itulah Budi Santoso, anggota komplotan Tulus, disergap. Pria 46 tahun itu desertir polisi dengan pangkat brigadir kapala. Terakhir ia bertugas di Kepolisian Resor Semarang Selatan. Eko Sunaryanto dan Lilis Setyaningsih ikut dibekuk dan diangkut ke Surabaya bersama seorang lagi bernama Suyono. ”Mereka kelompok Solo,” ujar Dedi.
Budi memang pemain lama, terutama dalam mengedarkan uang palsu. Ia terlibat dalam pendirian pabrik uang palsu di Kudus, Semarang, Kediri, dan Bogor. Budi mengedarkan uang palsunya sampai ke Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Menurut Kepala Polres Kota Semarang Selatan, Ajun Komisaris Besar Imran Yunus, Budi Santoso dinyatakan buron sejak 20 Maret 2007. Padahal, sejak 2006 beberapa Polres sudah memburu Budi. Orang ini punya empat alamat persembunyian. Semuanya sudah digeledah. ”Saya heran, kok bisa punya rumah sampai empat,” kata Imran.
Budi Santoso masuk kepolisian melalui Sekolah Calon Bintara di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 1984. Setelah bertugas di Markas Polda Jawa Tengah, ia dimutasi ke Polres Kota Kudus, dan terakhir di Polres Semarang Selatan. Lantaran bandel dan sering mangkir kerja, pria kelahiran Semarang 14 April 1961 itu tak dinaikkan pangkatnya selama dua periode.
Elik Susanto, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Imron Rosyid (Solo), Bernada Rurit (Yogyakarta), Rofiuddin (Semarang)
Roda Bisnis Desertir
Bos uang palsu, Budi Santoso, tak cuma menjiplak uang. Ia juga mengedarkan langsung duit bikinannya. Sejak 2002, desertir polisi ini menggerakkan roda bisnisnya dengan menebar komisi Rp 50 ribu kepada anak buahnya yang sanggup menjual setiap Rp 1 juta uang palsu.
Pengedar yang Ditangkap
Kediri:
Sidoarjo:
Pasuruan:
Lima pabrik uang Budi
Sumber: Polwiltabes Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo